Ari berjalan dengan cepat sambil mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. Laki-laki itu tidak menyerah juga, pikirnya. Ia harus bergerak cepat. Ia takut Kiran akan berubah pikiran.
Sementara Rangga berjalan dengan lemas menuju mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. Hatinya bergejolak. Ada perasaan sakit dan keragu-raguan di sana. Meskipun lebih didominasi oleh perasan sakit.
Ia tidak tahu harus berbuat apa. Semua di luar kendalinya. Tadinya ia berpikir, apa pun yang Kiran katakan akan mudah ia patahkan. Namun pernyataan terakhir Kiran tak pernah ia perhitungkan sebelumnya. Benarkah Kirannya yang sederhana dan tidak gila harta telah berubah?
Begitu mendengar bunyi suara langkah kaki Rangga menjauh, Kiran merosot seketika membelakangi pintu. Kakinya ditekuk, ia tenggelam di kedua lututnya. Tubuhnya berguncang. Ia terisak.
Tak pernah disangkanya akan sesakit ini. Sewaktu di hotel ia masih bisa menatap Rangga dengan tegar. Masih bisa bicara dengan tegas. Namun sekarang ... ia luruh.
Melihat sosok Rangga saja hatinya sudah bergetar dengan hebat. Ternyata hatinya sudah terpaut dalam dengan pria itu. Itu yang belum disadarinya selama ini. Mungkin itu juga sebabnya ketika di perjalanan menuju restauran dengan Ari tadi, ia sangat tidak bersemangat. Ia sudah terbiasa di antar jemput Rangga.
Cukup lama Kiran duduk memeluk lutut sambil terisak, hingga kemudian ia bangkit sembari mengusap sisa cairan bening di wajahnya. Beranjak ke kamar mandi, salat lalu tidur.
...***...
"Akhirnya kamu masuk juga hari ini," sapa Kiran pada Amel sahabatnya. Amel baru mengambil cuti menikah.
"Kenapa, kamu kangen padaku?" kerling Amel.
"Sepi."
"Gimana bulan madunya, asyik?" Kiran menatap Amel. Yang ditatap malah balik menatap dengan senyum menggoda.
"Kasi tau nggak ya ...." Amel tak melanjutkan ucapannya. Menyunggingkan sebuah senyuman di bibirnya. "Kamu rasain sendiri aja deh, kalo udah nikah nanti." Wajah Amel merona.
Kiran ingin membalas perkataan Amel, namun diurungkannya melihat sesosok wanita dari kejauhan mendekati mereka. "Aku balik dulu, Mel. Fans-nya bos datang lagi," bisik Kiran sambil melangkah cepat, pergi menuju mejanya.
"Ari ada?" tanya wanita itu ketika sudah berada di depan Kiran.
Kiran menatap wanita di depannya dengan risih. Wanita di depannya ini merupakan salah satu deretan dari wanita yang memuja Ari.
Saat ini, Marissa--nama wanita itu--sedang mengenakan blazer putih dengan dalaman kaos warna merah. Kaosnya begitu ketat, hingga dua buah gunung kembarnya terbentuk dengan nyata di sana. Ia juga memakai celana dari karet yang begitu membentuk tubuh. Sehingga bukan hanya bokongnya, area sensitifnya pun terbentuk dengan sempurna.
"Hei, aku bertanya padamu!" Marissa menggebrak meja Kiran.
Kiran tersentak. Mencoba menguasai diri.
"Pak Ari ada di dalam, Nona."
Marissa mendengkus kesal. "Kenapa tidak kamu katakan dari tadi??! Kamu hanya membuang waktuku saja."
Marissa berbalik ingin melangkah pergi. Tapi kemudian ia berhenti dan berbalik menatap Kiran. "Kamu begitu terkesima denganku, ya? Apa aku begitu cantik, Nona Sekretaris ...." Marissa melirik Kiran sekilas sambil melempar senyum menggodanya.
Kiran terkesiap. Ganjen!
Marissa berjalan menuju ruangan Ari. Ia masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. "Honey...." panggil Marissa. Ari mendongak menatap Marissa berjalan menuju mejanya.
"Kangen." Marissa merenggangkan tangannya. Ari menyunggingkan senyumnya.
"Cukup sampai di situ Marissa!"
"Lagi-lagi kamu menolakku, Honey ...." Marissa memanyunkan bibirnya.
"Ada apa kamu kemari?"
"Papa merubah jadwal janji meeting kalian. Sebab ada sedikit urusan keluarga yang harus diselesaikan Papa di luar negeri."
"Jadi kenapa kamu yang datang? Papamu bisa menghubungiku jika memang ada perlu."
"Kamu sudah tau alasannya," desis Marissa pelan. "Kamu ditunggu Papa sekarang."
"Baiklah. Aku juga tidak ada janji meeting dengan klien lain hari ini. Apa Papamu juga merubah lokasinya?"
"Aku rasa tidak."
Tanpa banyak kata, Ari bangkit dari duduknya dan berjalan melewati Marissa.
"Hei, kamu mau kemana?"
"Menemui Papamu." Berbalik menatap Marissa.
"Aku ikut."
"Ayo," ajak Ari. Tanpa mendengar jawaban Marissa, pria itu berbalik dan melangkah pergi.
Ari keluar dari ruangannya dan mendekati meja Kiran. "Aku pergi keluar dulu. Ada perubahan jadwal meeting dengan Regan Company. Jadi aku harus menemui mereka sekarang." Ari menghentikan ucapannya saat Marissa mendekatinya.
"Kenapa kamu tidak menungguku." Marissa cemberut.
"Maaf Marissa. Tapi sebaiknya kamu harus mengerti. Aku tidak ingin calon istriku terluka." Marissa mendelik, begitu juga Kiran.
"Si-siapa ... ca-calon istrimu?" tanya Marissa terbata sambil menatap Ari.
"Ini." Ari mengerucutkan bibirnya menunjuk Kiran.
"A-apa??!" kedua gadis tersebut terkejut bersamaan.
"Are you kidding me?" Marissa melirik dan menangkap ekspresi Kiran. Melihat ekspresi Kiran sama terkejut seperti dirinya membuat ia meragukan apa yang Ari katakan.
Sementara Kiran memandang Ari disertai tatapan tak percaya dengan apa yang didengarnya namun Ari tak melihatnya.
Kapan aku mengatakan iya padanya?
"Apa pernah kamu melihatku bercanda jika berbicara mengenai pernikahan?" balas Ari. Marissa tersenyum kecut. Pertanyaan Ari menohoknya. Ari suka tersenyum kepada siapa saja namun jika menyangkut masalah pernikahan Ari memang tidak pernah main-main.
Melihat Marissa yang mendadak sendu, Ari berbalik melirik Kiran. "Kamu tetaplah disini. Pastikan kakakku menerima map itu jika ia berkunjung kesini saat aku tidak ada nanti."
Kiran mengangguk cepat.
Matanya mengekor kepergian Ari yang tak lama kemudian berbalik lalu berbisik pelan, " Sudah kukatakan tak kan kubiarkan kamu menderita batin hanya karena perempuan lain. Kini kamu sudah melihatnya kan?!" mengerling kemudian beranjak pergi. Kiran termangu.
...***...
Kiran berjalan dengan cepat sembari menarik tangan Amel yang terlihat berlari kecil mengikutinya. Tampak keringat membasahi dahi keduanya.
Ari menelponnya tadi, saat ia berada di luar kantor karena Amel menraktirnya makan siang di luar. Ari menyuruh Kiran segera ke kantor sebab kata Ari, kakaknya sedang dalam perjalanan menuju kantor.
Kiran menjadi terburu-buru. Ia tahu betul watak Radit Makarim, Kakak Ari. Ia sangat disiplin masalah waktu, paling tidak suka menunggu. Itulah yang sering dikatakan Robin dulu, ketika Robin masih menjadi bosnya. Sebenarnya Kiran tidak pernah berjumpa sekalipun dengan Radit meskipun sudah setahun lebih ia bekerja di perusahaan ini.
"Ya Allah, Kiran ... sampe sakit perutku. Baru juga diisi dah dibawa lari." Amel tertunduk memegang perut dengan satu tangan. Tangan satunya memegang kedua lututnya. Nafasnya tampak ngos-ngosan.
Kiran meliriknya sambil tersenyum dalam hati. Ia sudah bisa bernafas lebih lega sekarang sebab mereka kini sudah berada di barisan para pekerja yang menunggu pintu lift terbuka.
Kiran berdecak sebal. Lumayan ramai ternyata antrian yang akan menaiki lift, karena waktu jam makan siang sudah hampir habis.
Kiran menghitung dalam hati. Ada dua belas orang yang berada di depan lift sekarang termasuk dirinya dan Amel. Ia melirik salah satu pria yang berada di depan dengan tubuh cukup besar. Kapasitas lift hanya 11 orang. Lift ini tidak akan muat. Kalau saja pria itu sedikit lebih kurus mungkin masih bisa.
Kiran mengamati antrian tersebut. Hanya ada tiga orang berada paling belakang. Kiran, Amel dan seorang pria aneh yang menurut Kiran tampak mencurigakan.
Pria tersebut mengenakan kaos dibalut jaket jeans, celana jeans dan menutupi wajahnya dengan topi. Sungguh kontras dengan pegawai yang kebanyakan mengenakan kemeja.
Jika dilihat dari posisinya maka seharusnya Kiran atau Amel yang mengalah menunggu lift berikutnya. Sebab pria aneh itu sudah menunggu lebih dahulu. Namun ia terburu-buru sekarang. Ia juga tidak tega meninggalkan Amel sendirian. Sebuah ide terbersit di kepalanya.
Ting!
"Mohon maaf Pak, Anda dicari seseorang di luar kantor. Pakaiannya juga sama seperti Anda. Ia terlihat bingung tadi. Saya pikir sebaiknya Anda melihatnya." Kiran tersenyum manis mengarahkan jempol kanannya ke arah depan menghentikan si pria aneh yang baru saja ingin melangkah masuk ke dalam lift.
Pria itu memandang Kiran sekilas lalu beranjak pergi sesuai arah jempol Kiran. Kiran menghembuskan nafas lega. Ia segera menarik tangan Amel yang tampak kebingungan dengan tingkah Kiran barusan.
"Memangnya kamu melihat siapa di depan, Kiran? Bukannya tadi nggak ...." Kiran menutup mulut Amel dengan cepat lalu menekan tombol agar pintu lift tertutup.
Ting!
Begitu pintu lift terbuka di lantai tempat mereka bekerja, Kiran dan Amel melangkahkan kakinya dengan cepat. Ini keberuntungan juga bagi mereka. Terakhir masuk namun menjadi yang pertama keluar. Namun ada sesuatu yang mendesak dari dalam yang tak mampu lagi ditahan Kiran.
"Aku mau ke toilet dulu ya, Mel. Jika ada yang nyari pak Ari suruh aja langsung tunggu di ruangan." Kiran memutar langkah menuju toilet. Amel mengangguk mengiyakan.
...***...
Kiran membuka pintu ruang Ari dengan perlahan. Map berwarna merah berada dalam dekapannya. Begitu keluar dari toilet tadi, Amel bilang bahwa orang yang dikatakan Kiran sudah ada di ruangan pak Ari. Mendengar itu, buru-buru Kiran merapikan bajunya sesaat, mengambil map warna merah lalu melangkah masuk ke ruangan Ari. Terdengar juga panggilan Amel saat ia melangkah pergi. Temannya itu seperti ingin mengatakan sesuatu yang sepertinya baru diingatnya, namun berhubung Kiran terburu-buru, Kiran pun mengabaikannya.
Kiran melihat ke sekeliling ruangan. Merasa aneh sebab tak satu orang pun yang ia temui di sana. Ia berbalik ingin pergi, namun secara tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang. Kiran mundur beberapa langkah ke belakang.
"Kamu ...?" Kiran menatap tajam pria yang berada dihadapannya. Dia, pria aneh di depan lift tadi.
"Ada perlu apa Anda masuk ke sini?" tanya Kiran menatap curiga pria aneh yang menatapnya tajam.
"Ternyata kamu, orang yang menipuku tadi." Delik pria aneh itu.
"Maaf, saya terburu-buru." Kiran menatap datar pria di depannya.
"Apapun alasannya, berbohong tetaplah salah." Pria aneh itu dengan santainya duduk di sofa. Membuat posisi duduk yang Kiran tahu, hanya bos lah yang duduk dengan posisi seperti itu. Untuk seorang tamu, cara duduk seperti itu tampak kurang sopan. Ia mulai tak menyukai pria aneh ini.
"Terkadang diperlukan kebohongan-kebohongan kecil agar bisa meraih tujuan kita."
Pria itu menaikkan sebelah alisnya.
"Sekarang katakan, kenapa Anda masuk ke ruangan ini? Apa Anda ada perlu dengan atasan saya?"
Pria aneh itu tak mengacuhkan pertanyaan Kiran. Matanya bergerak menyapu seluruh isi ruangan Ari.
"Baik. Jika Anda tidak mau bicara. Sekali lagi maaf. Saya harus memanggil security untuk mengusir Anda dari ruangan ini. Ruangan ini dilarang untuk dimasuki oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan dengan atasan saya."
Kiran berbalik ingin melangkah keluar. Ia berniat melakukan panggilan dari mejanya untuk memanggil security agar bisa mengamankan pria tersebut. Ia baru saja berjalan beberapa langkah kemudian cukup terkejut ketika bahunya dicengkram dengan kuat dari belakang. Kiran memegang punggung tangan yang memegang pundaknya dengan kuat. Menggeser tubuhnya dengan cepat ke samping lalu berbalik dengan cepat ke belakang.
Belum sempat disadari pria itu atas apa yang Kiran lakukan, Kiran sudah mencengkram bahu pria itu dengan kuat. Membuat tubuhnya oleng lalu dengan cepat Kiran menendang kuat belakang lutut pria itu. Membuat kaki pria itu tertekuk ke depan.
Kiran segera mendorong tubuh pria itu hingga terjatuh dengan kuat ke lantai. Menekan kedua lututnya ke punggung pria itu. Gerakannya berhasil melumpuhkan pria itu dengan posisi mencium lantai
"Beritahu saya apa misi Anda datang ke kantor ini?!" Kiran menarik paksa topi pria aneh itu dan menjambak rambutnya sehingga kepalanya terdongak ke atas. Pria itu masih bungkam, terdiam menerima semua perlakuan Kiran.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Kiran refleks menoleh ke arah pintu. Sesuatu yang didengar setelahnya sangat mengejutkan. Bagaikan slow motion ketika dilihatnya Ari mengucapkan itu. Kiran tersontak kaget.
"Ka-kakak ...?" terbata Kiran mengeja apa yang didengarnya. Pegangannya pada rambut yang tadinya tertutup topi dan tangan pria itu terlepas seketika. Ia bangkit dan menatap nanar pria aneh yang kemudian ikut bangkit dan berdiri dengan tegak di depannya. Ia tersenyum menyeringai sembari membenarkan letak topi hingga menutupi wajahnya.
Ari berlari mendekati mereka. "Kakak? Apa yang sudah kamu lakukan Kiran?!" Ari menatap Kiran dan pria aneh itu bergantian dengan tatapan panik.
Kiran membeku. Menelan salivanya dengan susah payah. Bulu kuduknya meremang seketika.
❤❤❤💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ndhe Nii
kerennn kiran...aku padamu selalu 🙏
2022-03-08
0
May Tanty
wah kerren cerita nya aq baru baca
2021-11-07
0
Mami keyffa
mantap kiran....
2021-09-29
0