Bagian 4

Bismillah.

Assalamualaikum.

Aku nggak akan bosen ya untuk mengucap salam,  semoga kalian juga tidak akan pernah bosan untuk menjawabnya. Saling mendoakan satu sama lain. 

Semoga kita semua sehat dan dalam lindungan Allah swt.

Kalau suatu saat aku nggak ada,  semoga kelak apa yang aku tulis bisa menjadi ladang amal jariyah. Aamiin. 

💕💕💕

Athar kembali ke mobilnya. Ia pun melaju menuju ke rumah sakit. Masa cutinya tinggal dua hari lagi,  hari ini dan besok. Tak ingin ia sia-siakan begitu saja, terlebih istri pertamanya sudah mulai sadar.

Perasaan rindu membuncah di dalam hatinya, ingin segera bertemu dan menyapa Syahila. Jalanan tidak begitu macet seperti biasanya,  mungkin keadaan saat ini berpihak padanya.

Rasa tak sabar membuatnya sedikit menginjak gas lebih dalam lagi,  sehingga kecepatan mobil yang ia kemudikan pun menjadi agak ngebut. Ia ingin cepat sampai di rumah sakit.

Wajahnya yang berseri membayangkan hidupnya akan bahagia seperti dulu. Bersama dengan Syahila,  masa-masa di mana saat mereka baru pertama kali menikah. Bulan madu ke beberapa kota.

Tiba-tiba seorang wanita tua hendak menyebrang jalan. Athar terkejut bukan main, karena mobil yang ia kemudikan tersebut lajunya terlalu cepat,  ia menginjak rem dan membanting stir ke arah kanan.

Brak!

Mobil Athar menabrak pembatas jalan,  ia pun pingsan seketika. Terlihat darah segar mengalir keluar dari pelipisnya. Warga yang berada di sekitar langsung berkerumun. Asap mengepul dari bagian depan kap mobil. Bau bensin menguar ke udara. 

***

Di tempat lain. Hari ini adalah hari yang amat sibuk untuk Thifa. Ada ratusan santriwati baru yang mendaftar ulang.  Ia dan beberapa rekan lainnya yang biasanya hanya mengajar di dalam kelas,  kini ikut membantu untuk memberikan arahan dan pengenalan tentang sistem pembelajaran yang akan diterima oleh pata santriwati.

Pondok pesantren putra dan putri terpisah. Ada gerbang besar yang menjadi pemisahnya.  Ustadz boleh mengajar di pondok putri,  tetapi tidak sebaliknya. 

Thifa kini sedang berdiri di depan aula,  di hadapannya para santriwati baru duduk mendengarkan arahan. Ada beberapa peraturan yang harus dijalani, juga beberapa larangan untuk tidak membawa benda-benda tertentu. Semisal handpone, dan bacaan seperti komik atau novel yang berisi tentang percintaan. Selebihnya novel islami diperbolehkan.

Peraturan umumnya adalah,  para santriwati diwajibkan datang ke mesjid sebelum adzan. Kalau datang saat adzan masih diberi kompensasi. Namun, apabila terlambat akan ada sanksi yang harus diterima.

Setiap hari senin dan kamis disunnahkan untuk berpuasa. Dapur tempat mengantri makan akan dibuka sejak pukul tiga pagi. Dan untuk yang tidak berpuasa akan dibuka pukul enamnya. 

Sore hari setiap senin dan kamis juga diadakan muhadhoroh. Belajar berpidato dengan tiga bahasa,  Indonesia,  Arab dan Inggris.

Hari libur bukan hari ahad,  melainkan hari Jumat. Jadi,  seandainya ada santri yang hendak dijenguk oleh orang tuanya, harus dibilang jauh-jauh hari,  kalau liburnya hari jumat.

Penggunaan bahasa sehari-hari adalah bahasa Arab dan Inggris. Dilarang memakai bahasa daerah. Akan kena sanksi dan dicatat.

"Nah,  kurang lebih itu peraturan yang ada di dalam pondok ini. Tapi adik-adik jangan khawatir, akan ada kakak pembimbing di tiap kamar kalian." Thifa tersenyum.

"Mungkin ada yang mau ditanyakan?" tanya Thifa lagi.

Semuanya hening. Tiba-tiba ia melihat dari kejauhan seorang gadis yang ia kenal sedang berlari ke arahnya. Wajahnya cemas.

"Mbak,  Mbak Thifa, Mas Athar, Mbak." Suara gadis itu bergetar saat berada di depannya.

"Sebentar ya adik-adik."

"Ono opo tow?" tanya Thifa berbisik.

"Mas Athar kecelakaan, Mbak!" ucapnya lirih.

"Apa?"

"Ummi barusan dapat telepon dari Bu Hilda. Mbak disuruh pulang sekarang."

"Iya,  Dek. Sebentar. Tunggu Mbak ya. Mbak mau minta ustadzah Yuli gantiin." Thifa berjalan ke arah seorang wanita berjilbab biru yang berdiri di pinggir mesjid.

Ia berbincang sebentar, meminta wanita itu menggantikannya memberikan arahan pada santriwati baru. Setelah berpamitan Thifa bergegas pulang.

Thifa diantar ummi dan abinya ke rumah sakit. Mereka bertiga naik taksi. Perasaan cemas menyelimuti gadis dua puluh tahun yang duduk di sebelah umminya itu.

Telapak tangannya berkeringat,  baru tadi pagi ia bisa menggenggam tangan sang suami. Kini ia harus menerima kabar buruk tentang suaminya itu. Tanpa terasa buliran bening mengalir di pipi mulusnya.

Ia memandang ke arah jendela sebelah kanannya. Sesekali mengusap pipinya yang basah.

"Berdoa saja, Nduk. Semoga suamimu baik-baik saja." Ummi mengusap bahu sang anak lembut.

"Thifa takut, Ummi. Thifa takut Mas Athar kenapa-kenapa." Ia memeluk tubuh umminya dari samping.

Ummi mengusap kepala putrinya dan mengecup pucuk kepalanya. Mencoba memberikan ketenangan.

💕💕💕

Di ruangan kurang lebih berukuran 4x4m2 itu. Seorang pria terbaring lemah dengan bagian kepala berbalut perban. Thifa berdiri tepat di samping ranjang suaminya.

Sejak satu jam yang lalu ia datang,  Athar belum juga sadar. Keluarganya dan mama Athar menunggu di luar. Sengaja membiarkan Thifa di dalam sendiri. Berharap dengan adanya Thifa di sana Athar akan segera sadar.

Perlahan Thifa meraih tangan suaminya, mengusap lembut dan menciumnya. Air mata yang tumpah membasahi telapak tangan Athar,  ia bershalawat dengan nada lirih.

Tiba-tiba jemari Athar bergerak-gerak. Cepat Thifa menghapus air matanya,  ia mendekat ke arah sang suami. Menatapnya lekat-lekat.

Bibirnya tertarik saat kedua mata Athar terbuka. Namun,  bibir Athar menyebut wanita lain,  selain Thifa yang sejak tadi menunggunya.

"Syahila, Syahila mana?" tanyanya dengan suara parau.

Thifa menunduk,  ada rasa perih yang menyayat di dalam dadanya saat sang suami menyebut wanita lain.

"Syahila mana?" Athar mengulang lagi pertanyaannya.

Thifa menelan ludah, mencoba untuk membuka mulutnya dan berucap, "Istrimu itu sudah meninggal, Mas."

"Nggak! Syahila masih hidup. Asal loe tahu ya, Syahila istri gue itu masih hidup." Athar mencoba bangkit untul duduk.

Tangan Thifa mencegahnya.

"Mas,  jangan banyak bergerak dulu."

"Lepas! Gue bilang lepas!" Athar mencoba memberontak.

Thifa melepas dan menjauhi tangannya. Athar beringsut dari ranjangnya.  Thifa tak bisa mencegah saay sang suami berjalan ke arah pintu.

Brugh!

