Keesokan paginya, Jessy terbangun dengan tubuh yang terasa nyeri di setiap inci kulitnya. Rasa sakit itu membangunkannya perlahan, menyadarkannya dari tidur yang tidak benar-benar lelap. Begitu membuka mata, pandangannya kabur beberapa saat, lalu perlahan menjadi jelas—dan yang ia lihat membuat jantungnya terasa hampa.
Bercak-bercak merah keunguan menghiasi leher, bahu, dan lengannya. Bekas cengkeraman, jejak yang ditinggalkan, tanda-tanda... kepemilikan. Yunan telah menandainya, seolah tubuhnya bukan lagi milik dirinya sendiri.
Ia mengalihkan pandangannya ke sisi ranjang.
Yunan masih tertidur di sana, wajahnya tampak damai, kontras dengan badai yang semalam ia ciptakan. Wajah itu, yang dulu membuat Jessy jatuh cinta, kini terasa begitu asing. Tak lagi menenangkan—justru membuat dadanya sesak dan kepalanya berdenyut.
Sejak membuka matanya, Jessy hanya menatap punggung Yunan. Diam. Tak bergerak. Seolah waktu terhenti di kamar itu. Entah sudah berapa lama ia menghabiskan waktu hanya dengan menatap sosok lelaki itu—dalam diam, dalam getir, dalam luka yang belum sempat diberi nama.
“Kamu sudah bangun?” suara Yunan akhirnya terdengar, serak dan berat, seperti bangun dari tidur panjang yang menyakitkan.
Jessy membalikkan badan, membelakangi Yunan. Ia tidak menjawab. Bahkan untuk menatap matanya saja, ia enggan.
“Maaf,” kata Yunan akhirnya, pelan—penuh penyesalan.
Namun kata itu, "maaf", hanya terdengar seperti goresan di luka yang masih terbuka. Bukannya menyembuhkan, justru terasa menyakitkan. Jessy tidak berkata apa-apa. Diamnya seperti benteng yang tak bisa ditembus.
Melihat respons dingin Jessy, Yunan semakin bingung. Ia duduk, menatap punggung gadis itu dengan cemas. Tangannya ragu untuk menyentuh, karena ia tahu, sentuhannya kini tak lagi membawa kenyamanan.
“Entah apa yang merasukiku tadi malam…” ucap Yunan lirih, suaranya seperti pecah di ujung kalimat. “Mendengar kamu berkata putus… membuatku sangat marah.”
Putus…
Kata itu bergema di kepala Jessy. Ia mengulangnya dalam hati, mencoba memahami posisinya sekarang. Haruskah ia benar-benar mengakhiri semuanya? Ataukah ia hanya sedang terjebak dalam kabut emosi dan luka yang belum reda?
“Aku janji akan bertanggung jawab,” lanjut Yunan.
Jessy tersenyum kecut, pahit. Tawa kecil yang tak benar-benar tawa muncul dari tenggorokannya. Kalimat itu terdengar seperti bujukan murahan—seperti menenangkan anak kecil agar tidak menangis setelah mainannya dirampas.
Bertanggung jawab? Bagi Jessy, itu bukan hanya soal konsekuensi. Ini tentang luka yang tak bisa dihapus hanya dengan janji. Tentang harga dirinya yang diinjak-injak. Tentang rasa cinta yang hancur diam-diam dalam semalam.
Suara Yunan terdengar lagi, tapi tak jelas. Ia seperti hendak bicara, tapi menahan. Seolah sadar—apa pun yang ia katakan saat ini tidak akan cukup.
Yunan mendekat, memeluk Jessy dari belakang. Ia membenamkan wajahnya ke bahu gadis itu. Pelukan itu bukan pelukan hangat seperti dulu. Itu pelukan orang yang putus asa. Yang bersalah. Yang tidak tahu harus berbuat apa lagi.
“Maafkan aku…” bisiknya, lirih, nyaris tak terdengar.
Jessy memejamkan mata. Napasnya berat, terasa sesak di dada. Ia merasa berada di persimpangan. Antara ingin menjerit dan ingin memeluk dirinya sendiri. Antara ingin pergi dan tidak tahu ke mana.
Ia menarik napas panjang, dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar. Tapi kelegaan tak juga datang. Kepalanya berputar, hatinya terasa hancur berantakan. Satu hal yang paling menyakitkan bukan karena ia dibohongi, atau dilukai—tapi karena yang melakukannya adalah orang yang sangat ia cintai.
“...Kita lihat saja nanti apakah aku bisa memaafkanmu atau tidak,” ucap Jessy akhirnya. Suaranya datar, tapi sarat ketegasan.
