Café Zoom
Sebuah mobil sport warna putih berhenti dengan kasar, menunjukkan pengemudinya sedang marah dan tidak sabar. Braakkk…pintu mobil dibanting.
Angga memasuki café dengan raut muka yang membuat orang enggan mendekat walau hanya sekedar menyapa. Langsung menuju ke pojok ruangan, matanya mencari berkeliling sosok yang dimaksud. Nihil. Bartender sudah berganti orang.
Angga mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa angka, namun tidak tersambung. Amarahnya makin memuncak. Dia putuskan untuk mendatangi tempat kos Prasetyo, teman Angga saat masih duduk di bangku SMA, yang menjadi bartender di café ini.
Seorang gadis baru saja masuk dengan tergesa-gesa sambil menunduk mencari-cari ponselnya. Saat yang bersamaan Angga bergegas akan keluar dan mereka bertabrakan di dekat pintu masuk. Bruukkk… Tubuh besar menabrak tubuh mungil, maka dipastikan tubuh mungil itu jatuh terduduk.
“Awhh…sakit,” rintih Amelia sambil mengusap pantatnya. Belum hilang rasa kagetnya, pria yang menabraknya sudah membungkuk sambil mengulurkan tangan. Amel segera meraih tangan yang dikira hendak membantunya berdiri.
Tapi belum sampai tangan mereka bersentuhan pria itu berkata, “Serahkan ponselku yang kamu duduki…!” suaranya yang dingin membuat Amel segera mengambil ponsel yang dimaksud dan menyerahkan pada pemiliknya. Segera pria itu menegakkan tubuhnya dan berlalu meninggalkan Amelia yang masih meringis menahan sakit.
“Tuan Muda Angga! Tunggu….!” Seorang pelayan cantik dan molek bergegas berlari mengejar pria tadi.
“Sial banget aku hari ini. Tuan Muda Angga…tunggu….” ucapnya menirukan kalimat pelayan tadi sambil komat kamit seperti membaca mantra. Setelah puas mencibir Tuan Muda Angga, Amelia bergegas menemui salah
seorang pelayan café.
“Mas…bisa saya bertemu dengan pemilik café ini?” tanya Amelia.
“Maaf mbak…kebetulan beliau sedang ke luar kota. Ada yang bisa saya bantu sampaikan?” pelayan itu menawarkan bantuan.
“Kalau saya ingin melihat rekaman CCTV, bisa mas hubungkan saya pada yang bertanggungjawab?” tanya Amelia lagi.
“Kebetulan CCTV kami sedang bermasalah mbak,” jelas pelayan itu.
“Kebetulannya kok nggak betul semua ya, Mas? Sudahlah…terimakasih Mas.” Tanpa menunggu jawaban, Amelia bergegas pergi meninggalkan pelayan tadi yang sedang menggelengkan kepala karena tingkah anehnya.
Hari pun berganti minggu. Tiba saatnya pesta pernikahan artis Noah digelar. Semua staff hotel yang bertanggungjawab sudah sibuk sejak pagi, tak terkecuali Amelia dan Toni. Setelah memastikan semua persiapan sesuai dengan rencana, Amelia mengurung diri didalam kantornya.
Sejak semalam badannya demam dan perutnya mual. Ditambah pagi ini Amelia melewatkan sarapannya karena telat bangun. Kenapa akhir-akhir ini aku selalu sial ya. Tidak ada hal yang berjalan lancar seperti biasanya. Bahkan menemui pemilik café kecil aja aku selalu gagal. Hhhh… desahnya. Kantuk menghampiri Amelia, sampai ketukan di pintu tidak terdengar olehnya.
Tok…tok…tok…Toni membuka pintu.
“Di sini kamu rupanya ibu manajer. Semua sudah onset jadi kamu bisa bernafas lega. Asal mempelainya tidak ada yang melarikan diri, aku jamin pesta ini akan menambah daftar prestasimu selama menjabat Manajer Umum.” Merasa diabaikan, Toni melangkah ke kursi tempat Amel tidur.
“Mel….Amel….” menggoyangkan tubuh Amelia. Kepala Amelia yang awalnya bersandar pada kursi tiba-tiba terkulai ke bahunya akibat gerakan yang dibuat Toni. Panik menyerang Toni. Dia meraba dahi Amelia yang panas.
“Ya ampun, Mel…kamu demam.” Tanpa banyak berkata lagi, Toni menggendong Amelia menuju lift di depan ruangan itu. Dia menekan tombol basemen tempat mobilnya di parkir. Setelah meletakkan Amelia di kursi depan,
Toni duduk di belakang kemudi dan mulai mengarahkan mobilnya ke RS milik ayahnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Toni berusaha menghubungi Tika adiknya yang merupakan dokter sekaligus direktur medis di sana. Sayangnya panggilan sedang dialihkan, membuat Toni makin gusar.
Sampai di rumah sakit, Toni meminta perawat yang memeriksa Amelia segera memanggil dokter Tika. Perawat itu mengangguk dan bergegas meninggalkan bilik periksa karena tahu yang sedang bicara adalah putra sulung pemilik rumah sakit tempat dia bekerja. Tak lama berselang, seorang wanita cantik berwajah oriental datang setengah berlari menuju bilik periksa.
“Amel kenapa, Kak?” tanyanya mulai memeriksa. Tangannya cekatan menempelkan stetoskop di dada dan perut Amel. Matanya sesekali melirik jam ditangannya sambil terus konsentrasi memeriksa.
“Kakak gak tau, Tika. Waktu masuk ke ruangannya, kupikir dia tertidur. Tapi saat dibangunkan, kepalanya malah terkulai dan ternyata dia demam."
“Baik. Kalau gitu kita jalankan tes darah dulu, Kak. Tika curiga dia typoid (tifus) karena tanda dan gejalanya mengarah kesana.”
“Oke. Lakukan aja yang menurut Tika perlu,” ucap Toni memberi ijin. “Kakak mau telepon Paman Candra dulu. Titip Amel ya….”
Sepeninggalnya Toni, Tika mulai menginstruksikan kepada perawat apa saja yang perlu segera dilakukan untuk merawat Amelia. Setelah itu dia duduk di kursi dekat ranjang pasien.
“Amel…aku belum pernah melihatmu sekacau ini. Kamu bukan tipe orang yang masa bodoh dengan kesehatan. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” ujar Tika sambil menggenggam tangan Amelia yang panas.
Di luar ruang UGD, Toni sedang berbicara dengan Paman Candra tentang kondisi Amelia. Terkejut dengan respon dari pamannya yang terkesan tidak mau peduli dengan Amel.
“Ya…nanti Paman akan jenguk dia. Sekalian Paman minta tolong kamu untuk menasehati Amel. Paman gak habis pikir dengan sikapnya dua bulan ini. Seperti orang lain saja dia,” cerita Paman Candra.
“Baik, Paman. Nanti Toni kasih kabar lagi tentang Amel,” kata Toni mengakhiri pembicaraan. Apa yang sebenarnya kamu simpan Amelia??
****
Ruang Presdir Bahari Grup
“Maaf Tuan Muda, karena minimnya informasi yang bisa didapat dari rekaman CCTV itu saya belum berhasil mengidentifikasi gadis itu. Sebagian besar CCTV di kantor keamanan sudah dihapus dan tersisa hanya di depan kamar ini.” Bobi minta maaf atas kegagalannya.
Dia yakin berita yang dia sampaikan mengecewakan Tuan Muda-nya. Baru kali ini Tuan Muda Angga menugaskannya mencari identitas seorang gadis. Biasanya yang dia minta selalu berhubungan dengan lawannya di dunia bisnis perhotelan. Merasa gagal menjalankan tugas, Bobi tertunduk.
“Oke. Kita lupakan dulu tentang gadis itu. Sekarang aku minta kamu temukan Prasetyo untukku. Dia pasti tau tentang kejadian malam itu. Terakhir yang aku ingat, dia menemani aku ngobrol sambil minum vodka. Rasanya ada sesuatu yang dia masukkan ke dalam minumanku. Temukan dia dalam keadaan hidup. Aku ingin tanya langsung padanya,” perintah Angga sambil meremas cangkir kopinya.
“Baik Tuan Muda.” Setelah mengangguk, Bobi bergegas pergi meninggalkan Angga.
