***
.
Athar tiba di parkiran rumah sakit. Ia turun dari mobilnya dengan tergesa-gesa menuju ruang ICU. Dokter sudah menunggunya di depan pintu.
Ia mengatur napasnya saat berhenti tepat di depan dokter.
"Huft, bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Athar cemas dan penuh harap.
"Mari kita bicarakan di ruangan saya, Pak Athar." Dokter itu melangkah ke arah ruangannya, Athar mengekor.
Sesampainya, mereka duduk saling berhadapan. Athar sudah siap mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi istrinya.
"Pak Athar, dua jam yang lalu istri bapak menarik napas panjang saat petugas kebersihan masuk ke ruangannya. Lalu suster segera mengambil tindakan. Dan tiba-tiba dia kembali tak sadarkan diri. Kami membawanya ke ruang ICU. Berharap ada perubahan. Namun, sayangnya.... " Dokter itu menggeleng.
Dada Athar terasa sesak, tak sanggup jika ia harus mendengar penjelasan dokter selanjutnya. Ia belum siap kehilangan istri tercinta.
Tok tok tok.
"Masuk!"
"Maaf, Dok. Ibu Syahila, detak jantungnya kembali normal." Seorang suster yang baru saja masuk mengabarkan kondisi Syahila.
Kedua bola mata Athar membulat, ia dan dokter langsung keluar menuju ruangan di mana Syahila terbaring lemah di sana.
Athar memeluk erat sang istri, kedua mata Syahila sedikit terbuka. Tetesan air bening keluar perlahan dari ujung matanya.
Athar mengecup tangan sang istri berkali-kali. Penantian panjangnya selama ini membuahkan hasil, mungkinkah Syahila akan sadar kembali.
"Sayang, ini aku. Kamu masih ingat aku kan?" dengan suara serak menahan tangis Athar mencoba berbicara pada istrinya.
"Ini mukzizat, Pak Athar. Apa yang terjadi dengan ibu Syahila perbandingannya satu banding seratus. Amat sangat jarang, pasien yang sudah ka berbulan-bulan bisa sadar kembali. Pasti Pak Athar selalu mendoakan sang istri," ucap dokter seraya tersenyum.
Athar terdiam, ia bahkan tak pernah berdoa khusus untuk kesembuhan istrinya. Hanya sekedar sholat, dan berdoa sebentar. Mungkinkah ini memang mukzizat dari Allah.
"Nanti kita pindahkan lagi Ibu Syahila ke ruang perawatan. Saya permisi dulu ya, Pak Athar." Dokter dan seorang perawat tadi keluar setelah mengecek kondisi Syahila dan menyatakan kalau semuanya baik-baik saja.
Syahila memang dinyatakan baik, detak jantung semuanya normal. Hanya saja ia harus kehilangan kaki kirinya. Kalau pun ia sadar, ia tak bisa jalan, dan mungkin akan dibantu oleh tongkat atau kursi roda.
Jemari Syahila mulai bergerak, menyentuh tangan suaminya yang sejak tadi menggenggamnya.
"Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Aku bahagia, Sayang. Aku merindukanmu." Athar mengecup kening istrinya lembut.
Bibir pucat itu bergerak-gerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, tak ada sepatah kata pun yang mampu terucap.
"Kamu mau apa, Sayang? Aku selalu ada di sini untukmu."
Bibir pucat itu tertarik ke samping. Matanya yang sayu berkedip sesaat. Menangkap ucapan suaminya barusan. Tak ada yang ia rasakan saat ini kecuali ingin segera pulih dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.
Selama enam bulan koma, keluarga Syahila di kampung hanya menjenguk dua kali. Karena mereka tak memiliki cukup ongkos untuk sering-sering menengok. Mereka memasrahkan segala urusannya pada Athar dan keluarganya.
Athar tak keberatan karena memang sudah tanggung jawabnya. Semua biaya rumah sakit didapat dari asuransi kesehatan yang sang istri ikuti. Di mana tiap bulannya terpotong dari gaji.
****
.
Esoknya.
"Dari mana saja kamu?" Hilda memergoki sang anak yang baru saja masuk ke rumah dengan wajah sayu dan rambut berantakan.
Semalaman Athar tidur di rumah sakit menjaga sang istri. Ia melangkah ke arah kamarnya tanpa menghiraukan ucapan mamanya sendiri.
"Athar!" Hilda mengikuti langkah Athar ke dalam kamar.
Athar langsung melompat ke atas kasur dengan posisi menelungkup. Hilda menghampiri dan berdiri di sebelah ranjangnya.
"Athar, kamu dari mana saja? Semalam kamu membiarkan Thifa tidur sendiri? Suami macam apa kamu?"
"Mah, aku ngantuk. Jangan berisik ah. Ntar aja ngomongnya. Lagian dia kan sudah besar, masa nggak berani tidur sendiri." Athar berbicara sambil memejamkan matanya.
Tak lama kemudian suara dengkuran menggema di ruangan. Hilda mendengkus kesal. Di tengah pintu Thifa menatap perih. Ia tak menyangka pernikahannya akan seperti ini.
Athar yang ia pikir akan berusaha menyayanginya, bahkan untuk menegurnya saja tidak. Ia justru sibuk dengan urusannya sendiri.
"Thifa, kamu Mama antar ke pesantren, Ya." Hilda mengusap bahu menantunya lembut.
"Nanti saja, Mah. Aku harus izin Mas Athar dulu." Senyum tipis yang dipaksakan itu menghiasi wajah ayunya.
Hilda tahu betul apa yang tengah dirasa oleh gadis di hadapannya itu. "Sudah, kita ke dapur aja yuk. Bantu Mama. Athar memang suka begitu, mungkin semalam dia habis janjian dengan teman-temannya, jadi dia lelah."
Thifa hanya mengangguk, mengikuti langkah ibu mertuanya. Ia tak berpikir yang macam-macam ke mana semalam suaminya pergi. Yang ia rasa hanya, Athar itu belum bisa menerima dirinya dengan seutuhnya.
Waktu memang masih menunjukkan pukul delapan pagi. Sarapan tertunda satu jam. Menunggu Athar bangun dari tidur. Sejak kepulangannya sekitar dua jam yang lalu ia belum keluar juga dari dalam kamarnya.
Sarapan telah terhidang di meja makan. Thifa dan Hilda membantu bibi membawa piring dan gelas ke meja makan. Meskipun di rumah itu ada assisten rumah tangga, Hilda tak segan untuk turun tangan ke dapur untuk masak atau sekedar mencuci piring bekas makannya.
"Sayang, kamu panggil suamimu. Kalau belum bangun, bangunkan dia ya, sudah siang ini. Kita harus sarapan."
"Iya, Mah." Thifa tersenyum lalu berjalan ragu ke arah kamar.
Ia mengetuk tiga kali, tak ada sahutan. Akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka pintunya perlahan.
Ceklek.
"Aaa....," jeritnya saat baru dua langkah ia masuk kamar dan memergoki suaminya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk kecil yang terlilit di pinggang.
Kulit putih, dada bidang dengan tubuh atletis terpampang sekilas, cepat-cepat Thifa berbalik badan. Jantungnya berdebar hebat. Spontan Thifa menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan.
"Mas Athar pakai bajunya," ucapnya gugup.
Athar cuek, ia justru berjalan ke arah lemari. Santai memilih pakaian yang hendak ia kenakan. Membiarkan istri keduanya tetap berdiri tak berkutik di sana.
"Mas, sudah belum? Mama menyuruh sarapan."
Tak ada sahutan dari bibir Athar. Selesai berpakaian, Athar menyisir rambutnya. Lalu berjalan ke pintu dan keluar melewati istrinya kemudian meninggalkan Thifa tanpa berkata apa pun.
Thifa menarik napas pelan, "Sabar, Thifa," gumamnya lirih lalu ikut keluar setelah menutup kembali pintu kamar.
***
.
Mereka bertiga makan di ruang makan. Nasi goreng dengan telur mata sapi kesukaan Athar tersaji. Sementara Thifa lebih suka telur dadar dengan irisan daun bawang. Kalau Hilda lebih memilih sarapan dengan roti gandum. Ia sedang mengurangi gula juga makanan berminyak.
Sarapan tanpa suara, hening sampai makanan di piring masing-masing habis. Athar lalu bangkit dari duduknya. Hilda menahan tangan Athar, ia kembali duduk.
"Mau ke mana lagi? Bukannya hari ini kamu masih cuti?" tanya Hilda.
"Mah, aku mau bicara sama Mamah."
"Okey, bicara saja."
"Jangan di sini." Athar melirik ke arah Thifa.
"Loh kenapa?"
"Tentang Syahila," ucap Athar berbisik di telinga mamanya.
"Eum, Thifa. Kamu bawa piring kotornya ke belakang, ya. Mama bicara dulu dengan Athar."
"Iya, Mah." Thifa mengangguk.
***
.
Hilda dan Athar masuk ke kamar.
"Kenapa dengan dia? Pasti kondisinya memburuk."
"Mah, Syahila udah sadar. Semalam dokter telepon aku, aku ke sana semalam. Dia udah bisa membuka matanya, jarinya juga udah bergerak-gerak." Athar bercerita dengan wajah berseri dan mata berbinar-binar
"Apa?" Hilda memegang dadanya, syok.
"Nggak mungkin, kamu bercanda kan?" tanyanya tak percaya.
"Aku nggak bercanda, Mah. Mamah mau kita ke sana sekarang?"
"Ngapain? Mama nggak butuh dia."
Hilda berjalan ke arah ranjang, ia duduk di tepinya. Athar menatap ke arah ibunya berharap Hilda menerima istrinya lagi.
"Mah, dia masih menantu Mamah."
"Tapi dia yang udah membuat Ayah kamu meninggal dunia. Sampai kapan pun, Mamah nggak akan memaafkam dia."
"Mah, Ayah pasti sedih lihat Mamah seperti ini. Ayah meninggal karena takdir. Bukan karena Syahila."
"Iya, seandainya saja kamu tidak, ah Mama malas membahas masalah itu lagi."