Yunan terdiam. Tapi untuk pertama kalinya, ada napas lega yang lolos dari mulutnya. Ia tahu, itu bukan pengampunan. Tapi itu adalah celah—sebuah kesempatan untuk menebus. Ia tidak akan memaksa. Tidak akan menuntut. Karena ia sadar, luka yang ia buat terlalu dalam.
Dalam hati, Yunan bersumpah. Ia akan memperbaiki semuanya. Meskipun mungkin tidak bisa kembali seperti dulu.
***
Sudah seminggu berlalu sejak malam kelam itu. Seminggu sejak segalanya berubah tanpa bisa kembali seperti semula. Dan selama seminggu itu pula, Jessy menjaga jarak.
Ia memang tidak jadi meninggalkan Yunan. Ia tidak benar-benar pergi—tapi juga tidak benar-benar tinggal. Hubungan mereka kini seperti kapal retak yang mengapung di tengah badai: masih di permukaan, tapi nyaris tenggelam kapan saja.
Jessy mengucap kata maaf waktu itu. Ia mengatakan ingin mencoba bertahan. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu… yang retak itu bukan hanya rasa percaya, melainkan juga hatinya sendiri. Setiap kali melihat Yunan, ingatannya kembali ke malam itu. Setiap pelukan, setiap kata manis yang pernah dulu menenangkan—kini terasa seperti beban yang sulit diterima.
Siang itu, kantor mulai lengang. Orang-orang satu per satu meninggalkan meja, membawa serta gelak tawa dan topik santai menuju tempat makan siang favorit mereka.
Jessy masih duduk di mejanya. Tatapannya tertuju pada layar komputer, namun pikirannya berkelana ke tempat lain. Bukannya ia tak lapar—hanya saja ia tak ingin bertemu dengan siapa pun, termasuk Yunan. Terlebih… Yunan memang sempat mengajaknya makan siang tadi, tapi Jessy menolak halus.
"Aku belum bisa," batinnya, bukan karena pekerjaan, tapi karena dirinya sendiri yang belum pulih.
Dia mengirim pesan singkat:
"Aku selesaikan beberapa deadline dulu. Kamu makan aja duluan, ya."
Alasan itu sudah cukup, dan Yunan tidak bertanya lebih jauh.
Di sebuah kafe tak jauh dari kantor, Yunan duduk sendirian di meja pojok, ditemani secangkir kopi hitam yang kini hanya tinggal setengah. Suasana di sekelilingnya begitu ramai—suara musik ringan, bunyi sendok beradu dengan cangkir, tawa pengunjung lain—semuanya seperti latar kosong baginya.
Ia menatap kosong ke luar jendela.
Di balik wajahnya yang tenang, pikirannya dipenuhi oleh Jessy. Sudah seminggu berlalu sejak malam itu, tapi jarak di antara mereka justru terasa makin lebar. Ia bisa melihatnya setiap hari, bisa menyentuh tangannya... tapi dingin itu nyata. Tatapan Jessy kini tak lagi sama. Senyumnya tak muncul semudah dulu. Dan setiap percakapan terasa hambar, seperti ada yang ditahan, disembunyikan.
Yunan tahu, Jessy memang belum bisa sepenuhnya memaafkannya—walau ia tidak mengatakan itu dengan kata-kata. Dan yang paling menyakitkan, dia tahu Jessy sedang mencoba. Tapi sekeras apa pun usaha Yunan untuk memperbaiki, selalu saja seperti menabrak dinding tak terlihat.
Ia menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berisik.
“Kamu masih marah, ya…” gumamnya pelan, seolah berbicara dengan bayangan Jessy yang kini tak ada di hadapannya.
Secangkir kopi tak bisa menenangkan gejolak penyesalan yang terus tumbuh dalam dirinya. Ia ingin memperbaiki semuanya, tapi ia juga tahu—beberapa luka tidak bisa sembuh hanya dengan penyesalan dan janji.
Dan siang itu, untuk kesekian kalinya dalam seminggu terakhir, Yunan merasa... sendirian.
Saat duduk sendiri di kafe itu, Yunan kembali teringat malam itu—malam ketika ia menyentuh setiap inci tubuh Jessy, kekasihnya. Ingatan itu membuat dadanya berdesir aneh. Bukan karena romantis, tapi karena bercampur antara rasa bersalah dan hasrat yang tak bisa dijelaskan.
Bayangan tubuh Jessy, cara gadis itu terbaring diam dengan napas berat dan mata terpejam, melintas begitu saja dalam pikirannya. Dan anehnya, meskipun tahu ia telah melukai perempuan itu, hasratnya justru kembali bergejolak. Tapi kini, bukan dengan cara yang kasar—Yunan ingin melakukannya kembali… namun kali ini dengan kelembutan, dengan cinta yang sesungguhnya.
Namun lamunannya buyar seketika saat seseorang menarik kursi dan duduk tepat di depannya.
"Hai!" sapanya dengan nada menyebalkan.
Yunan mendongak, mendapati pria berperawakan tinggi dengan mata coklat dan senyum sinis yang langsung memancing amarahnya.
Itu Sam—Samuel, pria yang dulu pernah mengisi masa lalu Jessy. Bukan sekadar mantan, tapi duri di dalam daging. Sam adalah alasan kenapa Yunan sering dihantui rasa cemburu. Pria bermuka dua itu selalu bersikap manis saat di depan Jessy, tapi sebaliknya ketika hanya berdua dengan Yunan. Dan entah kenapa, pria itu selalu punya cara untuk muncul di saat yang paling tidak diinginkan.
“Kebetulan sekali kita ketemu di sini,” ujar Sam santai sambil duduk di kursi seberang.
“Ya,” jawab Yunan seadanya. Matanya menatap tajam, jelas menunjukkan ketidaksukaannya.
“Sudah sejauh mana perkembangan hubungan kalian?” tanya Sam tiba-tiba, tanpa basa-basi. Nada bicaranya penuh provokasi, dan itu membuat rahang Yunan mengeras.
“Jangan menanyakan hal yang bukan urusanmu,” ujar Yunan tajam, matanya menyipit menahan emosi.
“Santai bro! Aku hanya penasaran saja,” balas Sam dengan gaya santainya yang menyebalkan. “Dan aku hanya mengingatkan, jangan sampai kamu dicampakkan olehnya seperti aku.”
Ucapan itu seperti menusuk langsung ke titik rawan. Spontan, Yunan bangkit berdiri dan menyambar kerah baju Sam.
“JAGA BICARAMU!” bentaknya. Matanya memerah, nadinya berdenyut cepat. Amarahnya meledak tak terbendung.
“HAHAHAHA!” Tawa Sam membahana di seisi kafe, menciptakan keheningan yang aneh di antara para pengunjung yang mulai menoleh. Beberapa mulai berbisik-bisik. “Kita lihat saja sampai mana hubungan kalian akan bertahan.”
Dan sebelum Sam sempat menyelesaikan ucapannya—Buuukk!! Tinju Yunan mendarat keras di pipi kirinya, membuat kepala Sam terpental ke samping.
Suasana langsung ricuh. Pengunjung mulai berdiri dari kursi mereka, beberapa mengangkat ponsel, merekam kejadian yang tak terduga itu.
“Jessy itu terlalu sombong,” kata Sam lagi, walau mulutnya sudah mengeluarkan darah. “Dia wanita pertama yang membuatku seperti pecundang.”
Buuukkk! Tinju kedua menghantam wajah Sam dengan lebih keras. Kepalanya hampir terhempas ke meja.
“Aku kan sudah bilang jaga bicaramu!” teriak Yunan, napasnya memburu seperti banteng yang kehilangan kendali.
Tapi dia belum berhenti. Tinju ketiga, keempat, kelima—semuanya menghujam Sam bertubi-tubi. Yunan seperti hilang akal. Semua kemarahannya selama ini, semua emosi yang ia simpan setelah malam itu, semua perasaan bersalah terhadap Jessy—meledak seketika. Sam telah memainkan emosi yang seharusnya tak disentuh.
Sam terjatuh ke lantai, tergeletak dengan wajah babak belur. Tapi Yunan belum puas. Ia kembali menarik kerah baju Sam, bersiap melayangkan tinju lagi.
Namun kali ini, beberapa pengunjung akhirnya bergerak. Beberapa pria sigap menarik tubuh Yunan menjauh dari Sam, menahan lengannya yang masih ingin memukul.
“Cukup! Hey, hentikan!” teriak salah satu dari mereka.
Napas Yunan berat. Tubuhnya menegang, matanya masih merah menyala. Tapi cengkeramannya perlahan mengendur. Ia sadar—semua orang kini menatapnya, menilai, menghakimi.
Dan di tengah hiruk pikuk itu, satu pikiran melintas di benaknya:
“Aku menyakiti Jessy karena mendengarkan kata-kata orang ini...”
Dan itu, lebih menyakitkan daripada apa pun.
***
Beberapa hari setelah insiden di kafe yang sempat membuat heboh, Yunan akhirnya menerima surat panggilan dari pihak berwajib. Sam resmi menggugatnya atas kasus penyerangan. Meski Yunan sadar tindakannya memang berlebihan, tetap saja menerima surat itu membuat dadanya sesak.
Proses hukum berjalan panjang dan melelahkan. Namun, berkat bantuan pengacara yang ia tunjuk, akhirnya dicapai kesepakatan damai. Tentu saja itu bukan tanpa syarat.
Sam, melalui pengacaranya, menyetujui damai dengan satu syarat: Yunan harus datang langsung ke rumah sakit dan meminta maaf secara tulus.
Permintaan yang terdengar ringan… namun terasa sangat berat bagi Yunan.
Hari itu, langit mendung. Angin berhembus lambat seperti menyesuaikan dengan suasana hati Yunan. Ia berdiri di depan pintu sebuah ruang perawatan VIP, membawa sekeranjang buah yang dibungkus rapi. Tangannya sempat ragu saat hendak mengetuk, tapi akhirnya ia mantap mengetukkan jemarinya ke pintu.
“Masuk saja!” terdengar suara di balik pintu.
Yunan membuka pintu perlahan, dan di dalam, terlihat Sam tengah duduk bersandar di ranjang rumah sakit. Wajahnya sudah tak separah saat terakhir kali mereka bertemu. Luka-luka memar di wajahnya mulai memudar, tapi sorot mata sinis itu masih sama—dingin dan menusuk.
Yunan meletakkan keranjang buah di meja kecil dekat tempat tidur. Suasana ruangan begitu senyap, hanya terdengar suara alat infus dan hembusan AC.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Yunan akhirnya, suaranya datar tapi terdengar berusaha sopan.
Sam tak menjawab. Ia hanya melemparkan senyuman sinis yang membuat darah Yunan kembali mendidih.
“Aku datang ke sini untuk minta maaf. Bukan untuk menghajarmu lagi. Jadi, jangan pasang muka seperti itu,” ucap Yunan, mencoba menahan nadanya agar tetap tenang.
Masih tak ada respon. Hanya keheningan dan aura mengejek yang terus ditebarkan Sam dari balik tatapannya.
Tanpa banyak bicara lagi, Yunan membungkuk dalam-dalam. Harga dirinya mungkin tercabik saat itu, tapi ini harus ia lakukan.
“Saya minta maaf dengan tulus… karena telah menghajar Anda,” kata Yunan tegas, walau hatinya terasa berat.
Setelah itu, ia berdiri dan berbalik, melangkah ke arah pintu dengan niat segera meninggalkan ruangan.
Namun sebelum tangannya berhasil menyentuh gagang pintu, suara Sam kembali terdengar—menusuk, penuh ejekan.
“Bagaimana rasanya tidur dengan Jessy?” tanya Sam sambil mencibir. “Lihat saja… sebentar lagi dia akan mencampakkanmu. Dia perempuan yang mudah bosan. Kau akan tahu rasanya.”
Langkah Yunan terhenti. Tangannya mengepal erat. Urat di lehernya tampak menegang. Ia memejamkan mata, mencoba menahan badai yang kembali bangkit dalam dadanya.
Satu pukulan lagi, dan aku bisa masuk penjara, batinnya mengingat pesan sang pengacara.
Tubuhnya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena amarah yang begitu sulit ia kendalikan. Namun akhirnya, dengan nafas berat dan tatapan tajam yang tertahan, ia memilih pergi. Tak sepatah kata pun ia balas. Hanya ketegangan yang tertinggal di udara saat pintu ditutup perlahan di belakangnya.
Dari balik kaca, Yunan melihat sekilas Sam membanting gelas ke tembok—mungkin karena tak puas provokasinya gagal.
Malam harinya, Yunan berada di sebuah bar yang remang dan penuh asap. Musik pelan mengalun dari sudut ruangan, tapi tak cukup keras untuk menutupi suara hatinya yang kacau.
Ia duduk sendirian di ujung bar, ditemani segelas bourbon yang nyaris kosong.
Kata-kata Sam terus bergaung di kepalanya. Menghantam pikirannya berkali-kali seperti ombak menghajar batu karang.
“Sebentar lagi dia akan mencampakkanmu…”
Yunan menenggak isi gelasnya dalam sekali tegukan. Wajahnya murung. Matanya merah bukan karena alkohol—tapi karena dendam dan penyesalan yang tak kunjung hilang.
Dia ingin melupakan semuanya malam ini. Melupakan Sam. Melupakan semua omongan kotor itu. Bahkan kalau bisa, melupakan luka yang sempat ia ukir di tubuh dan hati Jessy.
Tapi satu hal yang paling sulit ia lupakan adalah tatapan kosong Jessy… yang masih melekat di ingatannya hingga kini.
Dan malam itu, Yunan tahu: dia bukan hanya sedang berperang dengan Sam, tapi juga dengan dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Hinami
waahhh s yunan ini
2025-07-18
0
Rara Fricila
semangat thor
2024-04-20
0