Setelah diceritakan, hening suasana di antara mereka. Fery merasa bersalah, menceritakan semua itu pada Mba Tasya, melihat raut wajahnya yang sedih. "Mba gak pa-pa."
"Ya, Fer," terseyum dan memberi isyarat dari matanya kepada Tiara kalau ia baik-baik saja.
"Makasih banyak loh, Fer. Maaf selalu merepotkan lo."
"Sama-sama Mba, gue juga senang bantu Mba. Kalau nanti perlu bantuan lagi, tinggal hubungi aja yah Mba" sahutnya hangat.
"Maaf Mba, gak bisa lama, gue izinnya hanya sebentar doang tadi," sambungnya cepat dan buru-buru.
"Iya gak pa-pa, Fer. Makasih sekali lagi atas bantuannya ya," ucapnya bersyukur dan melihat Fery keluar dan menjauh.
"Sekarang apa tindakan lo, Sya" tanya Tiara hati-hati sambil memperhatikan emosi Tasya.
"Gak ada," mengerti arah omongan Tiara, mengangkat bahu cuek. "Kita ikuti aja permainan mereka."
"Gak mau gue bikin mereka bonyok." Serunya marah.
"Udah gue bilang, gak usah buang tenaga lo sia-sia," menepuk pelan menenangkan. "Kita tunggu aja tanggal mainnya, biar mereka gak curiga."
"Masih tetap ingin melakukan ide gila lo itu, Sya," mendapat anggukan kepala yakin dari Tasya.
"Resikonya bukan hanya lo aja yang terluka."
"Gak masalah biar semuanya tau kebenarannya tanpa gue yang di salahkan," sahutnya tajam dan cuek.
"Percayalah lo kuat melalui ini, gue selalu di samping lo kalau butuh tempat sampah buat semua caci maki dan curhatan, hehehe."
"Hahaha," menatap Tiara terima kasih. "Makasih banyak yah saudara gue," memeluk Tiara dengan sayang.
Bagi mereka berdua, persahabatan mereka sudah seperti saudara yang saling butuh, saling mendukung dan membantu. Apalagi disaat salah satu mereka sedang ada masalah. Walaupun mereka dari golongan berbeda, keluarga Tasya termasuk salah satu keluarga yang terkaya di negaranya. Tapi kedua orang tuanya hanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing dan selalu mendikte kehidupannya. Sedangkan dirinya hanya dari keluarga sederhana yang hangat dan dilimpahi kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Tasya sering datang ke rumahnya dan selalu bersikap manja kepada Bundanya. Kedua orang tua dan adik-adiknya sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Walaupun selama persahabatan mereka dari SMA, ia baru beberapa kali bertemu dengan orang tua Tasya, itupun juga pada saat-saat tertentu. Tasya anak bungsu dari 3 bersaudara. Kakak dan Mba-nya juga, gak terlalu deket dengannya dan terus sibuk dengan urusan mereka sendiri. Hanya Bram, sepupu yang selalu ada untuknya dan benar-benar menyayanginya.
******
"Dari mana kalian berdua?" Tegur Bram tajam, ketika mereka tiba di depan ruangan Tasya. Menatap Tasya yang berdiri di depannya dengan tatapan sedih.
"Maaf Bang, kami tadi ada urusan urgent mendadak, jadi izinnya kelamaan," jawab Tasya menyesal.
"Izin?" Tanya Bram mendelik tanda tanya.
"Lo, beneran sudah izin sama Bang Bram tadi, Sya?" Bisik Tiara heran, menatap Bram yang masih menatap mereka tajam. Yang dijawab anggukan kepala oleh Tasya. "Kenapa Bang Bram seakan mau menelan kita hidup-hidup, gue masih ingin hidup, masih belum nikah," candanya pelan, membuat Tasya terkekeh.
"Ehem..." Tegur Bram.
"Tenang aja, kita gak akan ditelan hidup-hidup cuma dicincang sampai habis." Bisik Tasya ditelinga Tiara. "Emang lo udah punya gebetan pake ngomong nikah-nikah segala lagi," cibir Mengejek status Tiara yang ngejomblo
"Sama aja Neng, sama-sama koit alias wasalam," candanya dengan pura-pura takut. "Kurang asem lo, ngehina banget," memasang raut pura-pura tersinggung. "Tapi its ok. I'm single and happy, weekk..."
Tasya mengangguk-angguk kepala paham. "Yaa, yang jomblo happy beda.sama dengan orang jomblo tapi gak happy," sindir pelan, seakan-akan Bram nggak ada di sekitar mereka.
"Ehhemm." Gumam Bram mendekat lalu menjitak kepala mereka berdua.
"Awww...," seru mereka kaget dan kesakitan.
"Aiss.. Kbja lo Bang," seru Tasya kesel.
"Apaan tuh, Sya. Baru denger gue," tanya Tiara penasaran.
"Kekerasan Boss jomblo akut," ujar Tasya dengan pura-pura berbisik tapi masih kedengaran Bram.
"Upphh..," Tiara menawan tawa, takut Bram meledak mendegarnya. Memalingkan wajah ke arah lain, takut melihat raut wajahnya yang semakin menajam.
"Kayaknya lagi bahagia banget ya, memuji Boss segitunya," sindir Bram kecut, bersidekap kedua tangan di dadanya. "Sebagai hadiannya kalian berdua lembur hari ini. Boss pulang, begitupun dengan kalian," sambungnya dengan senyum lebar.
Tasya dan Tiara saling menatap horor, karena lembur versi Bang Bram itu beda menurut mereka. Karena kalau sedang lembur, bossnya bisa pulang jam 1 atau 2, sedangkan batas lembur karyawan sampai jam 8 malam.
"Aduh jangan gitu donk Boss kami yang tampan," puji Tasya dengan merayu. Tapi dalam hati mengutuknya. "Gak kasihan apa wajah cantik adik-adikmu ini harus begadang karena lembur," memegang kedua tangan Bram, dan memasang wajah puppy face andalannya.
"Gak usah masang wajah gitu, kagak ngaruh," tolak Bram gemes sambil menjempit hidung Tasya.
"Awww...," memukul tangan Bang Bram kesel dan mengusap-ngusap hidungnya.
"Hobi banget sih Bang cubit hidung Tasya. Gak kasihan apa, nanti tambah mancung. Hahaha," gurau Tiara melihat kekesalan Tasya.
"Dasar kalian berdua ini. hobi banget lihat Abang sensara." Serunya geram dan menjauh.
Bram dan Tiara tertawa, tapi terdiam melihat air mata Tasya menetes. Tiara paham dengan moodnya yang buruk, sedangkan Bram menatapnya heran.
"Lo kenapa, Sya?" Tanya Bram heran, menepuk pelan pundak Tasya.
Tasya heran dengan mood nya sendiri, ia tahu kalau mereka berdua hanya bercanda dan menanggapi candaan itu dengan nyantai tapi tiba-tiba air mata yang tanpa diundang, menyeruak keluar tanpa disadarinya. Mungkin sesak didadanya tidak bisa ditahannya lagi sehingga membuatnya menetes, dengan cepat mengapusnya.
"Gak pa-pa," tersenyum lebar. "Cuma kelilipan. Gue ke toilet dulu ya, Bang" ujarnya cepat tanpa meminta jawaban dari mereka.
"Kenapa tuh anak?" Tanya Bram heran, mengeryitkan alisnya bingung sambil menatap Tasya menjauh.
"Gak kenapa-napa kok Bang." Tersenyum menenangkan. "PMS kale."
"Gak mungkin." Menatap Tiara tajam.
"Beneran kok." Yakin Tiara polos.
"Mau jujur atau.." Ancam Bram terputus.
"Bukan hak gue buat cerita, Takut salah ngomong, jadi fitnah lagi," ujar Tiara lembut. "Gue ngerti kalau Abang khawatir melihat Tasya nangis. Sabar aja, kalau Tasya udah siap cerita, pasti Abang menjadi orang pertama yang akan diceritakannya." Tersenyum sambil menepuk-nepuk tangan Bang Bram untuk meminta pengertiannya. "Tenang aja ya, Tasya baik-baik aja kok."
"Ya udah kalau gitu, buruan lo ikuti Tasya. Takutnya kenapa-napa lagi," menghela napas kesal dan menyuruh Tiara menyusul Tasya.
"Oke, Bang." Berjalan menyusul Tasya ke toilet. Menoleh ke belakang, melihat Bang Bram, bossnya masuk kembali ke dalam kantornya, dengan raut wajah yang khawatir akan keadaan Tasya, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments