“Arga!” panggil Meri saat baru saja menutup pintu kamar Mona. Arga yang sudah setengah badan masuk ke dalam kamar pun mundur lagi.
“Ada apa, Nek?” tanya Arga.
Meri berdecak lalu menjitak jidat Arga dengan cukup keras. “Kau ini!”
“Ish! Nenek kenapa menjitakku!” Arga menggerutu lalu menyingkir mundur hingga punggungnya menabrak kusen pintu.
“Nenek mau berbicara denganmu, kenapa kau malah masuk kamar?”
“Nanti saja, aku mau tidur dulu,” tolak Arga dan dengan tidak sopan, langsung masuk menutup pintu dengan cepat.
Meri mendengus kesal. “Dasar bocah kurang ajar!!” Meri mengeraskan gigi dengan di ikuti desisan gemas.
Sudah merasa tak mungkin bisa berbicara dengan Arga saat ini, Meri langsung beranjak menuruni anak tangga. Dari pada mengurusi Arga, lebih baik duduk manis di bawah sana sambil menunggu Mona yang sedang mandi.
Meri sudah tak sabar ingin segera menunjukkan sebuah hadiah untuk Mona. Melihat bagaimana terkejut dan senangnya hati Mona lah yang Meri tunggu-tunggu saat ini. Pasalnya, Mona selalu jingkrak-jingkrak kegirangan jika mendapatkan sebuah hadiah, itulah kenapa Meri sangat menanti momen seperti itu.
“Kalian masih di sini?” tanya Meri pada dua pasang suami istri yang tengah duduk berjejeran sambil menonton acara TV. Mereka berdua mengangguk.
“Di mana Mona? Kenapa tidak ikut turun?” tanya Santi.
Meri ikut duduk, lalu meraih tas, membuka resletingnya mencari ponsel di dalam sana. “Dia sedang mandi.”
Santi ternganga dengan mata membulat sempurna. “Jadi dari tadi sejak pulang dari acara kelulusan, Mona belum mandi?”
Meri menggeleng. “Dia ketiduran. Mungkin lelah.” Usai menjawab pertanyaan Santi, Meri langsung duduk dan fokus menatap layar ponselnya.
Hutomo dan Santi saling pandang lalu angkat bahu.
“Ibu, kita masuk kamar dulu,” pamit Santi pada ibunya.
Tanpa beralih dari layar ponselnya, Meri mengangguk. Santi dan Hutomo pun berlalu masuk kamar meninggalkan Meri yang nampak sibuk dengan jemarinya yang sedang mengotak-atik ponselnya.
“Halo!” ucap Meri begitu telpon sudah tersambung.
Di seberang terdengar suara yang sedikit gaduh. Meri bisa mendengar jelas ada suara beling yang pecah. Entah itu gelas atau botol atau apapun itu, Meri tidak tahu, yang jelas suara kegaduhan di sana terdengar nampak mencekam.
“Halo!!” Meri mengeraskan suaranya, namun masih tak ada jawaban.
“Bagaimana bisa?! Kau itu bodoh atau bagaimana?!” suara bentakan keras itu membuat Meri refleks menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Tian??” gumam Meri saat mengenal suara itu. “Ada apa ini?” imbuh Meri lagi.
Setelah mengerjapkan mata dan bergidik, Meri mendekatkan ponsel itu lagi di telinga. “Halo, Tian.” Suara Meri lebih pelan. Tapi tetap sama, tak ada jawaban dari seberang sana.
“Kan sudah kuperingatkan berkali-kali, kau boleh membuka tempat hiburan malam, tapi dengan satu syarat, jauhi barang-barang haram itu! Itu saja yang aku minta, dan kau tidak mendengarkannya.” Suara geraman dari Tian begitu memekik telinga.
Di posisinya yang berdiri sambil mengusap dada, Meri mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang terjadi di sana.
“Itu bukan aku, ayah.” Kali ini suara Baron yang terdengar di telinga Meri. “Aku sama sekali tak menyediakan barang-barang itu di klabku. Harusnya ayah percaya denganku!!” ungkap Baron dengan nada tinggi.
“Jika bukan milikmu, lalu kenapa benda haram itu ada di klabmu? Apa tamu yang membawanya? Ck! Itu tidak mungkin. Bukankah para pengikutmu selalu memeriksa mereka sebelum masuk?” Tian masih tersulut emosi.
“Itulah masalahnya. Aku juga tidak tahu!” Baron mengibaskan kedua tangan di udara lalu terduduk dengan tampak frustrasi. “Itu bukan ulahku!”
Masih ingin mendengarkan pembicaraan menegangkan dua orang di seberang sana, Meri di kejutkan dengan suara Mona.
“Nenek...,” panggil Mona. Meri yang sungguh terkejut langsung terkesiap hingga ponsel dalam genggamannya hampir terjatuh. Untungnya dengan sigap Meri mampu menangkapnya.
“Hei sayang....” Meri tersenyum dan dengan grusa-grusu, Meri segera memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi.
Mona mendekat, berkedip beberapa kali seolah sedang mengamati wajah neneknya yang terlihat mencurigakan. “Nenek sedang menelpon siapa?” Mona bertanya.
“E—seseorang.” Begitu jawab Meri.
“Kemarilah...,” pinta Meri. Mona pun mendekat dan ikut neneknya duduk.
“Mana hadiahku?” Mona menjulurkan tangan, menengadahkan ke atas meminta sesuatu dari neneknya. Barisan gigi putih Mona terlihat jelas membuat Meri terkekeh.
“Kau ini!” Meri menjitak pelan jidat Mona.
“Aw! Neneeek....” Mona menggerutu. Sementara Meri menunduk, menatap tasnya yang masih terbuka. Satu tangannya masuk menelusup ke dalam mencari sesuatu.
“Taadaaaa!!!!” ucap Meri dengan wajah berbinar. Satu tangannya terangkat dengan satu benda bernama kunci tergantung di antara dua jarinya.
Mona yang memang otaknya lambat, justru terlihat mengerutkan dahi. Mengamati benda mungil yang menggantung itu sambil garuk-garuk kepala. Sementara Meri, ia menaik turunkan alisnya supaya Mona segera meraih kunci itu.
“Itu apa, Nek?” masih dengan nada polosnya, Mona bertanya.
Karena Mona memang tak tahu, Meri membuang napas lalu menjatuhkan tangan yang menggenggam kunci di atas paha. “Kau ini!” Meri menggerutu.
“Apa? Kan aku memang tidak tahu.” Mona menaikkan kedua pundaknya.
Meri pun berdecak, lalu menggeser duduknya hingga menempel pada Mona. “Ini....” Meri meraih telapak tangan Mona, menaruh kunci itu di atasnya. “... kunci motor. Nenek belikan untukmu.”
Perlahan namun pasti, kedua sudut bibir Mona mulai tertarik hingga membentuk sebuah senyuman. Awalnya, Mona menata kunci itu lalu beralih memandangi wajah neneknya yang bagian keriput di wajahnya semakin terlihat jelas.
“Benarkah ini untukku?” Mata Mona membulat sempurna dengan hidung kembang kempis seperti seekor kelinci yang girang mendapatkan makanan.
Meri menepuk pundak Mona. “Tentu saja... tapi ingat! Tidak boleh kau bawa sampai ke pusat perkotaan, cukup pakai di area terdekat saja,” pinta Meri yang langsung di jawab Mona dengan telapak tangan hormat di depan pelipis.
“Terimakasih, Nek. Aku sayang nenek.” Dengan cepat Mona menghambur memeluk neneknya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
maulana syarofa
perusahannya kan banyak, knp hadiahny g mobil?
2022-03-31
0
Adriana Bulan Juk Hat
kapan mona d bwt dewasa thor,sdh lulus sekolah masa iya sifat msh kekanakan,,
2021-10-24
1
Anis Sa'idah
ini mah bukan lugu tapi idiot otak e gk 💯 ank TK aja tau kalo itu kunci 👎👎👎👎
2021-04-24
1