Malam telah tiba, aku merasa diawasi oleh penduduk setempat, aku berusaha tenang agar tidak bertindak mencurigakan. Lalu lalang orang yang masuk gerbang kota mulai berkurang, sebelum memutuskan kembali ke rumah pak Abda, aku memutuskan untuk menghampiri sosok yang tegap dan menjaga di gerbang kota.
Sepanjang perjalanan menuju gerbang kota, aku melihat sekeliling ada meja kayu disamping kiri kanan jalan. Mungkin meja itu akan digunakan sebagai tempat berjualan pada pagi harinya. Hal yang sama seperti yang kulihat sebelumnya di gerbang kota, pintu kota menjadi pintu pasar, tempat untuk jual beli kebutuhan sehari-hari.
Disalah satu rumah, aku melihat dua anak kecil sedang bercanda dirumahnya, meski hari sudah malam, dan aku ingat mereka juga anak-anak yang bermain tadi sore di dekat pintu gerbang. " oh ya bukankah mereka juga bermain dekat orang aneh itu. Mungkin mereka kenal orang itu. " gumam dalam hati.
Aku mendekati mereka dan ingin bertanya kepada mereka. Lagipula kondisi kotapun sudah sepi, tidak ada tempat bagiku untuk bertanya, kecuali anak-anak ini. Dan mereka sadar jika ada seseorang yang mendekati mereka.
" Halo adik-adik, bolehkah kakak sebentar bertanya kepada kalian berdua? "
Seketika mereka menghentikan permainanya dan menatapku dengan pandangan berbeda. Anak perempuan yang lebih besar menatapku dengan pandangan yang berbeda, penuh curiga, sedangkan anak laki-laki yang lebih kecil menatapku dengan lebih tenang, dan polos
" Apakah kalian tahu tentang bapak yang berdiri didepan pintu gerbang, yang memakai pedang itu? "
Sementara anak laki-laki itu mengangguk dengan perlahan. Sedangkan yang perempuan berambut lurus hanya diam saja menatapku.
" Dia orang baik kak, dia adalah teman kami " kata anak laki-laki itu.
" Tahukah kalian siapakah namanya ?"
Anak laki-laki itu menggeleng " aku tidak tahu kak, tetapi kami menyebutnya 'penjaga' gerbang di kota ini. "
" Dik ayo masuk rumah, ibu sering bilang jangan bicara dengan orang asing! " ujar anak perempuan itu dengan wajah gelisah
" Lalu kenapa kalian berteman denganya apakah kalian tidak takut? " tanyaku lagi.
" Ayah juga bilang begitu pada kami, katanya dia orang gila, makanya jangan dekat-dekat dengan dia, tetapi kami menyukainya apalagi saat dia bercerita, ceritanya bagus-bagus, ketika dia menceritakan tentang Rajanya yang hebat membuat kami kagum ingin melihat Rajanya langsung. Dan banyak cerita-cerita yang lain tentang orang yang berpedang seperti dia. " ujar anak laki-laki itu yang menceritakan dengan penuh semangat dengan kepolosanya serta tingkah kekanak-kanakanya.
" Apakah Raja yang dia ceritakan itu adalah raja di kota ini? "
Anak laki-laki itu menggelengkan kepala, dan sementara itu anak perempuan menarik-narik tangan adiknya dengan cemas memandangiku.
" Lalu siapakah nama Rajanya? " anak laki-laki ini juga menggeleng kepalanya
" Damaris! Benjamin! masuk kerumah sekarang juga!!! "
Mendadak keluar seorang wanita memanggil mereka.
" Sudah kubilang kan dik?! ibu pasti marah melihat kita berbicara dengan orang asing! "
Segera anak perempuan itu langsung menarik adiknya masuk ke dalan rumah. Seorang itu melongok padaku dengan tatapan penuh dengan curiga dan kemudian menutup rumah itu.
Ucapan anak itu membuatku semakin bertanya-tanya, Raja orang aneh itu bukan raja di kota ini? lalu siapakah rajanya? apakah raja penguasa di kota ini tidak marah apa, atau menangkapnya sebagai pemberontak, karena mendukung pemerintahan yang lain? Apa ada hubungannya dengan bu Ribka?
Aku meninggalkan rumah anak-anak itu dan terus melangkah menuju pintu gerbang. Ternyata pintu gerbange telah ditutup setengah, mungkin karena hari sudah malam, sehingga tidak lagi dibuka lebar, ada dua buah obor yang telah dinyalakan di samping pintu gerbang itu, tetapi tetap tanpa penjaga.
Aku keluar dari gerbang dan melihat sosok yang tegap dan gagah tetap berdiri di tempat yang sama. Masih diam seperti tadi, memandang jauh ke depan yang sudah gelap. Apa yang sebenarnya dia lakukan berdiri disitu sepanjang hari. Tidak dapat kubayangkan kalau ia seperti itu sepanjang hari, dan setiap hari.
Perlahan dengan ragu aku mencoba mendekat padanya. Kemungkinan ia orang gila seperti yang dibicarakan orang tua anak tadi memang benar. Aku berpikir, jangan-jangan yang kulakukan ini adalah langkah yang konyol, berhubung sudah terlanjur dekat denganya dan hanya tinggal berberapa langkah lagi.
Ia menyadari kehadiranku yang ingin mendekat kearahnya, dan menoleh ke arahku yang masih agak takut mendekat. Dengan lembut dan ramah ia memandangku dengan senyuman perlahan tergaris dibibirnya, ia menyapaku.
" Salam damai dan sejahtera bagimu. " ujarnya ramah sambil maju selangkah mengulurkan tanganya, aku maju selangkah juga sambil mengulurkan dengan ragu, dan menyalami tanganku dengan penuh kehangatan. Ia kemudian duduk disebuah batu yang besar, sambil mempersilahkan aku untuk duduk dekat denganya.
Ucapannya yang sopan itu membuatku sedikit lega, karena menunjukkan bahwa kemungkinan besar dia masih waras. Lalu mataku terkesima melihat pedang yang baru diletakkanya, semakin kuperhatikan terlihat semakin agung.
" Pedang yang indah. " ujarku tanpa sengaja keluar dari mulutku.
" Yah....tentu saja. Pedang ini bukan sembarang pedang, ini adalah Logos, senjata sakti yang di wariskan turun, generasi ke generasi yang diwariskan turun temurun, selama puluhan abad. "
Ia mengangkat pedang itu, memandangya, dan membelai dengan ujung-ujung jarinya, bagaikan seorang ayah yang memandang dan membelai anaknya dengan penuh kasih sayang.
Sambil membelai pedangnya ia memperkenalkan dirinya " aku Shemmer, kalau kau? "
" Aku....aku tidak tahu siapa diriku, darimana asalku namun satu hal yang kutahu ketika berjalan dalam perjalanan menuju ke kota ini aku melihat bayangan diriku di tempat yang lain secara kasat mata. "
"Oh...rupanya seperti itu, " sahut Shemmer
"Hah maksudnya bagaimana ya? " sahutku.
Sambil tersenyum sepertinya dia seolah-olah tahu keberadaan dan asal usulku, namun dia tidak ingin menjelaskan.
" Biarlah Rajaku sendiri yang akan menjelaskan kepadamu ketika waktunya tiba. " kata Shemmer.
" Apakah kau ingin melihatnya? " tanyanya.
Tanpa tunggu jawabanku, ia langsung meletakkan pedang itu dengan hati-hati di pangkuanku. Aku melihat wajahnya, untuk memastikan bahwa aku boleh memegang pedangnya. Ia tersenyum, sambil mengangguk kecil.
Pedang itu panjangnya hampir serentangan kedua tanganku. Namun tidak seberat yang aku duga, malah menurutku pedang ini termasuk ringan bila dibandingkan dengan ukurannya yang terlihat sangat berat. Gagangnya dibuat dari logam yang tidak kukenal, berwarna putih tapi bukan perak, warna putih seperti susu. Lebih mirip seperti marmer putih, tapi ini logam bukan, bukan marmer.
Sementara batang pedangnya terbuat dari logam yang sangat mengkilat, memantulkan bayangan dengan sempurna seperti cermin. Aku bisa melihat wajahku sendiri dengan jelas. Dari pedang itu keluar hawa dingin, sedingin es yang keluar dari pedang itu, namun tanganku tidak terasa dingin saat memegangnya. Mungkinkah perasaanku saja, atau memang udara malam semakin dingin?
Tapi ketika kumemandang pedang itu lebih lama, seperti muncul aura yang berasap nan lembut. Lalu kusentuh lewat ujung jariku, mengikuti garis-garis pedang itu, menelusuri uliran yang diukir pada gagangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments