Perjalanan panjang itu pun di mulai, hari dimana Ana harus berpisah dengan anak-anak nya. Berat pasti berat, Ana bahkan tak sanggup berpamitan dengan si kecil Aidar yang lebih dulu di bawa kakak perempuan Ana.
Yang ada di pikiran Ana saat itu hanya bagaimana cara nya Dia bisa cepat pergi bekerja, pergi jauh dari suami ya meski harus mengorbankan anak-anaknya. Bukan egois tapi ini juga Demi masa depan anak-anak mereka.
Sudah satu minggu Ana menjalani pendidikan di PT penyalur tenaga kerja ini, dan bersyukur nya, rezeki Ana cukup bagus. Setelah menjalani beberapa kali interviu akhirnya ada majikan yang memilih Ana. sayangnya job itu harus hangus karena ada kesalahan dalam berkas-berkasnya. Membuatnya sedikit kerepotan karena harus kembali mengurus dan mengeluarkan uang lebih tentunya.
Setelah perjuangan mengurus berkas yang menguras pikiran Ana kembali mendapatkan job, kali ini berkas-berkasnya lolos namun masalah lainnya muncul.
Danu si anak sulung menelfon sembari menangis di susul suara sang mamak yang mengatakan anak-anak kembali ke kediaman beliau.
''An. Ini anak-anak minta di sini. Gimana?'' Suara mamak sedikit bergetar disebrang panggilan.
''Anak-anak bilang apa mak, maksutnya kok tiba-tiba mereka kesitu.'' Sahut Ana sedikit panik.
''Mamak juga ndak tau, katanya mereka nggak berani tiap malem di rumah sendiri.'' Jelas mamak. ''heh! Dari awal sudah mamak bilang biar di sini aja.''
''Coba Ana bicara sebentar sama anak-anak, Mak.'' Sahut Ana kemudian.
Tak lama terdengar suara Danu di sebrang.
''Kenapa mas? Kok tiba-tiba pulang tempat mbah uti?''
''Nggak apa-apa!'' Jawab Danu ketus.
Ana faham anak sulungnya itu pasti sedang menyembunyikan sesuatu, pelan-pelan dia kembali bertanya. ''Ibu ndak marah, ibu cuma mau tau aja kenapa kok tiba-tiba pulang tempat Mbah Uti, kan ibu sudah bilang tunggu ibu terbang baru pindah tempat Mbah.''
''Ya aku takut, Bu setiap malam cuma berdua sama Raka, makan harus nunggu ayah pulang. Mau beli nggak punya uang.'' Cerita Danu getir.
Ana kembali menghela nafas berat, ''terus waktu kalian pergi ayah gimana?''
Mamak kembali mengambil alih panggilan. ''Suamimu itu mana bisa sabar, ya sudah pasti marah-marah tidak terima, anak-anak sampai dikata-katain yang nggak baik. Sudahlah An, mamak juga lebih tenang anak-anak di sini, kamu pasti juga kan?'' Ujar mamak kemudian.
''Iya Mak, cuma maksut Ana nggak begini caranya. Kalau begini kan jadi nambah masalah baru.''
''Ya mau bagaimana lagi, sudah terlanjur terjadi. Mamak juga nggak tau kalau Danu dan Raka akan senekat ini.''
''Heh ..'' Ana menghela nafas lelah. ''Ya sudah, Mak ini Mas Roy telepon, pasti mau ngamuk dia. Anak-anak kalau mau tempat Mbah Uti ya udah nggak apa-apa yang penting nurut sama Mbah Uti, jangan bandel. Besok ibu telepon lagi.'' Pesan Ana kemudian sebelum menutup panggilan.
Terdengar sahutan kecil dari Danu dan Raka dan juga mamak sebelum panggilan benar-benar berakhir.
Lain cerita Danu lain pula cerita Roy. Seperti yang sudah diperkirakan laki-laki itu menelfon sembari marah-marah begitu panggilan tersambung.
''Apa maksut anak-anakmu itu, tiba-tiba nggak ada angin, nggak ada ujan minggat tempat Mbah nya!''
''Katanya mereka takut Mas, tiap malam di rumah hanya berdua.'' Sahut Ana.
''Halah. Alasan aja, biasanya juga mereka keluar malem-malem biasa aja.'' Kilah Roy.
''Ya bedalah Mas, mereka keluar malem kan karena kita mintaii tolong, sebentar juga. Lagian biar sajalah mereka di sana, kamu malah nggak repot kok.''
''Ya nggak bisa gitulah, kamu pergi kan anak-anak sudah kamu pasrahkan ke aku. Walaupun aku cuma bapak tiri aku juga punya hak ngurusin mereka.'' Protes Roy kembali. ''Nanti cuma cuma gara-gara aku nggak ngurusi di sangka aku nggak tanggung jawab.'' Roy terdengar mendengus kesal di sebwrang sana. ''Terus kamu lupa, hasil mu kamu kirim ke mereka semua karena merasa aku nggak ikut ngurusin.'' imbuhnya.
"Ya tidak lah mas, semua pasti lewat Mas, walaupun anak-anak nggak sama mas, jatah mereka tetep mas yang kasih". Jawab Ana mencoba menenangkan.
''jangan iya, iya aja. Nanti ujungnya gitu juga.'' Protes Roy kembali.
''Nggak, udah percaya sama aku,'' sahut Ana menenangkan. ''Udahlah nggak usah bahas itu, udah biarin aja anak-anak maunya gitu, kamu malah nggak repot. Yang penting kalau ada waktu dijenguk sudah.'' Pungkas Ana.
''Terus gimana kelanjutan prosesmu, sudah ada titik terang kapan berangkat?'' Tanya Roy kemudian.
''Belum, doa kan saja semoga lolos berkasnya. Yaa sudah mas aku mau istirahat, aku besok harus piket masak soalnya.'' Sela Ana mencoba menutup panggilan.
''Ya sudah. Kamu hati-hati di situ, kabarin kalau ada apa-apa.'' Sahut Roy.
Panggilan pun berakhir dengan nafas lega dari Ana. Mengiyakan semua yang Roy mau adalah salah satu cara agar proses nya lancar, karena laki-laki Itu terus saja mengancam akan mencabut surat ijinnya jika Ana berani macam-macam, bahkan mengancam akan membawa Ana pulang paksa.
Tentu itu sangat merugikan untuk Ana jika sampai Roy membuat ulah bukan hanya bisa gagal Terbang tapi juga denda yang sudah menanti di depan mata jika sampai dia gagal berangkat.
Hari ini Ana mendapatkan jadual piket dapur, selain piket membersihkan lingkungan, para calon pekerja juga diwajibkan piket dapur atau memasak. Di samping saling membantu piket memasak juga bertujuan untuk melatih para calon pekerja agar lebih terampil.
''Mbak Ana di panggil pak Hendra,'' seru salah satu teman seperjuangan Ana saat Ia masih sibuk menyiapkan beberapa menu.
''Wahh, Tetto ini kayanya mbak,'' seru satu yang lainnya.
''Semoga,'' sahut Ana sembari bergegas turun ke kantor, setelah sebelumnya berganti pakaian lebih dulu .
Dan benar saja lusa Ana di jadualkan menjalani Tetto, Tetto sendiri adalah proses pengajuan visa agar bisa bekerja ke negara tujuan . Taiwan.
Tetto juga sering di sebut proses hidup dan matinya para calon pekerja migran, karena saat Tetto data kita akan di cek satu persatu dan tidak boleh ada kesalahan sedikit pun, bahkan Hanya satu titik pun tidak sama akan menggagalkan proses ini.
Beruntung tidak ada kesalahan sedikit pun dalam berkas-berkas sudah dibenahi sehinggal proses tetto nya berjalan lancar.
Satu proses lagi harus Ana lewati yaitu PAP atau pembekalan akhir pemberangkatan.
PAP sendiri adalah proses termudah dari rentetan proses, karena kita cukup duduk seharian mendengarkan nasehat-nasehat dari petugas-petugas BP3TKI.
Tepat 3 bulan segala proses rumit itu terselesaikan, Ana akhir nya dijadualkan terbang minggu depan. Ana memilih merahasiakan tentang keberangkatannya, karena sang suami terus-terusan Ingin bertemu sebelum ia terbang.
Satu hal yang sulit untuk di turut ii, karena selain di larang oleh PT, bukan kah itu juga membuang-buang uang? Selama proses saja Ana sudah cukup di buat pusing oleh Roy, yang terus-terusan mengeluh tentang uang.
Sebenarnya PT Sinar Citra Formosa tempat Ana proses ini memberikan pinjaman, berbentuk uang saku sebesar 3 juta rupiah. Tapi Ana terpaksa membohongi Roy dengan mengatakan hanya mendapat 2 juta, tujuannya agar ia bisa memberikan sedikit untuk bekal Danu dan Raka. Sedang yang lainnya selain untuk membeli kebutuhannya sebelum terbang.
Ana tidak mau menambah masalah lagi dengan laki-laki itu. Semua demi kelancaran proses terbang nya.
Hanya tinggal sedikit lagi dan Ana dapat terbebas dari laki-laki toxic dan patriaki yang tak lebih hanya benalu di hidup Ana.
_________Bersambung.
Percayalah proses ke luar negri tidak seindah dan semudah yang saya tulis.
tapi karena trauma nya saya saat proses dulu membuat saya enggan untuk mengingat
lebih banyak, jadi inti nya saja yang saya tulis.
semoga banyak yang suka bab ini, dan kalo ada temen yang punya pengalaman
waktu di PT atau asrama boleh bagi cerita nya di kolom komentar.
thnkyuuu........
Anna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments