Kiran membiarkan dirinya berada di bawah guyuran shower dengan mata terpejam. Ari telah keluar dari kamarnya. Namun ia masih belum memahami kejadian apa yang sedang menimpanya. Ia tidak mabuk. Tidak minum obat tidur. Namun kenapa ia bisa tidak sadarkan diri atas semua yang terjadi.
Kiran menggosok kulit tubuhnya dengan sedikit lebih kuat. Ia merasa sangat ternoda dan berdosa. Penyesalan seakan menggunung di dalam dadanya. Perbuatan terlarang yang selalu diingatkan oleh Papanya agar jangan sampai menimpanya kini telah dialaminya.
Kiran sudah berusaha Papa .... Semua di luar dugaan Kiran.
Dadanya begitu sesak.
Saat kau tidak bisa menjaganya, maka kau sudah kehilangan kehormatanmu. Kau sudah tidak ada harganya lagi. Maka jagalah dengan segenap jiwa ragamu. Jadikan dirimu berharga di depan suamimu.
Pesan papanya itu kembali terngiang. Kiran menggeleng dengan gusar. Ia berjongkok memeluk lutut. Wajahnya ia sembunyikan di lututnya. Tubuhnya masih berada di bawah siraman air. Shower masih menyala. Tubuhnya kemudian terguncang. Ia terisak.
Setelah satu jam mengeluarkan emosinya di dalam kamar mandi. Kini Kiran sudah bisa menguasai diri. Ia memakai stelan blazer warna maroon dan celana panjang dengan warna senada. Ia memakai kemeja warna merah muda sebagai dalaman. Memoles sedikit riasan di wajahnya untuk menyamarkan matanya yang sembab. Seperti biasa ia pun memakai jilbab di kepalanya. Jilbab itu tidak terlalu pendek dan tidak terlalu panjang. High heels warna hitam dikenakan pada kedua kakinya yang indah kemudian berjalan ke luar ruangan.
Kiran membuka pintu kamarnya. Terdapat dua orang laki-laki tinggi tegap dengan stelan jas hitam berada di depan kamarnya. Ia kenal kedua orang itu. Mereka adalah pengawalnya Ari.
Kiran mengernyitkan alisnya. Lalu berdehem sebentar. Kedua orang itu kaget lalu menatap Kiran. Mereka tidak menyadari jika Kiran sudah membuka pintu karena posisi mereka membelakangi pintu.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Bukannya seharusnya kalian menjaga Pak Ari?!" tanya Kiran tegas.
"Maaf Bu Kiran. Kami disuruh Pak Ari untuk berjaga di sini. Pak Ari ingin memastikan agar Bu Kiran menemuinya di kamar," ucap salah satu pria tadi sambil mengarahkan jempolnya ke kamar depan.
Kiran melangkahkan kakinya ke kamar yang ditunjuk oleh pengawal Ari tadi, kamar Ari. Posisinya berada di depan kamar Kiran. Ari yang sengaja memesan begitu.
Kiran memegang handle pintu. Ia menarik nafas sebentar lalu membukanya dengan perlahan. Ia menegakkan tubuhnya kemudian memasuki kamar.
Kiran mendapati Ari berdiri dengan menghadap ke luar jendela yang tertutup namun tirai gordennya terbuka dengan lebar. Kiran berhenti melangkah. Ia menatap Ari yang masih membelakanginya.
"Kamu sudah datang?" tanya Ari tanpa melihat ke arah Kiran. Kiran cuma berdehem memberikan jawaban Ari.
"Apa yang kamu pikirkan sekarang?" tanya Ari sambil membalikkan badannya menatap Kiran. Ia memasukkan satu tangannya ke saku celananya.
"Tidak ada," jawab Kiran pelan.
"Kamu tidak ingin meminta pertanggung jawabanku??" tanya Ari lagi.
"Tidak!" tegas Kiran. Ia berdiri dengan dada membusung, percaya diri. Matanya menatap ke depan namun tidak ke wajah Ari.
Ari menaikkan sebelah alisnya. Luar biasa sekali wanita dihadapannya ini, pikirnya. Ia masih setenang itu setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Sementara mungkin gadis di luaran sana akan menangis dengan histeris lalu meminta pertanggung jawabannya.
"Aku telah mengambil apa yang seharusnya kamu berikan nanti kepada suamimu. Sebagai seorang wanita kamu sudah cacat sekarang. Kamu masih tidak ingin meminta tanggung jawabku?!"
Kiran melirik Ari sekilas.
"Tidak!" jawabnya tenang. Ia tak habis pikir melihat Ari. Bukankah seharusnya Ari bahagia karena ia tidak meminta apa-apa darinya.
"Kamu tidak takut dengan masa depanmu?" tanya Ari lagi. Suaranya melembut. Wanita dihadapannya ini bagai bongkahan es yang terlalu dingin untuk disentuh.
"Jika menurut Bapak menikah adalah masa depan saya, maka Bapak tidak usah khawatir. Karena saya sudah tidak menginginkannya."
Ari melongo. Ia menatap Kiran tidak percaya. Ia mulai bosan dengan basa basi ini. Ia menggeleng pelan. Bukan begini seharusnya. Ia menatap Kiran.
"Di sini hanya ada kita berdua, Kiran. Bersikaplah seperti biasa," ucap Ari lirih. "Menikahlah denganku Kiran ...," ujarnya kemudian.
Kiran terkesiap. Ia menatap Ari sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke depan. "Saya tidak mau!"
"Apa maksudmu? Kamu menolakku?!" Pria yang selalu tersenyum itu kini menatap Kiran dengan tajam.
"Aku tidak ingin membuatmu menjadi terpaksa menikahiku," ucap Kiran datar. Masih tanpa ekspresi. Ia sudah menghilangkan kata 'Pak' dalam sapaannya. Hilang sudah bahasa formalnya.
"Aku tidak terpaksa. Aku sukarela! Bahkan aku senang jika harus menikahimu!"
Kiran terkesiap lagi. Ia menatap Ari, mencari keseriusan di dalam kedua mata bosnya. Sesaat mereka saling menatap.
"Bagaimana jika kemudian kamu hamil?"
"Aku akan melakukan pencegahan. Setelah ini aku akan ke klinik terdekat," jawab Kiran dengan keyakinan penuh.
Ia memang sudah memprediksi sebelumnya. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah kejadian tadi malam. Tapi kemungkinan Ari akan melamarnya, sama sekali tak terpikir olehnya. Karena mendengar kata pernikahan saja untuk sekarang ini ia sudah merasa muak dan jijik. Sama seperti rasa yang ia sematkan untuk Rangga.
"Aku tidak izinkan!! Itu benihku!!" sahut Ari tidak terima. Suaranya mulai meninggi.
"Tapi ini tubuhku. Salahmu karena telah meletakkan benih di tempat yang tidak seharusnya." Kiran menentang mata Ari.
"Maka dari itu, menikahlah denganku, Kiran ...," Ari merendahkan suaranya.
Kiran tak bergeming. Ia kembali memandang ke depan. Ari menghela nafas dengan kasar. Hingga Kiran bisa mendengar suara helaan nafasnya.
"Coba pikirkan lagi dengan tenang, Kiran. Untuk saat ini Aku lah pria yang paling tepat untukmu. Apa kamu yakin, di luar sana ada yang bisa menerima dirimu setelah ini?"
Deg!
Kiran tersentak. Kata-kata Ari memang benar. Untuk saat ini, bagi pria manapun ia sudah tidaklah pantas. Seperti ada luka teriris di hatinya. Ia mengambil nafas pelan. Mencoba menetralkan suasana mendung yang melanda hatinya.
"Ya, kamu memang benar. Tapi ... meskipun begitu, aku tetap tidak mau menikah denganmu!" kata Kiran sembari mengalihkan pandangannya lagi dari mata Ari.
Ari menarik senyuman kecil di wajahnya. Sedikit banyak ia sudah mengetahui tipe wanita dihadapannya ini. Kau memaksaku, Kiran ....
"Tapi kamu tidak bisa menolakku." Ari tersenyum menatap Kiran. Senyumnya sudah kembali sebagaimana biasanya. Kiran menatap kedua manik mata Ari. Menunggu penjelasan Ari berikutnya.
"Aku memaksamu, Kiran. Kamu tetap harus menikah denganku. Jika kamu tidak mau. Maka aku akan menyebarkan foto tanpa busanamu tadi malam." Ari menatap Kiran dengan seringai di wajahnya.
Kiran terkesiap. Manik matanya menatap Ari dengan gusar. Kekhawatiran mulai menerpanya. Ia tidak ingin menikahi Ari dengan cara begini. Karena Kiran tahu hatinya sedang terluka sekarang. Hati yang terluka tentu tidak akan bisa membuat mahligai rumah tangga menjadi bahagia. Ia tidak ingin Ari terluka juga karenanya. Terlebih lagi ia tidak mau Ari menikahinya secara terpaksa karena kasihan. Merasa dikasihani adalah perasaan yang sangat dibencinya.
Tapi pria di hadapannya ini bukannya bersyukur karena Kiran telah memikirkan kebahagiaannya. Ia malah membuat semuanya menjadi rumit. Kiran masih menatap Ari, tidak percaya akan kata-kata yang baru saja Ari ucapkan.
"Kamu berani?"
"Tentu saja." Ari mengangguk cepat.
Kiran menghela nafas pelan. "Kamu sudah mempersiapkan semuanya ya .... " Kini ia menatap Ari tajam. Otaknya berpikir dengan keras. Ia berpikir dengan cepat cara mementahkan apa yang sudah Ari rencanakan.
Melihat Kiran yang diam menatapnya, Ari sudah yakin jika Kiran akan menerimanya. Hatinya bergejolak senang. Ia memang sudah memiliki perasaan kepada Kiran sejak ia diminta oleh kakaknya untuk menangani kantor di mana Kiran bekerja. Perasaan tumbuh sejak pertama kali ia mengenal Kiran, sekitar enam bulan lalu.
"Kamu akan mempermalukan dirimu sendiri dengan itu," ujar Kiran kemudian. Ia sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan Ari utarakan serta mempersiapkan jawaban yang akan diberikannya pada Ari.
Ari tercekat. Wanita ini bahkan belum menyerah. "Kamulah yang akan malu Kiran .... Bayangkan jika sampai video kita dan foto itu bersliweran di mana-mana!"
Kiran diam. Menunggu pernyataan Ari berikutnya.
"Aku akan membuatnya dengan judul besar ... Hot Secretary .... Pasti rame nanti ...." Ari menarik senyum smirk di bibirnya.
Kiran mengernyitkan alisnya. "Aku tahu kamu takkan berani. Karena jika sampai kamu melakukannya. Aku akan mengundang wartawan kemudian mengatakan bahwa kamu sengaja menjebakku dengan memberikanku obat tidur."
"Obat tidur? Kamu bahkan membalasku, Kiran ...." Ari terkekeh.
"Aku akan mengatakan bahwa kamu telah menjebakku." Kiran memberikan penegasan pada kosa kata terakhir yang ia ucapkan sambil membeliakkan matanya menatap Ari.
"Lagipula, aku tidak punya keluarga yang akan malu nantinya jika foto bugil itu ada di mana-mana. Aku juga tidak peduli akan itu. Tapi kamu, memiliki banyak keluarga dan relasi di mana-mana yang tentunya akan malu jika tahu bahwa Ari seorang direktur perusahaan menjebak sekretarisnya untuk memuaskan nafsunya," lanjut Kiran tegas.
"Dan jangan ragukan apakah pernyataanku akan diterima atau tidak sebab kamarku lah yang kamu datangi tadi malam dan bukan aku yang mendatangimu," sambung Kiran dengan wajah datar.
Ari tersentak. Jawaban Kiran di luar dugaannya. Kini Kiran menarik senyum kecil di wajahnya. "Sudahlah, Ari. Kita hentikan semua omong kosong ini."
'Hah?! Apa katanya? Semua ini cuma omong kosong?!!'
Kiran berbalik beranjak ingin pergi.
"Hei! Kamu mau kemana??!" tanya Ari melihat Kiran berbalik lalu melangkah dengan cepat tanpa berpamitan dengannya. Ia bahkan belum selesai bicara.
"Mau memastikan pesawat kita. Kita akan pulang sekarang," jawab Kiran sambil terus melangkahkan kakinya kemudian mengeluarkan ponsel dan menghidupkannya.
Ari memandang kepergian Kiran dengan hampa. Beginikah akhirnya?? Ari mengacak rambutnya dengan kesal.
...***...
Urusannya sudah selesai. Ia sudah check out. Baru saja Kiran ingin meninggalkan meja resepsionis, tangannya sudah ditarik oleh seseorang. Ia memandang pria yang menariknya masuk ke gang kecil yang berada di dekat pintu utama hotel.
Kiran menepiskan tangan Rangga dengan kuat. Rangga berhenti menarik Kiran dan berbalik menatapnya.
"Kiran .... Please .... Berikan kesempatan untukku menjelaskan semuanya ...," ucap Rangga lirih menyatukan kedua tangannya di depan dada.
Kiran melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. "Baik. Aku kasih kamu waktu 5 menit. Bicaralah!!"
Rangga menarik nafas pelan.
"Aku tidak sengaja bertemu Sesil di luar hotel. Ia mengajakku bicara. Kaki kami tersandung lalu jatuh di kolam pancur depan hotel ini. Hotel tempat Sesil menginap jauh. Jadi Aku mengajaknya ke kamarku. Maksudnya setelah berganti baju, Sesil akan pulang ke hotelnya."
Kiran menatap mata Rangga. mencoba mencari kejujuran di sana. Ia menghela nafas pelan. Ada begitu banyak pertanyaan di benak Kiran kini.
Mengapa Sesil ada di kota ini?
Mengapa Sesil bisa tahu hotel Rangga? Lalu apa yang mereka bicarakan hingga Sesil mendatangi tempat Rangga menginap?
Tapi ia sadar diri. Pernyataan apapun tidak akan berguna lagi sekarang. Ia sudah ternoda. Kiran merasa dirinya sudah tak pantas lagi untuk Rangga.
"Terima kasih atas penjelasannya. Semua itu tidak ada gunanya lagi bagiku sekarang. Terimalah Rangga bahwa hubungan kita memang sudah berakhir."
Kiran berbalik meninggalkan Rangga yang masih terkejut menatapnya.
❤❤❤💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ndhe Nii
ga percaya sama ari kalobtega melakukan nya... pasti tipu muslihat ari utk memperdaya kiran ...oke Kiran... aku pada mu 🤣🤣😘
2022-03-08
0
Mami keyffa
baru mulai ngerti arah cerita....bagus menurut ku karakter kiran....lanjutkan thor....
2021-09-28
0
Ina Daurina
saya suka dgn sikap Kiran,tegas dan tegar
2021-06-23
1