Ari masih mengangkat tubuh Kiran, memeluknya dan berputar di tempat. Kiran begitu kaget, tak sempat menolak akhirnya hanya menekan kedua telapak tangannya ke dada Ari.
Setelah beberapa lama akhirnya Ari pun berhenti dan menurunkan Kiran. Kiran hanya diam dan menatap Ari kesal. Senyum Ari masih mengembang.
"Terima kasih, Kiran. Kamu memang selalu bisa aku andalkan," ucapnya sambil merentangkan tangan.
Kiran tanggap akan tindakan yang akan Ari lakukan setelahnya. Ia mundur selangkah. "No, jangan lagi!" tatapnya tajam. Melihat penolakan Kiran, Ari pun hanya nyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sorry .... Aku kelepasan," ucapnya sambil cengengesan.
"Bisa kamu jelaskan sekarang, kenapa map ini berada di dalam komik?"
Ari ingat sekarang. Pada hari pertama ia bekerja. Radit memberikannya surat kepemilikan itu. Ia memegangnya dengan erat karena tahu betapa berharganya surat itu.
Kemudian ia melihat ruangannya, di saat itu, ia melihat kumpulan komik Detektif Conan. Ia membacanya sesaat dan meletakkan map merah itu di atas buku. Selanjutnya Radit memanggilnya, karena terburu-buru ia meletakkan map merah itu ke dalam komik dan meletakkannya kembali ke rak, bermaksud akan menyimpannya nanti setelah ia kembali dan akhirnya ia melupakan map itu saat kembali. Peristiwa itu terjadi enam bulan lalu, maka wajar saja jika ia lupa.
"Aku menunggumu." Kiran menatap Ari sambil berkacak pinggang. Ujung kakinya mengetuk-ngetuk lantai menunggu jawaban Ari.
"Aku sudah melupakannya Kiran ...." Ari cengengesan. Ia terlalu malu mengatakan yang sebenarnya.
Kiran hanya mendengkus kesal menatapnya. Kemudian ia mengambil map yang ada di tangan Ari. "Sebaiknya map ini aku yang simpan." Ari hanya menaikkan kedua bahunya.
"Baik. Karena apa yang kita cari sudah ditemukan. Lebih baik sekarang kita pulang," ucap Kiran.
"Sudah malam. Ayo, aku antar," teriak Ari cepat melihat Kiran sudah beranjak pergi.
"Oke." Kiran berjalan tanpa menoleh.
Ari segera menyambar kunci yang ada di mejanya. Kemudian berjalan cepat mengikuti Kiran.
Kiran langsung ke meja kerjanya yang ada di depan ruangan Ari. Meletakkan map berharga itu ke dalam kabinet. Kemudian berbalik lalu berjalan keluar gedung beriringan dengan Ari.
...***...
"Kita makan dulu ya?" tanya Ari melirik Kiran yang sedari tadi hanya diam. Kali ini Ari yang berada di belakang kemudi.
Kiran memang tipe wanita yang tidak banyak bicara. Ia hanya mengatakan seperlunya. Tapi tipe seperti itu pula yang disukai Ari sekarang.
"Hmm ...." Masih tekun memandang ke luar jendela.
"Kamu mau makan apa?" tanya Ari lagi, melirik Kiran sekilas.
"Semua yang halal aku makan," jawab Kiran datar. Tanpa menoleh.
"Kalau begitu kita ke restoran langganan aku saja ya ...," ucap Ari sambil membelokkan kemudi. Kiran tak menjawab.
Ari menghentikan mobilnya perlahan. Membuka seat belt lalu keluar dari mobil. Ia berjalan memutar lalu membukakan pintu untuk Kiran.
"Tuan putri, kita sudah sampai ...," ucap Ari sambil membungkuk sedikit dan menggerakkan tangannya ke samping. Senyumnya dengan setia selalu mengembang.
Kiran celingukan. Ia tidak sadar jika mereka telah sampai. Ia hanya memandang Ari datar. Lalu keluar dari mobil.
"Terima Kasih Ari," ucapnya melihat Ari menutup pintu mobil. Ari menatap Kiran hampa.
Jangankan rona merah. Senyum manis saja tidak diberikannya untukku. Apa ia tidak tahu, aku sedang mengistimewakan dirinya sekarang.
Mereka berjalan ke dalam restauran. Ari berjalan di depan sementara Kiran mengikuti dari belakang. Meskipun kinerja Ari bergantung dari kinerja Kiran. Istilah lainnya, Ari hanya boneka Kiran dalam pekerjaan karena minimnya pengetahuan Ari. Tapi Kiran tetap mengerti batasannya. Ia tidak pernah ingin berjalan di depan Ari jika mereka berjalan beriringan meskipun hanya untuk makan malam.
Mereka duduk di salah satu meja yang telah disediakan oleh pelayan. Para pegawai restauran sudah mengenal Ari. Meskipun tidak ada penyambutan spesial, karena Ari tidak suka hal seperti itu. Tapi tetap saja para pelayan melayani Ari dengan istimewa.
"Kamu mau makan apa?" tanya Ari setelah mereka berdua duduk.
Kiran menatap buku menu yang ada di tangannya. Kiran menyebutkan menu yang masih berasal dari bahan dasar ayam. Ari pun mengikutinya.
"Kamu pernah ke sini?" tanya Ari melihat Kiran sedang mengamati suasana restauran. Menelisik sampai ke sudut-sudut dengan pandangannya. Kiran menggeleng pelan.
"Salahku yang tidak pernah mengajakmu." Ari terlihat menyesal. "Kamu terlalu menutup diri dulu ketika kuajak. Kamu sangat takut kekasihmu itu menganggapmu tidak setia, kan?!" ledek Ari. "Padahal akhirnya kamu tahu sekarang, kalau dia yang tidak setia," lanjut Ari lagi.
Kiran hanya menatapnya datar.
"Terkadang aku heran melihat dirimu. Sudah tidak ada lagi kah pekerjaanmu hingga kisah cinta ku pun sampai kamu amati." Kiran mendengkus kesal.
"Itu hak ku!" jawab Ari seenaknya.
"Mengamati kisah cinta gadis yang aku sukai tentu sah-sah saja," ucap Ari sambil melempar senyum manis pada Kiran.
"Lalu kamu pikir aku percaya?" ujar Kiran sambil membuang pandangan. Melihat ada yang aneh sekarang. Tamu-tamu yang tadinya berada di dekat meja mereka, sudah tidak ada lagi sekarang.
"Kamu mengusir mereka, Ari?" menatap Ari tak percaya.
Ari tergelak. "Akhirnya kamu tahu juga. Aku hanya ingin berdua denganmu sekarang."
Ternyata ketika sedang memberikan buku menu tadi, Ari menawarkan permintaan kepada pelayan restauran, untuk membooking seluruh meja.
"Kenapa ... kamu tak suka?" tanya Ari melihat wajah tidak suka Kiran.
"Aku kira kamu terlalu berlebihan. Ini namanya pemborosan." Kiran membuang muka.
"Kamu harus tahu, Kiran. Aku serius padamu," ujar Ari sambil menggenggam tangan Kiran lembut. Kiran terkesiap lalu menepiskan tangan Ari.
"Kamu masih tidak percaya padaku, Kiran?" ucap Ari sambil menatap Kiran lekat.
"Atau perlu kubelah dadaku sekarang biar kamu tahu bahwa cinta di hatiku hanya untukmu?!" kata Ari sungguh-sungguh.
Kiran menyunggingkan senyum miring menatap Ari. "Tak heran, begitu banyak gadis yang tergila-gila padamu. Karena beginilah caramu."
Ari menghela nafas pelan.
"Sudah cukup sampai di sini Ari. Jika kamu katakan lagi tentang cinta padaku, akan kupastikan surat resign ku berada di mejamu segera," ucap Kiran sambil mendelikkan matanya menatap Ari.
Kiran tidak sungguh-sungguh sebenarnya mengatakan itu. Ia hanya mengancam Ari. Karrna ia tahu, Ari tidak akan sanggup bekerja tanpanya. Jika bosnya sekarang bukan Ari maka kata-kata itu tidak akan pernah ia ucapkan. Karena hanya perusahaan Ari yang bisa melindunginya.
Ari menghembuskan nafas kasar. "Dasar kamu gunung es," ucapnya kesal.
Kiran tersentak. Apa?? Gunung???
" A-apa kamu bilang ...??" tanya Kiran tidak percaya.
"Iya, kamu. Kamu gunung es. Begitu dingin pada pria. Beruntunglah Rangga bisa membuat kamu menerimanya. Kesempatan yang tidak dipergunakannya dengan baik."
Kiran jadi malu sendiri. Ia sempat berpikir bahwa gunung yang disebutkan Ari tadi adalah gunung dalam arti lain mengingat malam panas telah mereka lalui bersama. Kini ia merasa lega bahwa pikiran Ari tidaklah seburuk apa yang ia bayangkan.
...***...
Kiran melangkah gontai melewati gang menuju rumahnya. Waktu di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Gang menuju rumahnya ini masih tampak ramai. Beberapa anak-anak bahkan masih tampak berlarian mengejar temannya. Beberapa bapak-bapak masih tampak duduk di depan teras salah satu rumah. Masih tampak asyik mengobrol. Tampak gelas berisi sisa kopi diletakkan di meja di hadapan mereka. Kiran menyapa orang yang dilewatinya.
Tempat ini memang sengaja dipilih Kiran sebagai tempat huniannya. Karena lokasi yang tidak terlalu terpencil serta kondisi yang selalu ramai tentunya sangat baik bagi kehidupannya yang hanya seorang diri.
Rumah yang dipilihnya juga terbilang kecil. Namun rumah tersebut sangat bersih dan nyaman. Rumah tersebut hanya terdiri dari satu kamar tidur, satu ruang kosong yang diposisikan Kiran sebagai ruang tamu, juga satu ruangan kamar mandi kecil dan dapur. Bagi Kiran semua sangat pas. Pas untuk ditinggali dirinya yang masih sendiri dan tentunya isi sakunya.
Kiran menghentikan langkahnya. Berdiri mematung melihat rumahnya yang hanya beberapa langkah lagi. Ia terlalu asyik melihat anak-anak itu berlarian hingga tidak menyadari bahwa sesosok pria telah menunggunya di sana.
"Rangga ...," desisnya pelan.
Sosok yang berdiri di depan rumah itu tampak tersenyum menyambut Kiran. Tubuh Kiran serasa menghangat diikuti oleh debaran jantungnya yang berpacu cepat. Gejolak kesedihan memenuhi isi hatinya.
Sudah sekian lama mereka bersama. Sebab kebersamaan itu, ia biarkan hatinya terukir nama pria itu. Kini dia harus menghapus nama itu dari hatinya, menghapus jejak kenangan bersamanya.
Sementara Rangga tidak salah apa-apa, hanya kesalahpahaman yang sebenarnya masih bisa Kiran menolerirnya. Tentu semua akan terasa berat bagi Kiran. Jika saja Rangga selingkuh di depannya. Tentu semua ini menjadi lebih mudah. Karena namanya akan terhapus seketika itu juga saat hatinya tersakiti. Tapi semua yang terjadi, perpisahan ini adalah murni kesalahannya yang tidak bisa menjaga diri.
Seharusnya malam itu ia mengunci pintu. Seharusnya malam itu ia memberikan Rangga kesempatan untuk menjelaskan. Bukan hanya membiarkan diri larut dalam kesedihan yang akhirnya menghilangkan kesadaran hingga tidak tahu bahwa dirinya sudah masuk dalam pusaran kesalahan.
Kiran menghembuskan nafas pelan. Mengusap buliran bening yang sempat mengalir. Menguatkan tekad. Ia harus bisa. Sebab ia dan Rangga tidaklah mungkin akan bersama.
"Kamu sudah pulang, Kiran?" tanya Rangga menatap rindu pada Kiran. Kiran bisa melihatnya. Tatapan itu sungguh Kiran tak mampu melihatnya.
" Ada perlu apa kamu kemari?" tanya Kiran membuang muka. Ia menghindari bersitatap dengan Rangga. Takut tidak bisa mengendalikan air matanya yang bisa jatuh dengan tiba-tiba.
"Kamu masih marah padaku, Kiran?" ucap Rangga memelas.
Entah kenapa hati Kiran merasa sakit. Rangga merasa bahwa Kiran masih marah padanya. Padahal menurut Kiran, dirinyalah yang tidak pantas lagi untuk pria itu.
Andai kamu tahu Rangga .. seperti apa diriku sekarang, tentu pandanganmu terhadapku tidaklah sama.
"Rangga, bisakah kamu lupakan saja bahwa kita pernah berhubungan?" cetus Kiran sambil menghela nafas panjang. Menunjukkan kejengahan.
"A-apa maksudmu ...?" sahut Rangga tercekat.
"Intinya aku ingin hubungan kita berakhir. Kamu bebas sekarang jika ingin menjalin hubungan dengan Sesil."
"Tapi aku tidak mau!!!" ucap Rangga sambil menggeleng kuat menatap Kiran.
"Kamu harus mau!" delik Kiran.
"Kamu tidak bisa memutuskan hal ini hanya secara sepihak!"
"Aku bisa. Karna hakku mau memutuskan berhubungan dengan siapa."
"Baik. Kamu bisa. Tapi beritahu aku apa alasanmu mengakhiri hubungan ini?"
Kiran mengernyitkan alisnya. Hal ini yang sulit diutarakannya. Tidak mungkin ia katakan jika ia sudah tidak murni lagi. Sudah ternoda. Tidak, itu sangat memalukan dan aib baginya. Tidak mungkin juga ia katakan jika kesalahan berada di pihak Rangga. Sebab Rangga memang tidak pernah berulah sebelumnya. Kelemahannya adalah selalu tidak tega pada gadis yang menyukainya. Kiran berpikir cepat. Sebuah ide terbersit di kepalanya.
Maafkan aku, Rangga ....
"Baik jika kamu ingin tahu." Kiran melipat tangan di depan dada sambil menatap Rangga tajam.
"Aku sudah bosan dengan ketidaktegasanmu. Aku jenuh melihatmu selalu tidak bisa menolak gadis yang menyukaimu! Mau sampai kapan aku bersabar dengan sikapmu itu?! Dan sampai kapan hatiku bisa menjamin bahwa kamu akan selalu setia padaku? Sementara kamu juga selalu baik pada perempuan lain. Meskipun gadis itu terang-terangan mengatakan menyukaimu."
Rangga terperangah menatap Kiran tak percaya. Beginikah yang selama ini Kiran rasakan? Ada sebersit penyesalan di hatinya karena baru mengetahuinya sekarang. Kenapa selama ini ia bisa melupakan bahwa Kiran hanyalah seorang gadis--sama seperti yang lainnya--di mana pola pikirnya lebih didominasi perasaan dibandingkan logika, meskipun kadang pola pikirnya sama seperti lelaki.
Rangga menggeleng pelan. "Jika memang aku bisa mencintai orang lain selain dirimu, tentu sudah kulakukan sejak dulu," ucapnya lirih. Hati Kiran menghangat.
"Kamu tidak perlu begini, jika hanya itu yang kamu khawatirkan, aku bisa merubahnya. Itu tidak sulit, Kiran," ucap Rangga sembari menyentuh punggung tangan Kiran. Menggenggam tangannya dan meletakkan di dadanya.
"Aku mencintaimu, Kiran. Seluruh hatiku hanya milikmu. Seutuhnya cinta ini hanya untukmu."
"Pandang aku Kiran ... pandanglah mimpi kita untuk merajut mahligai rumah tangga bersama. Ingat bagaimana kita punya mimpi memiliki anak-anak yang lucu di rumah bahagia kita bersama. Kamu dan aku Kiran. Bukan yang lain."
Tak diragukan lagi. Buliran bening luruh bersamaan dengan apa yang Rangga ucapkan. Kiran membeku di tempat. Hatinya tak menentu. Kesedihan menyeruak dengan leluasa memporak-porandakan keangkuhan dan ketegasan yang sengaja ia ciptakan untuk mengakhiri semuanya sekarang.
"Lidahmu bisa bicara lain. Tapi matamu tidak, Kiran. Kamu masih mencintaiku. Dan aku bisa pastikan itu benar dari matamu."
Kiran terkesiap menatap Rangga nanar. Ia baru sadar kedua tangannya digenggam dan berada di dada Rangga sekarang. Ia begitu terhanyut dengan ucapan Rangga. Kiran pun menarik tangannya dengan cepat. Menghapus buliran bening yang masih mengalir dengan deras. Ia harus mengakhirinya sekarang.
"Aku tidak mencintaimu. Aku mencintai bosku. Karena dia lebih kaya darimu. Itu alasanku yang sebenarnya," ucap Kiran ketus kemudian membuka kunci rumahnya. Tanpa berpaling ia masuk ke dalam rumah lalu mengunci dari dalam.
Rangga terdiam membeku menatap Kiran. Mencerna setiap ucapan yang ia dengar. Matanya memerah. Ada sakit luar biasa yang terjadi pada hatinya. Beberapa saat ia masih mematung di depan pintu rumah Kiran yang terkunci. Namun setelahnya ia beranjak pergi.
Melihat Rangga beranjak pergi dari depan rumah Kiran, sepasang mata yang sedari tadi tanpa Kiran dan Rangga sadari sedang menatap mereka, buru-buru pergi menjauh sambil mengepalkan tangan geram.
❤❤❤💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
kiki
sebenarnya si rangga tuh cm nolong doang atau emng selingkuh, heran
2021-05-25
0
Putriani
Sebenarnya si rangga beneran selingkuh nggak sih
2021-03-07
0
Yunia Abdullah
msih pnasaran ko BSA Ari tdur SM kiran
2021-02-04
0