Sambil berjalan menuju lift, dia memberi perintah pada J4 dan menegaskan bahwa tugas kali ini harus berhasil. Di dalam lift, Bobi memutar otak agar dapat menebus kegagalannya menjalankan perintah. Sudah menjadi kewajibannya memastikan semua hal disekitar Angga berjalan dengan baik.
Hal itu tidak ada sepersekian puluh kali apa yang telah dilakukan Angga saat menyelamatkan nyawanya yang nyaris melayang setelah Bobi mengundurkan diri dan berniat bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri. Dan sejak saat itu, Bobi berjanji akan melakukan semuanya untuk kebahagiaan Angga, meskipun nyawa taruhannya.
****
Amelia sudah siuman dan dipindahkan ke kamar perawatan masih ditemani Toni dan Tika. Wajah cantiknya tanpa riasan tampak pucat, bibirnya yang indah kering karena panas tinggi, mata yang biasanya bersinar sekarang menatap dengan sayu. Tika merasa kasihan sekaligus sedih melihat kondisi sepupunya.
“Mel, kamu istirahat dulu di sini. Hasil laboratorium darahmu tidak begitu bagus. Ehmm…” Tika tampak ragu melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa Tika? Ayo katakan semuanya, jangan ada yang disembunyikan.” Amelia merasa tidak ada lagi hal yang dapat membuatnya hancur setelah kejadian malam itu, karena dia sudah hancur saat ini.
“Sebelumnya aku minta maaf Mel, sudah melanggar privasimu. Tapi ini murni kesalahan kerja bukan lainnya.” Tika terdiam sejenak.
“Petugas laborat yang berjaga kemarin salah melakukan tes pada darahmu, karena permintaan pemeriksaannya tertukar dengan pasien rawat inap lainnya. Dan itu adalah tes kehamilan...” Tika menggantung kalimatnya di
udara.
“Owh…itu, gak papa Tika. Hasilnya negatif khan?” tanya Amel tenang.
“Ya pastinya. Masa' iya hasilnya positif Mel, iya khan Tika?” tanya Toni menimpali.
Yang ditanya hanya diam sambil memandang Toni dan Amelia bergantian. Seperti menata hati untuk mengatakan sesuatu. Sambil menarik nafas dalam Tika berkata, “Hasilnya positif, Mel.”
Kamar itu seketika senyap. Hanya terdengar suara tarikan nafas dari mereka bertiga yang hanyut dalam pikiran masing-masing. Tika makin bingung setelah mengungkapkan hasilnya. Toni menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan sedangkan yang kiri menggenggam erat jarinya sendiri sampai terlihat putih karena menahan emosi.
Amelia yang paling terkejut dengan berita itu, matanya terpejam rapat membuat bulir bening lebih cepat mengalir turun. Dia tidak menduga peristiwa malam itu bisa membuatnya hamil. Dia pikir hal itu tidak mungkin terjadi dengan pria yang tidak dikenalnya yang bahkan sampai saat ini belum berhasil dia ketahui dan sudah merenggut keperawanannya dengan paksa.
“Mel, mungkin ini bukan saat yang tepat aku tanya. Tapi aku gak bisa menahan lagi. Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan Mel?” tanya Toni setelah berhasil menguasai emosinya.
“Mas, Amel pengen sendiri.”
“Amelia Candra…! Sudah cukup kamu sembunyikan semuanya selama dua bulan lebih. Staff hotel, Paman Candra, bahkan aku sendiri merasa kamu aneh dan menyembunyikan sesuatu. Kamu beda gak seperti biasanya.” Nadanya mulai meninggi. Tangis Amelia semakin menjadi. Kedua tangannya menutupi muka.
“Kak, sebaiknya kita biarkan Amel sendiri dulu. Biar dia menenangkan diri,” kata Tika sambil menarik tangan Toni keluar ruangan.
“Nggak...! Aku harus tau sekarang. Kalau makin ditunda, Amel akan makin menyembunyikan. Sudah kepalang tanggung, ceritakan sekarang, Mel. Aku mohon, lepaskan beban itu. Cerita ke kami, Mel.” Toni berjalan ke sisi ranjang Amel sambil mengelus bahu Amel menenangkan.
Amelia tahu bahwa dia gak akan bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. Dia lel,ah menahan emosi sendirian, lagipula mugkin saja mereka bisa membantunya meyelesaikan masalah. Amel menurunkan telapak tangannya, mengusap airmata dan menarik nafas dalam.
