Sore ini hujan mengguyur seisi kota, karena perut keroncongan yang tak bisa ditahan lagi sedangkan uang habis, dengan nekad Aldoura memutuskan untuk menerobos setiap butiran bening yang ditumpahkan oleh langit kali ini.
“Berat badanku kemarin sudah turuh 3 kilo, aku tidak boleh lebih kurus daripada ini.”
Gumam Aldoura mempercepat laju vespanya. Mendung langit Bandung semakin tebal dan menghitam membuat pemandangan sekitar memperlihatkan bak pukul 6 petang. Sedikit gelap.
Dingin, hujan membasahi seluruh badan Aldoura sedangkan jarak rumah masih beberapa kilo meter lagi. Sekejap sesuatu meintas di benaknya, kejadian masa lalu dirinya. Seperti hujan telah mengisi sebagian dari hidupnya yang kosong. Ketika sedih dan senang, ia selalu menari di bawah hujan. Menikmati setiap butiran yang jatuh di atas wajahnya, seolah berbisik kepadanya.
“Tenang dunia ini masih mendukung setiap hal yang membuatmu bahagia.”
Setelah menempuh perjalanan yang sedikit panjang, akhirnya Aldoura tiba di rumah. Di depan teras ia telah ditunggu oleh raja muda yang belakangan telah berhasil mengasai seluruh isi rumah. Termasuk ibu Aldoura.
“Halo gemoyyy…”
Ucap Aldoura mengangkat tangannya bermaksud untuk mencubit pipi raja kecilnya tersebut, namun segera ditampik oleh ibunya.
“Hei, tanganmu basah nanti dedek ikutan masuk angin.”
Kata Ibu sembari sesekali mencium pipi merah cucu lelakinya itu.
“Ibu akukan kangen sama Gilang, uuuu iya kan sayang.”
“Mandi dulu sana nanti masuk angin. Gimana dek, tante mandi dulu sana.”
Ucap ibu sembari memainkan tangan mungil Gilang.
“Uuuuu… siap bos.”
Segera Aldoura masuk ke dalam rumah, kemudian membersihkan diri dan setelahnya ikut Amira, kakak iparnya yang selaku mama Gilang di dapur untuk menyiapkan makan malam.
“Gimana kerjaanmu di kantor?.”
Tanya Amira yang seketika memecah keheningan diantara keduanya.
“Baik kak, sebentar lagi posisiku akan segera dinaikkan.”
“Wah bagus tuh, emmm… dengar-dengar kau dekat dengan CEO di kantor ya?.”
Celetuk Amira secara tiba-tiba hingga membuat batin Aldoura kaget, sayur yang habis dibilas pun hampir tumpah karenanya.
“Mbak Mir tau dari mana?.”
Tanya Aldoura setengah mengerutkan dahinya sembari melemparkan pandangan sinis mengisyaratkan tak senang kalau wanita yang akrab dipanggil Mbak Mir olehnya tersebut.
“Mamanya Pangeran sering bertemu denganku di tempat Zumba, terus dia cerita karena aku kenal denganmu.”
“Parah sih mamanya Pangeran julid nih.”
Ucap Aldoura cemberut.
Melihat tingkah kekanakan adik iparnya tersebut, Amira tertawa terkikik.
“Kau sering main ke rumahnya kan Ra?.”
Desak Amira seolah ia ingin mengetahui semua tentang asmara Aldoura karena selama menjadi bagian dari keluarga besar di rumah ini, jarang sekali ia mengetahui adik dari suaminya tersebut memiliki hubungan dengan pria manapun. Aldoura seorang gadis muda pekerja keras, seluruh waktunya ia gunakan hanya untuk mendikasikan dirinya untuk perusahaan, dan hampir dia tidak pernah memikirkan soal asmara. Jangankan asmara, memikirkan pria saja dia hampir tidak pernah.
“Gimana ya mbak.”
Sejenak Aldoura menghela napas panjang. Segera ia tutup rapat panci yang berisi air mendidih yang sudah diisi dengan sayuran dan mengecilkan api kompornya lalu kembali melanjutkan perkataannya.
“Aku itu menganggap Pangeran sudah seperti sahabatku sendiri, kita satu frekuensi. Ya… mungkin karena dilihat dari segi umur, kita seumuran cuma beda beberapa tahun yang tak terlalu jauh.”
Jelas Aldoura panjang lebar.
“Eh… tapi sepertinya mamanya Pangeran suka denganmu.”
Kata Amira mencolek tangan Aldoura bermaksud mengompori kali saja setelah ini Aldoura akan segera mengubah cara pandangnya.
“Mbak sudah dong, aku masih trauma masalah lelaki.”
“Loh memangnya kamu pernah jatuh cinta?, certain dong mbak penasaran ini.”
Desak Amira bersemangat.
“Dasar emak tukang gibah nih, mbak Mir rese deh.”
Aldoura bergegas keluar dari dapur dengan muka masam. Ia tak mempedulikan sayur asem yang dimasaknya yang masih bertengger di atas kompor.
“Ora, lah kok marah mbak kan cuma pengen tau. Ra sayurmu gimana ini hei?.”
Karena sudah kesal, Aldoura tak memperdulikan Amira berbicara.
“Sensi amat neng hadeuh.”
Ucap Amira menggelengkan kepalanya.
...###...
Di kamar, Gilang nampak asyik bermain di atas tempat tidurnya sembari ditemani ibu di sampingnya. Tangan mungilnya melayang-layang di udara seolah ingin meraih mainan yang digantung tepat diatas tubuhnya.
“Gilang gemoy, uuuuu sini sayang ututu tante kangen hih aku gigit nih tanganmu.”
Kata Aldoura merasa gemas dengan keponakannya tersebut hingga hampir saja tangan Gilang masuk ke dalam mulutnya.
“Nih tante nakal ya.”
Ucap ibu mencolek pundak Aldoura keras.
“Hahahah… nenek marah-marah gemoy. Bilangin tuh tante cuma bercanda.”
Aldora merebahkan badannya lalu mendekatkan wajahnya di dekat Gilang. Tak lama kemudian Plakkk!!!, tangan Gilang mendarat di wajahnya dengan keras.
“Aduh gemoy kok tante di pukul.”
Ucap Aldoura kaget yang sontak membuat seisi kamar pecah oleh tawa ibu yang tak bisa ditahan melihat cucunya yang sudah pandai melawan tantenya.
“Jagon nenek sudah pinter ya ternyata. Tuh tante jangan jail makanya hahaha.”
Ucap ibu sembari mencium kening Gilang.
“Ah, sudahlah aku marah sama Gilang.”
Aldoura segera beranjak keluar dari kamar.
Di luar hujan belum kunjung reda, sepertinya akan berlanjut hingga malam. Aldoura menikmati hawa sejuk sembari duduk di tepi teras. Ia ayunkan kakinya di bawah tritisan air hujan yang jatuh dari atas genting rumah. Dingin namun terasa menenangkan. Jauh di langit barat, terlihat hujannya sudah reda meskipun di sini belum. Langit oranye pembiasan dari matahari sore terlihat begitu jelas di matanya.
Indah, mungkin ini yang kebanyakan orang katakana sebagai hagic hour. Waktu indah yang indah untuk sejenak melupakan segala kegundahan dalam hati dan pikiran.
“Kamu ngapain di sini neng?.”
Seseorang tiba-tiba datang membuyarkan lamunan indah Aldoura saat ini.
“Eh… bang Asep, cuma cari angin sambil melihat magic hour.”
“Sudah lama aku tak memandang langit senja indah seperti sekarang ini, padahal di sini masih hujan.”
Asep segera bergabung duduk di samping Aldoura. Mereka berdua menikmati senja sore ini dengan perasaan masing-masing. Hening tak ada yang saling melempar sepatah kata sekalipun hingga langit benar-benar berubah menjadi gelap.
“Lah ibu ini bang Asep sama Ora, mereka ada disini.”
Ucap Amira kaget ternyata suami dan adiknya ada di teras. Merasa jengkel setelah bolak balik ditelfon tetapi diabaikan, bahkan ibu sempat beberapa kali berteriak memanggil Aldoura tapi dia bungkam tidak menjawab.
“Hei!, ayo masuk kita makan malam. Ini kakak adik lagi marahan atau bagaimana.”
Bentak Amira menepuk pundak Aldoura dan Asep dengan keras bermaksud agar mereka segera sadar dari lamunan masing-masing.
“Bang Asep ngapain di sini?, mbak Mir juga ngapain berdiri di situ?.”
Tanya Aldoura seolah sesuatu habis menghipnotisnya.
“Kesambet ini pasti hmmm.”
Ucap Amira tak habis pikir.
“Ayo cepat masuk, makan malamnya keburu dingin.”
Ajak Amira, iapun segera masuk ke dalam rumah mendahului dua kakak beradik tersebut.
“Ayo bang.”
Ajak Aldoura bergegas berdiri, kemudian diikuti oleh Asep.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments