Meninggalkan obrolan serius Arga dan Santi, Meri yang sudah sangat merindukan sosok Mona memilih segera bergegas menuju kamar Mona. Meri hanya ngobrol sebentar dengan mereka. Dan menurut Meri, mungkin sebaiknya dirinya juga ikut andil dalam hal sensitif ini.
Tidak sebentar juga sebenarnya, Meri ikut ngobrol dengan mereka sekitar 30 menitan. Karena Arga juga sepertinya sangat berharap bantuan dari neneknya, Meri pun akhirnya langsung beranjak bergegas menemui sosok yang sedang dibicarakan.
Sesampainya di atas, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Meri langsung memutar gagang pintu dan menerobos masuk ke dalam.
“Mona....” Meri memanggilnya dengan suara pelan. Meri tahu, mungkin Mona sedang tidur.
Di atas kasur, dengan masih mengenakan baju yang di pakai saat acara kelulusan, Mona terlihat memejamkan mata. Bibir ranumnya sedikit terbuka hingga membuat dengkuran halus yang bisa terdengar siapapun yang berdiri mau pun duduk di dekatnya.
Meri tersenyum, lalu mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Sayang, ayo bangun.” Dengan pelan, Meri mengguncang tubuh Mona.
Mona yang merasa tidurnya terusik, langsung meregangkan kedua tangannya kemudian berbalik miring memunggungi Meri.
“Dasar!” hardik Meri sambil terkekeh sendiri.
“Mona, bangun sayang... kau belum mandi. Ini sudah sore.” Meri mengguncang tubuh Mona lebih kencang.
“Emmmh....” Mona berbalik, berubah telentang lalu meregangkan lagi kedua tangannya.
Dengan perlahan matanya mulai terbuka, lalu setelah menyadari siapa yang tengah duduk sambil memandanginya dengan mengulum senyum, Mona langsung terduduk.
“Ne-nenek? Sejak kapan di kamarku?” ucap Mona sambil mengucek-ucek matanya yang masih terasa berat untuk di buka. Untuk sesaat, Mona menguap lagi, hingga membuat Meri mundur.
“Upst! Maaf....” Mona terkekeh.
Meri berdecak. “Kau itu sudah dewasa, tapi kelakuanmu masih sama. Masih seperti anak-anak.” Meri menepuk pelan pipi Mona hingga Mona terkekeh lagi.
Mona tersenyum lagi, menampilkan bola matanya yang berbinar manja, lalu maju dan berbaring meletakkan kepala di pangkuan neneknya.
Memang, selama Meri tahu siapa Mona dan bagaimana kehidupannya sebelum berada di sini, Meri begitu memanjakan Mona. Bahkan, terkadang kasih sayangnya membuat Radit yang statusnya adalah cucu kandung Meri, merasa cemburu. Namun, hanya sekedar cemburu tak berati buruk, karena Radit juga begitu menyayangi Mona.
“Kenapa tadi Nenek tidak datang?” Mona sudah cemberut. Mengingat bagaimana proses acara kelulusan dari awal acara sampai akhir, Mona tak menjumpai kedatangan neneknya, tentu membuat Mona merasa kecewa.
Meri mendesah. Telapak tangannya mendarat di kening Mona lalu mengusap-usapnya dengan lembut. “Maaf, nenek urusan yang tidak bisa di tinggalkan.”
“Apa lebih penting dariku?” Mona masih cemberut.
“Bukan begitu... tapi memang pertemuan tadi tidak bisa di tinggalkan. Kau tahu kan, nenek sekarang juga harus mengurus perusahaan ayahmu.”
Mendengar itu, Mona langsung bangun dari berbaringnya. Mona memutar badan, duduk dengan kedua kaki bersila menghadap neneknya.
“Memangnya nenek tidak kelelahan ya, harus mengurus perusahaan ayah juga?” Mona menatap sendu.
Meri mengerucutkan bibir membuat Mona jadi khawatir. “Tentu saja, nenek lelah, tapi... nenek sangat menikmatinya. Ini cara nenek supaya lebih banyak bergerak.”
“Tapi Nek... mengurus sebuah perusahaan itu kan tidak mudah. Banyak kan, orang yang setres karena terlalu sibuk bekerja....”
Meri spontan tertawa, membuat Mona mengerutkan dahinya. “Kenapa nenek tertawa? Kan tidak ada yang lucu.” Mona cemberut.
Meri menghentikan tawanya, kemudian menghela napas panjang. “Sudah, sudah. Jangan membahas soal itu. Kita bahas yang lain saja.”
“Apa?” Mona mengedipkan kedua matanya dengan cepat.
“Misalnya, emmm... hadiah apa yang nenek bawa untukmu?”
Dengan perlahan, kedua ujung bibir Mona tertarik membentuk sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang sungguh sangat menggemaskan. Untung saja tidak ada Arga di sini, bisa gawat kalau ada dia. Haha!
“Benarkah nenek membawa hadiah untukku? Sungguh?” Dengan mata berbinar, Mona mengguncang tubuh neneknya dengan senyum yang semakin mengembang.
Meri mengangguk mantap. “Iya....” Meri menggeser tubuh Mona lalu berdiri. “Kau mandi dulu. Nenek tunggu di bawah.”
Mona refleks tertegak dengan berdiri menggunakan dua lututnya, kemudian melebarkan telapak tangan dan mendaratkan ujuk jari telunjuknya di pelipis, hormat.
Sementara di lantai satu, dua orang tengah mengobrol hal yang kelihatannya lebih serius.
Di ruang tengah, Santi, Hutomo dan Arga tengah saling tatap-menatap siap membicarakan hal penting. Bukan hal yang penting untuk dibahas saat ini sebenarnya, akan tetapi dibahas karena rasa penasaran.
“Sudah lama aku tidak mendengar kabar keluarga Agus....” Hutomo mulai berbicara. “Terakhir aku melihat tadi, waktu kelulusan Mona.”
“Benar juga....” Santi mengimbuhi. “Bagaimana kehidupan Widya dan Tika setelah dua tahun di tinggal Agus dan Aura dalam tahanan?” Santi melirik ke arah Arga. Begitu juga dengan Hutomo.
Arga pun mendesah. Sudah lama tidak memikirkan hal itu, tapi tiba-tiba saja menjadi topik pembicaraan, membuat malas saja.
Arga sebenarnya tidak mau mengingat-ingat lagi tentang keluarga itu. Bagi Arga mereka hanyalah musuh yang sudah terkalahkan dan tidak perlu untuk di kenang kembali.
“Kenapa kalian menanyakan hal itu? Membuatku malas saja!” gerutu Arga dengan membuang muka lalu menyukukan kaki, mendarat di atas paha.
“Bukan begitu... entah kenapa ibu merasa khawatir, apa lagi saat melihat tatapan mereka tadi, mereka terlihat sangat membenci kita,” ujar Santi sesuai dengan apa yang tadi di rasakan saat acara kelulusan.
“Sudahlah, ibu. Tak perlu membahas mereka, itu tidak penting.” Arga bangkit dan hendak menuju ke kamarnya di lantai dua. Santi dan Hutomo tidak mencegah Arga, mereka hanya diam memandangi punggung Arga yang terus menjauh.
“Coba saja kita lebih sigap lagi waktu itu, mungkin tak akan ada kejadian buruk yang menimpa Mona. Dan betapa bodohnya aku sampai urung mengirimkan bodyguard untuk Mona.” Santi terus berbicara seolah-olah menyesali betapa cerobohnya dirinya karena kurang becus cara menjaga Mona.
“Jangan salahkan dirimu....” Hutomo bergeser, merapatkan posisi duduknya di samping istrinya, lalu merangkul pundak Santi hingga mendaratkan kepala di atas pundak suaminya.
“Mereka sudah mendapatkan balasan yang setimpal. Kalau saja aku tidak punya hati, mungkin aku sudah menghajarnya habis-habisan sebelum mereka mendekam di sel tahanan,” ungkap Hutomo geram.
Mengingat bagaimana proses saat hendak menjebloskan mereka ke penjara memang sedikit dramatis, apalagi saat Aura dengan keangkuhannya masih tetap percaya diri mencoba merayu Arga supaya Arga luluh dan mencabut laporannya.
Sungguh wanita yang tidak tahu malu!
Jika mengenai Agus, Santi dan Hutomo tidak begitu tahu menahu, karena kasus Agus yang mengurus adalah ibu dan juga Subastian. Intinya dengan pergerakan cepat mereka berdua, perusahaan itu langsung berhasil di rebut dan tak lama kemudian, Agus menyusul putrinya masuk ke dalam sangkar besi.
“Semoga saja, tidak ada lagi yang menyakiti Mona. Cukup mereka saja yang pernah membuat hidupnya menderita!” Geram Santi.
***
Yuk! Vote sebanyak-banyaknya! menangkan hadiah GIVE AWAY NYA. lop yu semua!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Mumut Mutiah
semoga
2021-04-04
0
Siti R
tor kenap ngak membuat karakter mona itu sebagai gadis yang cerdas dan mandiri.biar ngak mudah di tindas.mengingat dia kan ngak punya orang tua.
2021-03-28
2
Natha
tenang.....
balas dendam keluarga Agus baru akan di mulai...😀😀😀😁 wkwkwk
2021-03-27
2