"Ya sudah, aku mau ke rumah sakit lagi. Mamah yakin nggak mau ikut?" Athar menawarkan sekali lagi.
Hilda menggeleng. "Oh iya, kamu antar Thifa dulu ke pesantren. Ada daftar ulang murid baru katanya."
"Biar dia naik taksi aja sih, Mah," ucap Athar malas.
"Kalau dia belum punya suami pasti Mama suruh naik taksi, tapi kan ada kamu. Apa kafa orang tuanya nanti."
Athar mendengkus kesal. "Hem, tapi aku nggak mampir. Hanya mengantar saja, habis itu aku langsung ke rumah sakit."
"Terserah!"
***
.
Akhirnya Athar mau mengantar Thifa ke pesantren. Di sepanjang perjalanan mereka hanya di membisu. Athar fokus di balik kemudi, sementara Thifa memandang keluar jendela samping.
Jalanan pagi itu tak begitu macet. Hanya butuh waktu sekitar empat puluh lima menit saja mereka sudah tiba di depan bangunan berwarna hijau. Dinding di sekelilingnya tinggi. Mobil Athar berhenti di depan gerbang.
"Sudah, loe turun sini aja. Gue masih ada urusan," perintah Athar.
Thifa bergeming. Ia diam saja tak bergerak apalagi menatap suaminya.
"Hey, loe denger nggak sih gue ngomong."
Thifa tetap diam, menoleh pun tidak.
Athar mengembuskan napas kasar. "Okey, gue antar loe masuk." Athar memarkir mobilnya di pinggir jalan. Ia turun dan membukakan pintu sebelah. Thifa tersenyum kecil.
Thifa pun turun, Athar berjalan di depan sang istri. Pintu gerbang besar itu dibuka oleh seorang penjaga.
"Assalamualaikum ustadzah Thifa," sapa si pria paruh baya tersebut.
Athar mengernyit, ia lalu berjalan lagi ke depan. Ia tahu istrinya itu hendak ke mana. Ke kantor pendaftaran. Dan dia masih hapal betul di mana letak kantornya itu. Karena dulu waktu sang Ayah masih hidup, ia sering di bawa ke dalam pesantren ini. Sayangnya ia tak pernah mau untuk tinggal dan belajar di dalam pondok.
Namun, saat ia sudah berjalan cukup jauh. Ia merasa di belakangnya tak ada orang yang mengikuti. Ia pun menoleh.
Dilihatnya dari kejauhan, sang istri sedang berbincang dengan seorang wanita berjilbab biru, juga seorang pria muda, yang diyakini adalah seorang ustadz juga. Athar geram melihatnya.
Ia lalu menghampiri mereka. Kemudian berjalan ke arah gerbang hendak pulang. Namun, tangan Thifa sontak meraihnya. Athar tertegun sesaat saat tangan lembut itu menyentuhnya.
Mereka saling pandang sesaat.
"Mas Athar mau ke mana?" tanya Thifa.
Athar melihat ke arah kedua teman Thifa yang kini tengah memandanginya.
"Mau pulang," jawabnya cuek, tapi gak melepas tangan Thifa, ia justru menggenggamnya.
Thifa menarik tangan suaminya itu ke hadapan kedua temannya.
"Ini suami aku," ujarnya memperkenalkan pada keduanya.
Pria berpeci putih mengalami Athar seraya tersenyum. "Selamat atas pernikahan kalian, saya Fikri."
Sementara teman wanitanya menangkupkan kedua tangan di dada. "Selamat Mas Athar, saya Dahlia teman Thifa"
Athar tersenyum kecil. "Terima kasih."
"Kalau begitu, kita duluan, ya, Thifa. Mas Athar, mari." keduanya berpamitan lalu berjalan ke arah kantor.
Cepat-cepat Thifa menarik tangannya dari genggaman sang suami.
"Kok dilepas?" tanya Athar.
"Udan selesai."
"Loh, tadi kan loe yang megang-megang."
"Pencitraan, Mas. Aku nggak mau orang-orang tahu kalau pernikahan kita...." Thifa tak melanjutkan pembicaraannya lagi.
"Owh, pencitraan. Di sini aja kan?"
"Iya."
"Okey, gue ikutin cara main loe."
"Makasih, sekarang Mas boleh pergi."
"Owh, tentu. Dari tadi emang gue pengen pergi, tapi loe tahan. Oh iya nanti pulangnya bisa kam sendiri?"
"Mas jemput aku di rumah abi. Assalamualaikum." Thifa melangkah pergi.
Ia tersenyum kecil. Hatinya sedikit bahagia saat melihat suaminya tadi menurut ketika diperkenalkan pada kedua temannya. Ia pikir Athar akan menolak dan berperilaku kasar atau berkata yang tak enak didengar.
"Apa?" Athar geram. Ia mengepalkan tangannya kesal. Merasa terjebak dengan permainannya sendiri.
****
Vote dan komennya yaaaa
Luph u all 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Tukiyem Samudra
263
2020-06-28
1
Anik Afifah
bagus thor
2020-01-25
2