Kiran menatap pantulan dirinya pada cermin besar di kamarnya. Kiran memang menyediakan satu cermin besar di kamar. Ukurannya setinggi tubuhnya. Sehingga Kiran dengan leluasa memantaskan baju yang seharusnya dipakai.
Kirain masih memandang dirinya yang hanya mengenakan dalaman saja. Ia sedang mencari sesuatu dari pantulan tubuhnya.
Hari ini adalah hari kedua setelah tragedi malam itu dan hari pertama ia masuk kerja. Kemarin, ia terlalu lelah untuk memastikan sesuatu yang mengusiknya ketika baru tiba di rumahnya pada malam hari. Karena pada akhirnya sore hari baru mereka bergerak dari kota itu kemudian pulang ke rumah. Ari mengancam tidak akan pulang jika Kiran bersikeras untuk menghalangi terjadinya pembuahan. Maka dengan terpaksa akhirnya Kiran pun menurutinya. Sebab Kiran ingin segera meninggalkan kota itu. Meninggalkan hotel itu dan kenangan buruk di sana.
Kiran melihat tubuhnya dengan seksama. Bukankah ini aneh, pikirnya. Ia melewati satu malam panas bersama Ari. Dan ia masih mengingat walau samar-samar pada malam itu, Rangga yang pada kenyataannya Ari, jelas-jelas membuat jejak kepemilikan di tubuhnya. Namun kenapa semua hilang tidak berbekas. Tak ada satu pun yang bersisa.
Ia juga masih merasa janggal. Sebab menurut novel yang sering ia baca bahkan rujukan ilmiah ketika terjadi sesuatu pada bagian intim dirinya, tentu akan meninggalkan sakit setelahnya. Anehnya, ia tidak merasakannya. Memang ia dapati tubuhnya lelah luar biasa, dan bagian sensitifnya juga merasakan sakit namun tidak sakit seperti yang dikatakan dalam buku-buku novel itu. Ia juga berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah.
Benarkah terjadi sesuatu antara dirinya dan Ari malam itu?
Pertanyaan itu menggelayut di benak Kiran. Mengingat bagaimana marahnya Ari kemarin ketika ia akan pergi ke klinik untuk mencegah kehamilan, tentunya ia merasa pasti memang telah terjadi sesuatu. Belum lagi foto maupun video yang Ari katakan.
Kiran tersentak. Ia melupakan kedua hal itu. Ia harus mencari cara agar Ari menghapus semua foto dirinya dan video pada malam itu.
...***...
"Bu Kiran ..., kok tumben lama? Dicariin pak Ari dari tadi," tegur Pak Agus, security kantor ketika melihat Kiran melewati posnya.
"Beneran Pak?" tanya Kiran menghentikan langkahnya.
"Iya, Bu. Dari tadi saya ditanyain." Pak Agus mengangguk sembari menunjuk telpon yang berada di pos miliknya.
Setelah mengucapkan terima kasih dengan pak Agus, Kiran pun melangkahkan kakinya dengan cepat. Dirinya terlalu lama berdiri di depan kaca tadi mengamati tubuhnya dengan seksama, hingga akhirnya dia datang terlambat hari ini.
Pasti ada sesuatu yang urgent. Sebab Ari tidak akan mencarinya jika tidak berkaitan dengan hal-hal penting. Meskipun Kiran adalah sekretaris bagi Ari, namun Kiran berkontribusi besar dalam menentukan kebijakan yang Ari buat. Bisa dikatakan bahwa Ari sangat bergantung pada Kiran.
Kiran mengambil nafas kemudian menghelanya dengan perlahan ketika ia sudah berada di depan pintu ruangan Ari. Ia mengetuk dengan perlahan kemudian membukanya.
Ia tidak menemukan Ari di dalam. Dengan ragu Kiran pun masuk lalu mencoba mendekati meja Ari dan melongok ke bawah meja, mana tahu Ari bersembunyi di sana. Kiran membelalak kaget. Ia melihat Ari tidur telentang dengan mata terpejam. Banyak kertas berserakan di sekelilingnya.
"Bapak kenapa, Pak?" tanya Kiran langsung menghampiri Ari. Ari yang mendengar suara Kiran langsung membuka matanya.
"Mati aku, Kiran... Matilah aku ...," jawabnya lirih menatap ke langit-langit di ruangannya.
Mendengar penuturan Ari, Kiran pun terkesiap. Ia menghampiri Ari lalu mencoba membantu Ari untuk duduk. Ia sandarkan tubuh Ari di rak buku.
Kiran iba melihat Ari yang begitu lesu. Tatapannya memancarkan kesedihan. Kiran menduga ada sesuatu yang berat sedang dipikul oleh pria itu.
Apakah ini berkaitan dengan tragedi malam itu? Apakah keluarga Ari tahu, hingga mereka melakukan sesuatu yang membuat Ari jadi begini?
Setelah menyandarkan tubuh Ari, Kiran pun bergerak mengambil air minum yang ada di meja ari. Mengambil termos kecil yang ada di tasnya. Lalu mencampur air di gelas tadi dengan air yang ada di termos.
"Minum dulu, Pak," ujar Kiran sambil menyodorkan gelas berisi air hangat tersebut.
Ari menerimanya dengan lesu. Meminumnya dengan malas. Karena hangat, ia pun menghabiskan airnya.
"Terima kasih, Kiran," jawab Ari menyodorkan gelas kosong ke tangan Kiran.
Kiran menerima gelas itu. Lalu mengembalikannya ke atas meja Ari. Ia kembali menghampiri Ari. Kemudian duduk di depan Ari.
"Ada apa? Kamu mau cerita denganku?" tanya Kiran berlutut di depan Ari. Ari menatap Kiran. Tatapannya kosong. Ia menghela nafas berat. Masih terdiam.
"Apa ini berkaitan dengan tragedi malam itu?" tanya Kiran sambil menundukkan pandangannya. Ia masih malu jika mengatakan hal itu di depan Ari. Mengingat ucapan Ari jika ia pun membalas perlakuan tak senonoh Ari padanya.
Mendengar pertanyaan Kiran menerbitkan senyum kecil di wajah Ari. "Kalau ini berkaitan dengan itu, wajahku pasti akan senang sekarang." Kiran mendongak. Ada kelegaan luar biasa di hatinya.
"Lalu, kenapa kamu begini?" tanya Kiran lagi. Ari menghela nafas sebentar.
"Kakakku akan datang besok," jawab Ari lirih. Ari menatap Kiran. Ada kecemasan di matanya. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke depan. Tak ingin Kiran melihat matanya yang menyiratkan bahwa ia sedang menanggung beban berat sekarang.
Sebenarnya Kiran merasa geli melihat tingkah Ari saat ini. Merasa tak habis pikir. Begitu takutnya kah pria yang ada di hadapannya ini pada sang Kakak hingga membuatnya begini, seakan-akan baru mendengar diagnosa dokter bahwa ia akan meninggal dalam waktu dekat. Ingin sekali ia tersenyum, karena merasa itu tidaklah pantas, ia pun mengurungkannya.
"Trus kenapa?" timpal Kiran datar.
Ari menatap Kiran kembali. Lalu menghela nafas panjang. "Kau tidak tahu siapa Kakakku." Ia menggeleng lemah. Lalu melanjutkan kembali.
"Tadi pagi sebelum azan shubuh berkumandang, ia menelponku. Ia mengatakan akan datang besok dan ingin mengambil surat yang kemarin diberikannya padaku, saat ia memberiku jabatan ini." Kiran masih diam. Tatapannya masih melekat pada Ari. Masih menunggu pernyataan Ari berikutnya.
"Kenapa kau masih menatapku, Kiran. Please bantu aku ...." Ari memohon.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Kiran datar tanpa ekspresi.
"Tolong cari surat dari kakakku itu. Aku lupa meletakkannya di mana."
Kiran mendengkus, sedikit kesal. Ari tetaplah Ari, pikirnya. Pria ini begitu ceroboh. Ia berhenti menatap Ari dan mulai memunguti kertas-kertas yang berserakan.
"Memangnya surat apa itu? Sampai kamu jadi begini?" tanya Kiran malas sambil memisah-misah kertas yang ia pungut tadi berdasarkan isi dari kertas tersebut.
"Surat kepemilikan perusahaan ini." Ari menjawab lemah. Mengalihkan pandangannya dari mata Kiran.
Kiran terkesiap. "APA??!" pekiknya. Matanya membeliak.
Sedikit banyak Kiran tahu bagaimana karakter kakak Ari. Karena ia sudah lebih dahulu bekerja di sini sebelum Ari. Kini ia paham. Bahwa memang Ari akan tamat riwayatnya jika sampai kertas itu hilang.
"Coba kamu ingat-ingat dulu. Di mana kira-kira kamu letakkan surat itu." Kiran mendelik menatap Ari yang masih pias. "Astaga, Ari ...!"
Ari menatap Kiran lemah. "Aku hanya ingat kalau aku meletakkannya di kantor ini. Tapi aku lupa menyimpannya di mana." Ari menggeleng pelan.
"Kamu benar-benar ceroboh! Sudah tahu Kakakmu begitu. Kertas berharga seperti itu dengan mudahnya kamu letakkan di sembarang tempat!" cecar Kiran masih terus memunguti kertas-kertas yang berserakan.
Ari menatap Kiran dalam. Ia menarik senyuman yang tak dilihat Kiran. "Kalau seperti ini, kamu seperti istriku," godanya. Kiran melirik Ari sekilas. Melempar tatapan tajam.
Dalam situasi begini masih sempat juga ia menggodaku.
Kiran mengemasi kertas-kertas tadi yang sudah tak bersisa lagi di lantai. Lalu meletakannya di samping rak. Ia akan menyusun tumpukan kertas itu nanti setelah ia menemukan kertas berharga itu. Yang penting tidak ada kertas berserakan di lantai. Kiran risih akan hal itu.
Seketika Kiran ingat sesuatu. Senyum misterius terkembang di bibirnya. Ari yang dari tadi menatap Kiran memandangnya heran. Apalagi sekarang ia melihat Kiran berdiri. Lalu bersilang dada di hadapannya yang mesti mendongak menatap wanita itu.
"Mohon maaf untuk hari ini, Ari. Aku tidak akan membantumu. Kamu selesaikan sendiri masalah ini. Semua ini kan terjadi karena kecerobohanmu, maka bertanggung jawablah dan jangan melimpahkannya padaku," cetusnya datar. Ari membeliak. Menatap Kiran tak percaya.
"Tidak bisa. Kamu harus membantuku. Kamu kan sekretarisku!" ucapnya tegas. Dalam situasi genting seperti ini Kiran malah tidak mau membantunya.
"Aku tidak mau. Kamu bisa memanggil karyawan lain untuk membantumu. Tapi bukan Aku. Aku sibuk. Banyak pekerjaan menungguku. Belum lagi aku harus membuat laporan hasil perjalanan kita kemarin," jawab Kiran sambil mengedikkan bahunya. Ari menatapnya tajam. Dia mendengkus kesal. Ari tidak ingin bertengkar sekarang. Ia menatap Kiran lagi. Tatapannya mengendur.
"Tidak ada yang kupercaya selain kamu, Kiran ...," ucapnya lirih. "Please Kiran .... Tamatlah riwayatku jika sampai kakakku datang dan surat itu belum bisa kutemukan," ucap Ari memohon.
"Apa peduliku! Itu urusanmu!" Kiran bergeming.
"Kiran ...." Ari menatap Kiran dengan tatapan memelas. Kiran membuang pandangannya. Menghela nafas sejenak lalu menatap Ari datar.
"Baiklah, dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kamu hapus semua foto dan video yang berkaitan dengan tragedi pada malam itu." Kiran memberi penakanan pada ucapannya.
Ari terpana. Kini ia tahu, semua ini hanya upaya Kiran untuk menuruti kemauannya. Meskipun Kiran lebih cerdas dari Ari. Apalagi berkaitan dengan urusan perusahaan namun ia juga tidaklah begitu bodoh hingga tak tahu siasat apa yang sedang dilakukan oleh wanita yang ada di hadapannya ini.
Ia mengulum senyum sekilas. Ingin sekali ia katakan bahwa foto tanpa busana Kiran dan video itu sebenarnya tidaklah ada. Ia hanya mengatakan itu agar Kiran mau menikah dengannya.
Melihat Ari begitu lama menjawab. Kiran berpikir bahwa Ari masih ragu untuk menerima tawarannya. "Baik jika kamu tidak mau. Aku akan pergi ke ruanganku. Selamat mencari. Semoga sukses." Kiran berbalik, lalu ingin melangkah pergi.
"Baiklah Kiran. Aku akan menghapusnya!" sahut Ari cepat.
Kiran berbalik lalu menatap Ari tajam. "Kau serius?" Ari mengangguk.
"Tapi aku ingin kamu menghapusnya di depanku."
"Apa kamu yakin akan sanggup melihatnya?" kerling Ari.
Kiran terkesiap. Melihat foto dirinya tanpa busana dan video peristiwa malam itu bersama Ari bukankah seakan menelanjangi dirinya meskipun kini saat melihatnya ia sedang berpakaian lengkap dan menggunakan jilbab. Seketika bulu kuduk Kiran meremang. Ia bergidik ngeri.
"Baiklah. Tapi kamu harus janji akan segera menghapusnya." Kiran membeliakkan matanya, tajam menatap Ari. Ari mengangguk setuju.
...***...
Sungguh sangatlah sulit ternyata mencarinya. Isi seluruh kabinet tempat penyimpanan file di ruangan Ari sudah dibongkar dan dilihat satu persatu namun yang dicari tidaklah mereka temukan.
Satu harian ini mereka berdua sibuk membongkar isi kabinet di ruangan Ari. Mereka hanya istirahat sebentar untuk makan siang dan sholat. Setelah itu kembali lagi mencari. Kini hari sudah gelap. Waktu di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karyawan yang lain sudah pulang.
Kiran duduk menyandar pada rak buku di belakangnya. Kakinya ia biarkan selonjor ke depan. Ari juga duduk menyandar pada kabinet di belakangnya. Mereka berdua sudah lelah luar biasa. Mencari sesuatu itu ternyata sangat melelahkan.
"Kedepannya apapun yang diberikan kakakmu, atau surat berharga apapun itu, kamu berikan saja padaku. Biar aku yang menyimpannya," kata Kiran lirih. Sudah kehilangan tenaga.
Ari tersenyum menatap Kiran.
"Makanya itu aku katakan, menikahlah denganku Kiran. Aku membutuhkanmu."
Kiran menatap Ari, diam. Tidak ada rona merah di sana. Ia terlalu lelah untuk menelaah bahwa Ari sedang menggodanya sekarang. Ia hanya menatap Ari. Tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Ada desiran aneh di tubuh Ari saat menatap Kiran. Seakan terhipnotis, dengan perlahan Ari bergerak mendekati Kiran. Bangkit dari duduknya dan berjongkok masih menatap Kiran.
Merasa lelah, Kiran hanya terpaku menatap Ari. Dilihat tidak ada perlawanan dari Kiran, Ari mulai mencondongkan tubuhnya mendekati Kiran. Wajahnya mulai mendekati wajah Kiran. Ia menatap bibir merah Kiran yang masih diingatnya betapa lembut bibir itu kemarin. Wajah mereka semakin dekat. Jantung Ari berdebar dengan kencang. Tapi matanya masih fokus menatap bibir Kiran. Ada keinginan besar untuk segera mengecupnya.
"Kamu mau apa?!" Kiran melotot tajam menatap Ari yang sudah demikian dekat dengan wajahnya. Ari tersentak. Membeku, masih menatap bibir Kiran kemudian menghela nafas dengan kasar.
Ari menjauhkan tubuhnya dari Kiran. Kemudian menyandarkan tubuhnya lagi pada kabinet yang ada di belakangnya. "Kadang aku lebih suka berandai jika kamu itu bisa seperti gadis lain yang begitu menginginkanku. Tentu semuanya akan lebih mudah bagiku." Ari membuang pandangannya dari Kiran.
"Jika itu yang kamu inginkan maka bermimpilah! Aku tidak akan pernah seperti itu." Kiran membuang muka.
"Kenapa? Kamu tidak bisa menerimaku?" tanya Ari ragu.
"Kamu memilih wanita yang salah. Hatiku sudah mati. Kamu akan tersiksa jika mengharapkanku."
"Hati yang mati masih bisa hidup kembali, Kiran. Asal kamu mau memulainya dengan menerimaku. Akan kuisi hatimu dengan cintaku."
"Gombal! Gak laku tau nggak!"
"Aku serius, Kiran."
Kiran menatap kedua manik mata Ari. "Serius? Emang kamu mencintaiku?"
Ari mengangguk, mengiyakan sambil memberikan seulas senyuman. "Mungkin sejak pertama kali kita bertemu," desisnya menambahkan.
Kiran diam beberapa saat.
"Tidak akan semudah itu, Ari. Aku sudah tidak percaya lagi dengan cinta. Yang kutahu, cinta hanya akan membuat diri kita menderita. Hanya akan meninggalkan luka," ucap Kiran nanar.
"Jangan kamu samakan semua pria seperti dia yang mengkhianatimu," kata Ari lirih.
Kiran menautkan alisnya. Ari sepertinya sudah tahu masalahnya dan Rangga. Kiran tidak terlalu terkejut sebab Ari memiliki koneksi untuk mengetahui apa yang ingin ia ketahui. Ia kini sadar bahwa dirinya sedang diamati Ari.
"Atau jangan-jangan kamu masih mengharapkannya?" tanya Ari penuh selidik.
Kiran menggeleng pelan. "Aku sudah tidak pantas untuknya," ucap Kiran lirih.
"Bukan kamu. Tapi dia yang tidak pantas untukmu. Dia terlalu lemah. Dia kurang tegas terhadap wanita yang menyukainya. Aku tidak begitu. Jika kamu menikah denganku, tak akan kubiarkan kamu menderita batin hanya karena perempuan lain."
Kiran terdiam. Ia bingung mau bicara apa lagi. Ia juga bingung harus bersikap. Semua serba fatamorgana baginya.
"Kamu pikirkan saja baik-baik. Yang jelas, kamu harus tau bahwa aku akan menunggumu. Menunggumu mengatakan iya padaku." Ari menatap Kiran dalam. Membuat Kiran risih dengan hal itu.
Karena merasa canggung. Ia pun berdiri dari duduknya kemudian menarik bagian bawah blazernya sebab tadi tertarik ke atas ketika ia sedang duduk.
Kiran tahu Ari masih menatapnya. Karena canggung, kepalanya pun membentur pelan rak buku yang ada di belakangnya. Sebuah buku jatuh dari sana. Ari yang melihatnya hanya tersentak kaget ingin bangun dari duduknya. Namun melihat tidak terjadi apa-apa dengan Kiran, ia pun melanjutkan duduknya.
Kiran menunduk mengambil buku yang jatuh tadi. Ia melihat cover di depan buku. Buku Detektif Conan! "Kau suka membaca ini, Ari?" tanya Kiran memperlihatkan cover buku tersebut.
Ari melirik sekilas. Ia memang suka buku itu. Bahkan membacanya di kala senggang. Tapi buku itu memang bukan miliknya.
"Aku rasa itu punya Robin. Sudah ada disini sejak aku datang." Ia merasa malu harus mengakui bahwa memang ia suka membaca buku itu.
Kiran mengangguk-angguk tanda mengiyakan pernyataan Ari. Ia dan Robin, bos nya dahulu yang digantikan oleh Ari tidaklah dekat seperti dekatnya hubungannya dengan Ari. Jadi ia tidak pernah menyentuh rak buku yang ada di belakang meja bos nya itu.
Ia mengembalikan buku itu di rak. Menatap deretan buku itu sekilas. Tak jauh dari letak tempat buku yang jatuh tadi tampak sebuah map berwarna merah. Kiran tergerak untuk mengambil map yang terhimpit di tengah buku Detektif Conan yang lain. Ia ambil buku itu dan mengambil map berwarna merah itu.
"Map apa ini, Ari?" tanya Kiran sambil menunjukkan map berwarna merah itu. Ari mengangkat bahunya.
Karena penasaran Kiran pun membuka isi map itu. Matanya membaca isi map itu dengan cepat. Tidak lama. Hanya sebentar saja ia membacanya. Karena judul depannya sudah mewakili isi kertas setelahnya. Kiran menautkan alisnya. Terpekik sesaat. Sebuah senyuman mengembang. Ari menatap Kiran heran.
"Kenapa?" Ia pun mendekati Kiran. Meraih map itu lalu ikut membacanya.
"Alhamdulillah... kita menemukannya, Kiran ...."
Terlalu bahagia, Ari langsung memeluk Kiran. Bahagia karena telah menemukan berkas yang mereka cari seharian. Ia memeluk Kiran lalu mengangkatnya kemudian berputar di tempat.
❤❤❤💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
fanthaliyya
Ari tdk sejahat itu mungkin
2021-07-10
0
Tian Ae
hemmmmm makin penasaran dg malam itu,,,, hihihi
2021-06-21
0
Dinda Natalisa
Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.
2021-03-10
0