Dia mulai menceritakan kejadian malam itu kepada Toni dan Tika. Sejak awal kejadian panggilan masuk dari Ratih hingga saat dia pergi dari kamar hotel Galaksi.
“Br*****k!! Ini pasti ada hubungannya dengan Ratih dan café itu. Gak mungkin dia kerja sendiri,” kata Toni geram.
“Aku sudah ke café itu untuk menemui manajernya meminta salinan rekaman CCTV, tapi menurut pegawainya dia sedang ke luar kota. Dan aku belum kembali lagi kesana. Aku sudah tanya Ratih, namun aku malah dapat tamparan dari papa,” Amel menghela nafas.
“Sampai sesaat sebelum Tika bilang aku hamil, aku sudah putuskan akan mengubur masalah ini. Menganggap gak ada yang pernah terjadi, menghapus semua ingatan tentang malam itu. Tapi sekarang...” Amel mulai menangis lagi.
Tika dan Toni bersamaan memeluk tubuh Amel. Mencoba memberikan sedikit kenyamanan untuk mengurangi bebannya. Mengelus punggungnya, ikut merasakan apa yang Amel rasakan.
“Lalu sekarang apa rencanamu?” tanya Toni.
“Sebaiknya kita bahas masalah ini setelah kesehatan Amel membaik, Kak. Biarkan dia menenangkan diri dulu beberapa hari. Dan kamu Mel, aku minta kamu untuk fokus pada sakitmu dulu. Pulihkan badanmu agar semangatmu kembali. Hhmm…?” pinta Tika.
“Tapi Tik, apa gak ada kemungkinan terjadi kesalahan pada hasil pemeriksaan? Tolong pastikan sekali lagi tentang kehamilanku…” belum sempat Amel menyelesaikan kalimatnya pintu kamar terbuka, pak Candra dan istrinya berjalan masuk.
Plakk…sebuah tamparan mendarat di pipi Amel yang pucat. Karena terkejut oleh kedatangan Papanya yang tidak diduga, Amel tidak sempat menghindari tamparan itu.
“Anak kurang ajar…!! Bisa-bisanya kamu hamil di luar nikah. Siapa yang menghamilimu?! Jangan-jangan bayi ini hasil hubungan gelapmu di hotel ya?!” amarah Pak Candra meluap.
“Paman…saat ini kondisi Amelia masih lemah, tolong Paman sedikit menahan emosi,” kata Tika berusaha berdiri menutupi Amel.
“Aku tidak peduli. Sakit yang dia rasakan akibat tamparanku tidak ada apa-apanya dibanding rasa malu yang aku tanggung akibat aib yang dia lemparkan ke mukaku! Amel…! Gugurkan bayimu atau pergi dari rumah beserta bayimu.” Telunjuknya mengacung ke arah Amelia.
“Kamu pilih keluarga atau bayi itu…! Papa harap setelah keluar dari rumah sakit semua masalah sudah bersih. Termasuk bayi dalam kandunganmu itu…!” tanpa menunggu jawaban dari Amel, Pak Candra keluar dari
kamar meninggalkan istrinya.
Mama Sonya mendekati Amel, duduk disamping Amel dan memeluknya dengan lembut. Hatinya menangis melihat kondisi Amel. Mama Sonya sudah menganggap Amel seperti anak kandungnya sendiri. Amel anak yang sangat mudah dicintai. Dia cerdas, ramah, perhatian dan ceria. Kasih sayang antara mereka berdua terjalin dengan tulus sampai saat ini.
Amel menangis sejadinya di pelukan Mama Sonya. Dia tahu mama sambungnya itu tulus mengasihinya sejak awal mereka menjadi keluarga. Tiba-tiba pandangannya kabur dan berubah menjadi gelap. Selanjutnya Amel tidak ingat lagi apa yang terjadi.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Dahyun_Twice ❤️
papa kandung rasa mafia
2021-04-07
1
Yani mulyani
punya papa jahat bngt maen nampar melulu percaya sama anak tiri ketimbang anak nya sendiri..
2020-12-07
1
pangeran
sahabat... saudara... knp selalu aja ada cinta... dunia novel emang aneh
2020-12-01
1