Setelah malam yang tegang, keesokan harinya Jessy kembali larut dalam rutinitas kantor. Ia tenggelam dalam laporan dan rapat, mencoba menjauhkan pikirannya dari konflik semalam dengan Yunan.
Menjelang petang, hujan turun lagi. Gerimis menyelimuti kaca jendela dan udara kantor menjadi lembap. Pekerjaannya selesai lebih cepat dari biasanya. Yunan masih sibuk dengan tumpukan dokumen. Jessy pamit singkat, menyelipkan senyum tipis, lalu keluar dari gedung.
Langit mendung. Trotoar licin, aroma tanah basah menyeruak samar. Jessy berdiri di bawah atap kecil menunggu taksi. Sudah lima belas menit. Mobil lalu-lalang, tapi tak satu pun berhenti. Ia sesekali menengadah, menyeka tetes hujan dari poninya.
Sebuah mobil berhenti perlahan. Jendela diturunkan. Sosok yang familiar muncul, tersenyum santai... terlalu santai untuk seseorang yang tidak diundang.
“Jess,” sapa Sam sambil keluar dan membuka pintu penumpang. “Ayo, aku antar pulang.”
Jessy langsung menggeleng. “Terima kasih. Aku nunggu taksi.”
Sam menutup pintu mobil, mendekat sambil menyelipkan tangan ke saku jas. “Masih sama kayak dulu, ya? Menolak tanpa kasih penjelasan.”
“Aku punya alasan,” jawab Jessy datar. “Aku nggak mau bikin masalah baru.”
“Takut Yunan salah paham?”
Tatapan Jessy mengeras. “Aku takut kamu sengaja cari alasan buat ganggu aku.”
Sam tertawa kecil. “Kamu terlalu defensif. Aku cuma pengen kita tetap berteman.”
“Kita nggak bisa jadi teman, Sam,” ucap Jessy tegas. Ia memalingkan wajah.
Tapi Sam tidak pergi. Hujan makin deras. Jessy mulai menggigil. Tubuh lelah, kepala berat. Dan seperti biasa, kelemahannya: rasa tidak enak hati.
“Sekali ini aja, Jess. Aku cuma mau nganter pulang. Demi pertemanan. Aku nggak bakal maksa naik ke atas, sumpah.”
Jessy menarik napas. Ia ragu. Tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ini bukan keputusan terbaik, tapi ia hanya ingin pulang cepat dan beristirahat.
Perjalanan pulang sunyi. Hanya suara wiper dan hujan yang terdengar. Jessy menatap jendela, Sam sesekali mencuri pandang, tapi tak berkata apa-apa.
Di depan apartemen, Jessy cepat turun. “Terima kasih atas tumpangannya,” ucapnya, lalu berjalan ke pintu.
Tapi Sam menyusul. “Sebentar aja. Aku mau bicara. Nggak lama.”
Jessy ingin menolak. Tapi hujan deras, dan Sam sudah berdiri di ambang pintu. Ia mengangguk. “Sebentar saja.”
Apartemen Jessy rapi dan tenang. Ia menunjuk sofa biru di ruang tamu. “Duduk sebentar. Aku ambilkan minum.”
Sam tersenyum dan duduk. “Yunan sering ke sini?”
“Iya.”
“Kamu bahagia sama dia?”
Jessy tak menjawab. Ia mengambil dua botol air dingin dari kulkas. Saat kembali, Sam masih menatapnya. Sorot matanya sulit ditebak.... campuran nostalgia dan penyesalan.
“Kamu masih ingat malam aku nyatain perasaan?” tanyanya.
Jessy mengerjap. “Aku lupa.”
Sam tertawa pelan. “Waktu itu kamu gemetar, tapi bilang ‘iya’ juga.”
“Aku nggak gemetar,” potong Jessy dingin. “Aku cuma nggak tahu harus bagaimana. Kamu nyatain cinta di depan semua orang.”
Sam menunduk. Senyumnya menghilang.
“Aku bahagia waktu itu. Walau tahu kamu nggak sepenuhnya milikku.”
Jessy menatap tajam. “Kamu udah tunangan waktu itu, Sam. Aku nggak lupa.”
Hening.
“Aku minta maaf,” ucap Sam pelan.
“Maafmu telat,” balas Jessy dingin.
Sam diam. Tapi sorot matanya berubah...ada sesuatu di sana.
Lalu—
Pintu apartemen terbuka keras.
Yunan berdiri di ambang pintu. Basah. Entah karena hujan atau karena emosi. Nafasnya berat. Pandangannya langsung menancap ke Sam, lalu ke Jessy.
Ruangan mendadak terasa sempit.
“Kamu di sini?” tanyanya datar. Terlalu tenang.
Jessy berdiri cepat. “Kamu bilang mau lembur?”
“Udah selesai lebih cepat.” Yunan masuk ke ruang tamu. “Dan ternyata aku dapat hadiah begini.”
Sam berdiri. “Aku cuma mampir sebentar. Kami ngobrol. Itu aja.”
“Ngobrol?” Yunan mendekat. Tatapannya tajam. “Di apartemen pacarku, tanpa bilang siapa-siapa?”
“Sudah cukup, Yunan,” potong Jessy cepat.
Tapi Yunan belum berhenti. “Sejak kapan dia jadi pengganti komunikasimu ke aku?”
“Berhenti!” Jessy meninggikan suara. “Aku yang izinkan dia naik. Aku yang salah kalau itu bikin kamu marah. Tapi jangan salah paham!”
Yunan menatapnya. Matanya sempit. “Kenapa kamu selalu kasih dia ruang, Jes?”
“Kamu pikir aku sengaja?” suara Jessy mulai bergetar. “Aku cuma berusaha bersikap manusiawi!”
“Manusiawi atau naif?” sindir Yunan.
Sam mundur setapak. “Aku pamit. Udah terlalu lama di sini.”
“Bagus,” jawab Yunan dingin.
Sam menatap Jessy sekali lagi. Lalu membuka pintu dan pergi. Tapi sebelum menutup, ia berkata, “Dia layak dapat yang lebih baik.”
Pintu tertutup. Jessy terduduk di sofa. Tubuhnya lemas. Bukan karena takut, tapi muak. Lelah.
Yunan berdiri di dekat pintu. Dada naik turun.
“Kamu selalu menuduh. Selalu curiga. Seolah aku ini boneka yang bisa kamu tarik-ulur,” gumam Jessy.
Yunan mendekat. “Aku cuma takut kehilangan kamu.”
Jessy memandangnya lama, lalu berdiri.
“Kalau kamu terus mengekang, kamu akan kehilangan aku bukan karena orang lain. Tapi karena aku memilih pergi.”
Yunan terdiam. Pernyataan itu menghantamnya.
Sebelum ia menjawab, Jessy menyodorkan kaleng minuman dingin.
“Minum. Biar reda. Aku nggak mau berdebat malam ini.”
Yunan menerimanya. Membuka kaleng, lalu meneguk. Hening turun kembali, tapi kini terasa sedikit lebih tenang.
Beberapa menit berlalu.
Yunan mendekat, memeluk Jessy. “Aku cuma takut,” bisiknya.
Jessy diam. Tapi ia tidak menolak. Ia membiarkan pelukan itu mengikat, meski luka belum sepenuhnya sembuh.
“Aku mencintaimu,” ucap Yunan.
Jessy memejamkan mata. “Aku ingin kita saling menghargai. Bukan saling mengekang.”
Dan malam itu, dalam pelukan yang dingin tapi nyata, mereka sadar.
Cinta tidak cukup. Tanpa kepercayaan, yang tersisa hanya jarak dan luka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Rahma AR
yunan cemburu
2024-01-31
1
Jeni Safitri
Ya yunan tingglkan aja jessi, banyak wanita lainkan. Dia cinra sama kamu tapi ngk tega menolak gemgaman tangan laki2 lain
2021-06-06
1