Tubuh lemahnya terjatuh di depan kamar. Thifa segera membantu sang suami untuk bangun. Di sana Hilda dan orang tua Thifa yang duduk di kursi tunggu ikut terkejut melihat kejadian itu.

"Athar,  kamu apa-apaan sih? Main keluar aja dari kamar." Mama yang membantunya kembali berbaring merasa kesal dengan ulah anak semata wayangnya itu.

Athar hanya diam. Thifa segera mengambilkan air minum untuk sang suami. Namun,  Athar menolaknya.

"Bu Hilda, saya dan suami sepertinya harus pamit. Sudah mau magrib," ucap Ummi.

"Owh, iya. Nggak apa-apa. Terima kasih bapak sama ibu sudah mau jenguk Athar.

"Iya,  Bu. Nak Athar kan anak kita juga." Kali ini abi ikut menanggapi.

"Kalau begitu kami pamit dulu, ya. Thifa kamu jaga suamimu, ya. Nak Athar, Ummi sama Abi pulang dulu ya." Ummi menghampiri Athar.

Athar tetap menghormati kedua orang tua Thifa dengan mencium punggung tangan mereka yanh hendak pamit pulang.

"Mah,  Thifa antar mereka keluar dulu, ya."

Thifa meminta izin pada mertuanya. Hilda memperbolehkan. Mereka akhirnya keluar ruangan.

Kini hanya ibu dan anak yang tinggal.

"Athar, kamu mau ngapain tadi? Kabur?" tanya Hilda geram.

"Mah,  aku mau nemuin Syahila. Dia pasti lagi nungguin aku, Mah. Dia udah sadar. Kasihan dia, Mah. Sendirian."

"Sudah, kamu nggak usah pikirin dia dulu. Kamu nggak lihat apa kondisi kamu kaya gimana?"

"Tapi, Mah. Aku nggak kenapa-napa. Aku cuma ingin bertemu istriku,  Syahila. Apa aku salah? Aku sudah turutin semua kemauan Mamah untuk menikah dengan Thifa, wanita yang sama sekali nggak aku suka apalagi aku cintai. Sekarang Mamah juga larang aku bertemu dengan Syahila?"

"Mama nggak mau kamu kembali lagi sama perempuan itu. Istri kamu cuma satu, Thifa. Menantu Mama juga cuma Thifa."

"Tapi Syahila masih hidup, Mah." Air mata Athar kini tumpah.

Hilda tetap pada pendiriannya. Ia berjalan ke arah jendela,  menatap langit yang mulai gelap. Air matanya ikut menetes, teringat almarhum suaminya. Ia merasa gagal mendidik sang anak yang hanya satu itu.

Dari tempat lain,  Thifa diam-diam mendengar perbincangan ibu dan anak itu dari balik pintu yang terbuka sedikit. Kakinya seketika lemas mendengar semuanya. Dadanya sesak. Bayangan akan kehidupan pernikahan yang Indah seketika lenyap.

Ia malu,  ia kecewa. Ia sudah menjadi orang ketiga rumah tangga suaminya. Ternyata istri pertama Athar masih hidup. Ia tak tahu harus berkata apa jika kedua orang tuanya mengetahui hal ini. Meskipun ia sendiri masih bisa untuk berpura-pura tidak mengetahuinya.

Air matanya kian mengalir deras,  ia berlari di koridor rumah sakit,  sesekali mengusap pipinya yang basah itu. Thifa menuju ke arah mushola. Berwudhu dan sholat. Menumpahkan segala keresahan di hatinya pada sang Maha Pencipta. Semoga ada jalan keluar yang tak menyakiti hati siapapun. Ia rela jika ia yang harus tersakiti hatinya.

💕💕💕

Vote dan komennya ya gaes...

Luph u all 😘

Terpopuler

Comments

Tukiyem Samudra

Tukiyem Samudra

238

2020-06-28

1

Ridahariyanti Hariyanti

Ridahariyanti Hariyanti

amin

2020-04-12

1

Aisyah Amel

Aisyah Amel

subhanallah istri yang Sholehah jd korban

2020-04-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!