Memang kurir

"Loe ngapain disini?" Tanya Ikmal kemudian, dia berusaha bersikap ramah kepada Peira, dia tidak suka membeda-bedakan semua temannya, meskipun dikampus mereka belum pernah berbincang ataupun bertegur sapa.

"Gue antar paket punya loe." Jawab Peira sambil menyodorkan kotak yang cukup besar kepada Ikmal, dengan cepat Ikmal menerimanya.

"Dan tandatanganlah disini!" Seru Peira, Ikmalpun membubuhkan tandatangannya disecarik kertas yang Peira sodorkan.

"Loe jadi kurir?" Tanya Ikmal hati-hati, takut Peira merasa tersinggung.

Peira tersenyum getir menanggapinya, Pasti anak orang kaya seperti Ikmal hanya bisa mengolok-ngolok pekerjaannya.

"Ehh, sory, gue nggak bermaksud..." Ucap Ikmal menggantung, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Nggak apa-apa kok, gue memang kurir." Ucap Peira sambil tersenyum.

Ikmal ikut tersenyum lega karena sepertinya Peira tidak merasa tersinggung dengan pertanyaannya.

"Ayo masuk dulu! Gue buatin minum." Ucap Ikmal ramah, karena pada dasarnya dia baik hati terhadap semua orang.

Peira menyeringai, mana ada kurir disuruh masuk kerumah pelanggannya, apalagi sampai dibuatkan minum. Ini sebuah penghargaan atau justru penghinaan? Pikir Peira.

"Nggak usah, makasih. Gue masih ada barang yang harus diantar." Tolak Peira secara halus. Ikmal hanya manggut-manggut saja.

Beberapa saat suasana berubah menjadi hening, Peira menatap Ikmal dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan Ikmal yang diperhatikan seperti itu jadi gugup sendiri.

'Kenapa dia liatin gue kaya gitu sih? Terpesona kali ya? Secara gue kan ganteng gini.' Ikmal membanggakan dirinya sendiri didalam hati.

"Kenapa loe liatin gue kaya gitu?" Tanya Ikmal kemudian.

"Sory, uangnya?" Tanya Peira sedikit tidak enak, pasalnya dia terkesan sedang menagih hutang terhadap lawan bicaranya itu.

"Ha..." Wajah Ikmal bersemu merah, terasa kalimat pendek Peira menampar pipi mulusnya, dia lupa kalau dia memilih pembayaran secara COD.

Peira tersenyum sambil menunjukkan deretan giginya, senyum yang dipaksakan karena sebenarnya dia tidak sedang ingin tersenyum, itu hanya untuk menutupi rasa malunya karena sudah lancang menagih uang kepada pelanggannya.

"Hehehe, sory, gue lupa." Ikmal terpaksa tertawa melihat Peira yang tersenyum aneh, padahal itu sama sekali tidak lucu.

Ikmal merogoh saku celananya dan memberikan Peira sejumlah uang.

"Kembaliannya buat loe aja!" Seru Ikmal.

"Sory, tapi gue orangnya sangat perhitungan. Loe ambil aja kembaliannya." Ucap Peira sambil memberikan Ikmal uang 10 ribu dan 5ribuan yang terlihat sudah lecek.

Walaupun lecek, Peira sangat menghargai yang namanya uang. Baginya mendapatkan uang sangatlah sulit, setelah uang didapat, dengan cepat dia akan berpindah tangan.

"Oh, ya udah." Ikmal mencoba untuk mengerti dan tidak memaksa Peira, hanya saja ikmal tidak habis pikir. Biasanya setiap orang yang dia berikan sesuatu akan sanang hati menerimanya, tapi berbeda dengan Peira.

Tapi untuk apa juga Ikmal memikirkan Peira, toh Peira hanya orang yang dikenalnya sepintas, bahkan mereka tidak pernah menganggap satu sama lain menginjakkan kaki diatas tanah yang sama.

***

Tidak ada hari yang tidak melelahkan untuk Peira, meskipun dia sangat menyukai pekerjaanya.

Hari sudah mulai gelap, dia memarkirkan motor scoopynya didepan teras rumah kontrakan itu, dia akan berganti peran jadi anak solehah yang dengan ikhlas membantu ibunya.

Tapi ketika masuk kedalam, Peira malah melihat ibunya yang sudah menyetrika, bukan sedang mengolah bahan dagangannya.

"Bu, kenapa jam segini udah nyetrika? nggak siapin bahan buat besok jualan?" Tanya Peira.

"Kamu sudah pulang Pei? Ibu besok libur dulu jualannya, besok akan banyak sekali cucian." Jawab bu Leni.

Peira tersenyum getir menanggapi perkataan sang ibu, sebenarnya dia tidak tega melihat ibunya itu bekerja keras diusia senjanya ini, dia menjadi tukang cuci pakaian dari satu pintu kepintu yang lain. Tapi keadaan yang memaksa agar mereka mendapat pundi-pundi rupiah yang lebih banyak lagi.

Jika boleh memilih, Peira ingin keluarganya kembali utuh seperti dulu. Ini semua terjadi karena laki-laki berengs*k itu, dia yang telah menghancurkan keluarga kecil milik Peira. Kini laki-laki itu harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya, nafas Peira terasa menggebu manakala mengingat kebejatan yang dilakukan laki-laki itu.

'Gue benci loe, laki-laki berengs*k!'

***

Fajar sangat menikmati masakan yang buat oleh ibunya khusus untuk dirinya, kendati demikian, tetap saja ketiga adiknya juga ikut menyantap makanan itu.

Masakan sang ibu terasa begitu lezat dimulut Fajar.

"Nak, jangan terlalu bekerja keras! Nanti kamu sakit." Ucap bu Fitri.

"Aku hanya butuh do'a dari ibu supaya aku selalu diberi kesehatan." Ucap Fajar.

"Tanpa diminta, ibu selalu mendo'akan yang terbaik untuk anak-anak ibu." Balas bu Fitri.

Sehabis magrib, Fajar harus pergi bekerja kekafe, diapun cepat-cepat menghabiskan sisa nasi dipiringnya.

"Kak, Nia boleh kerja ya... Lumayan kan, seenggaknya Nia nggak akan minta uang jajan sama kakak." Ucap Vania, adik Fajar paling besar, dia masih duduk dikelas 2 SMA.

Fajar yang mendapat pertanyaan seperti itu menoleh kearah Vania dengan tajam.

"Siapa yang akan mempekerjakan anak dibawah umur?" Tanya Fajar.

Vania menggigit bibir bawahnya takut kakaknya itu marah kepadanya. Tapi Vania tidak yakin Fajar marah, karena kakaknya iti bukan tipe orang pemarah.

"Nia janji kok, nggak akan lupa sama pelajaran sekolah." Ucap Vania mencoba meyakinkan Fajar.

"Kamu fokus belajar aja, kakak masih mampu memberi kamu uang jajan." Ucap Fajar.

Vania sedikit kecewa terhadap kakaknya itu. Kendati demikian, Vania sangat paham kalau keputusan Fajar adalah untuk kebaikannya juga.

Selama ini Fajar sudah menggantikan sang papa sebagai tulang punggung sekaligus kepala keluarga, semua yang diputuskannya selalu tepat. Vania hanya bisa menurut dan tidak membantahnya lagi.

"Aku pergi sekarang ya bu." Pamit Fajar lalu mencium tangan ibunya.

"Hati-hati ya nak!" Seru bu Fitri.

"Iya, ibu jangan lupa minum obatnya, dan kalian jangan lupa kerjakan pr!" Ucap Fajar pada ibu dan ketiga adiknya.

"Iya kak."

"Iya nak." Ucap bu Fitri dan ketiga adik Fajar bersamaan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Bu Fitri menatap kepergian Fajar dengan pilu, kasihan sekali anak itu. Disaat anak seusianya akan menghabiskan waktu dengan bergaul bersama teman-temannya, atau hanya fokus belajar, tapi Fajar harus bekerja banting tulang untuk menafkahi keluarganya.

Bu Fitri bukan membeda-bedakan keempat anak-anaknya, tapi rasa sayangnya kepada Fajar sedikit berbeda.

Mungkin karena sejak kecil Fajar selalu dia bawa dalam kesusahan, bukan tanpa alasan bu Fitri menamai putra pertamanya Fajar Muharom, Fajar lahir disaat matahari akan terbit dan memancarkan cahaya terangnya pada garis cakrawala diawal bulan Muharom ( nama bulan dalam kalender jawa), Fajarpun bagaikan matahari yang bersinar terang kala menggantikan gelapnya malam.

'Semoga lelahmu sekarang, akan menjadi bahagiamu dikemudian hari.' Batin bu Fitri.

***

Ikmal baru saja memarkirkan mobil sport merahnya diarea parkir kampus, diapun segera turun guna menghampiri Airin yang menunggunya di taman samping tempat parkir.

"Yang!" Seru Airin dengan sumringahnya ketika melihat kedatangan sang kekasih.

"Kamu udah sarapan?" Tanya Ikmal kemudian, Airin menggelengkan kepalanya.

"...lho kok kalungnya nggak kamu pakai?" Tanya Ikmal saat melihat Airin tidak memakai kalung pemberian darinya.

"Aku maunya kamu yang pakaikan yang." Jawab Airin dengan manjanya.

"Ya udah, kita kekantin aja dulu. Nanti aku pakaikan disana." Ucap Ikmal.

Merekapun berjalan beriringan menuju kantin.

Dikantin, suasananya cukup ramai. Mungkin banyak mahasiswa/I yang belum sempat sarapan dirumah. Fajarpun terlihat duduk disalah satu kursi yang ada disana, tapi bukan untuk sarapan. Melainkan dia sedang menunggu Irfan yang katanya akan menyalin tugas milik Fajar, tapi batang hidung si Irfan masih belum terlihat.

Fajar malah melihat sepasang kekasih yang baru saja memasuki area kantin dan duduk tepat didepan kursi sebrang meja Fajar, sehingga Fajar bisa dengan jelas melihat apa saja yang mereka lakukan.

Sambil menunggu pesanan datang, Airin mengeluarkan kotak kalung kemarin dan Ikmal langsung mengambilnya.

"Sini biar aku pakaikan!" Seru Ikmal yang dapat dengan jelas didengar oleh Fajar, Airin tersenyum kegirangan.

Fajar memperhatikan setiap gerak-gerik sepasang kekasih itu.

Ikmal menyibak ramput Airin kesamping lalu memakaikan kalung emas berliontin hati itu keleher jenjang Airin.

"Makasih ya yang, aku nggak akan lepasin kalung ini." Ucap Airin.

"Kalau kamu lepasin, kamu harus cium aku." Goda Ikmal.

"Apaan sih yang, malu tau didenger orang." Ucap Airin.

Fajar tertawa geli melihat orang sedang pacaran dihadapannya.

Tiba-tiba saja Fajar jadi teringat kepada Peira saat melihat kalung yang Ikmal pakaikan kepada Airin.

Apa Peira juga akan senang jika diberi hadiah kalung?

Pasalnya, selama enam bulan berpacaran Fajar belum pernah sekalipun memberi Peira hadiah, kalaupun dia akan memberikan Peira kalung, maka itu akan jadi hadiah pertamanya untuk Peira.

"Woy! Nggak dimana-mana bengong aja loe!" Ucap Irfan yang baru datang sambil menepuk pundak Fajar cukup keras, suara Irfanpun membuyarkan lamunan Fajar.

"Lama banget sih loe, lumutan gue nungguin loe." Ucap Fajar pura-pura merajuk.

Irfanpun dengan tidak tau malunya menyalin catatan milik Fajar.

______

jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca yaa readers...

Terpopuler

Comments

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

👍👍👍👍👍

2020-11-07

0

Umi Yan

Umi Yan

lanjut thor..., ditunggu lagi up terbarunya😊

Maaf, ijin promo yah thor "Cinta Sang Desainer" terimakasih😊🙏

Semangat dan sukses selalu utk authornya😊👍💪🙏

2020-10-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!