Bingung

Rere melangkah menuruni tangga dengan langkah pelan. Dia berjalan ke ruang keluarga, mencari kakak tirinya yang baru pulang dari kampus. Ia melihat kakaknya itu sedang menonton di ruang keluarga dengan mamanya.

Rere berdiri di samping sofa tempat kakak tirinya duduk, ia mengulurkan tangannya. "Kunci mobil gue mana?" Ya, Rere memang selalu to the point, menurutnya berbasa-basi hanyalah membuang waktunya.

Kakak tirinya itu menatapnya sebentar, lalu mengambil kunci mobil Rere yang ia letakkan di meja. "Nih, emang kamu mau ke mana, Dek? Ini udah sore, aku aja yang antar, ya?" Rakha menyerahkan kunci mobil itu pada Rere.

"Bukan urusan lo. Gue bisa pergi sendiri."

Mamanya yang mendengar itu bertanya, "Kenapa kamu bersikap seperti itu sama Kakak kamu, Anesta? Mau ke mana kamu? Kenapa tidak pamit sama Mama?"

Rere yang tidak memedulikan pertanyaan wanita tua itu langsung pergi meninggalkan ruang keluarga.

"Anesta Revirey!! Mana sopan santun kamu?!" Mamanya yang geram berdiri, mencoba menyusul Rere yang terus berjalan. Tetapi saat akan menyusul Rere, Rakha menahannya. "Ma, udah. Rere pasti hanya pergi ke rumah Asia. Dia pasti akan pulang nanti. Mama tidak usah khawatir."

Rakha menggiring mama tirinya itu untuk duduk kembali. Ia pergi mengambilkan minum untuk mama tirinya agar dia bisa tenang kembali.

Sudah hampir 2 setengah tahun papanya menikah dengan mama Rere. Sudah selama itu juga ia dan keluarganya tinggal di rumah mama Rere. Tetapi, Rere tidak pernah bisa menerima dirinya dan keluarganya. Rere menganggap papa Rakha merusak hubungan mama dan papanya hingga mereka memutuskan bercerai. Padahal, itu karena papanya yang merasa sudah tidak memiliki kecocokan.

Ia kembali ke ruang keluarga dengan membawa segelas air pada tangan kanannya. Ia memberikan air pada mama tirinya itu. "Ini, Ma, diminum dulu." Ia kemudian kembali duduk di tempatnya.

Ia sibuk dengan pikirannya sendiri, walaupun matanya menatap televisi. Menurutnya, Rere hanya menginginkan kasih sayang dari mama dan papa kandungnya lagi. Tetapi, mamanya sibuk dengan kafenya dan hanya perhatian kepada Raiya—adik Rakha. Sedangkan, papanya sibuk kerja dan sibuk dengan keluarga barunya yang sudah menikah lagi 2 bulan lalu.

Menurut Rakha, hubungan yang tidak bisa dipertahankan memang seharusnya diakhiri. Jika dipertahankan, itu tidak akan menguntungkan mereka sendiri, 'kan?

...***...

Rere keluar dari mobilnya, menuju pintu rumah Asia. Ia mengetuk pintu, menunggu pemilik rumah mempersilakannya masuk.

Bi Lina keluar, membuka pintu untuknya. "Eh, Non Rere. Mau ketemu Non Asia, ya? Mari masuk, Non," ucap Bi Lina mempersilakan Rere untuk masuk.

"Bibi panggil Non Asia dulu, ya." Setelah itu, Bi Lina meninggalkannya.

Rere memainkan ponselnya sambil menunggu Asia. "Reee, ayo kita berangkat," ajak Asia dengan semangat dari ujung anak tangga.

Ketika Asia sampai di depannya, ia bangkit dan berjalan lebih dulu ke luar. "Bi, kami pergi dulu, ya," pamit Asia lalu menyusul Rere yang sudah lebih dulu jalan.

"Mau beli di mana?" tanya Rere ketika Asia sudah masuk ke dalam mobilnya.

"Di tempat biasa aja. Barangnya bagus dan harganya juga murah." Rere mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya ke toko biasa Asia membeli perlengkapan melukis dan menggambarnya.

Ketika sampai, Rere memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah disiapkan. Mereka berdua turun dan masuk ke toko yang memang khusus menjual hal-hal yang berbau seni.

Asia langsung berjalan ke bagian khusus cat. Ia sibuk memilih-milih cat yang akan ia beli. Rere hanya memperhatikannya sambil sesekali melihat-lihat cat-cat yang tersedia di rak.

Asia terus mencari barang-barang yang ia butuhkan. Bosan menemani Asia, Rere mengeluarkan ponselnya, menyibukkan diri.

"Re, menurut lo bagusan ini atau ini?" Asia memperlihatkan 2 kuas dengan ukuran yang sama, namun berbeda warna pada batangnya. Asia masih memperhatikan kuas-kuas di tangannya dengan tangan yang ia arahkan ke kiri.

"Re?" Lama tidak mendapatkan respons, Asia menolehkan kepala ke kiri.

Rere masih sibuk dengan ponselnya tanpa mendengarkannya sama sekali. Ia mendekat ke Rere dan bertanya, "Hello, Anesta Revirey! Gue dari tadi ngomong." Asia melambaikan tangan di depan mukanya.

Rere mengangkat kepala menatap Asia datar. "Apa?"

Asia membuang napas lelah. Ia kemudian menunjukkan kembali 2 kuas tadi, mencoba meminta saran. "Menurut lo, bagusan yang mana? Kiri atau kanan?"

"Lo cuma mau tanya itu doang?"

"Iya," jawab Asia polos.

"Yang kanan aja." Rere menunjuk kuas di tangan kanan Asia yang batangnya berwarna krim. "Oke." Asia meletakkan kuas satunya lagi ke tempat semula.

Setelah selesai membeli semua perlengkapannya dan membayarnya, mereka pulang ke rumah Asia.

...***...

Mereka duduk di sofa depan televisi, dengan camilan di meja depan mereka. Mereka menonton satu film yang sedang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Hanya Asia yang fokus pada film mereka, sedangkan Rere sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Asia," panggil Rere pelan. Asia menolehkan kepalanya ke kiri, menatap Rere dengan alis terangkat.

"Lo benci nggak sama orang tua lo?" tanya Rere spontan.

"Ha?" Asia mengerutkan kening mendengar pertanyaan Rere.

"Gue tanya, lo benci mereka nggak? Mereka ninggalin lo sendirian di sini dan belum balik sampai sekarang. Mereka nggak mikirin perasaan lo kayak gimana kalau mereka tinggal bertahun-tahun."

Asia ber-oh ria mendengarkan penjelasan Rere. "Hm... gue nggak benci banget sih, mungkin dikit doang. Gue lebih kecewa aja. Sampai sekarang mereka belum kabarin gue lagi atau telpon gue untuk sekedar tanya kabar gue gimana, terakhir waktu kelas 8 semester 2. Gue juga mulai terbiasa dengan keadaan gue sekarang, mungkin," ucapnya pelan di akhir ucapannya.

Rere diam dengan kepala menunduk menatap kakinya yang ia lipat di atas sofa. Pikirannya kalut. Ia bingung harus bagaimana. Apa ia harus membenci orang tuanya karena meninggalkannya? Tetapi, mamanya masih tetap menjaganya walaupun sekarang memiliki keluarga baru. Papanya juga kadang meneleponnya, menanyakan kabarnya, meski Rere tidak pernah bersikap hangat ketika papanya itu meneleponnya.

'Apa gue harus menerimanya?' batinnya bingung.

Asia yang melihat Rere yang seperti banyak pikiran bertanya, "Lo kenapa? Cerita sama gue, mungkin gue bisa bantu lo."

Rere menatap Asia. "Gue bingung. Gue harus menerima keadaan keluarga gue sekarang atau nggak? Apa gue harus menerima keluarga tiri gue? Lagi pula, mereka juga baik, sih."

"Menurut gue, tidak ada salahnya lo coba terima keluarga baru lo saat ini. Gue yakin, orang tua lo cerai juga karena memang mereka sudah merasa nggak cocok satu sama lain. Mereka pasti pisah bukan karena papa tiri lo itu." Asia mengelus pelan kepala Rere. Dia tidak pernah melihat Rere yang seperti sekarang, selama ini Rere bersikap seperti orang yang tidak peduli pada sekitarnya, tetapi sebenarnya dia peduli dan memikirkannya, dia hanya tidak menunjukkannya.

Rere tetap diam. Dia tahu kenyataan yang sebenarnya seperti apa, hanya saja dia pura-pura tidak tahu. Ponsel Rere yang di meja berbunyi, berhasil mengambil atensinya. Ia mengambilnya, melihat nama yang tertera di layar ponselnya, Rakha. Ia menggeser tombol hijau dan menempelkannya pada telinga kanannya.

"Halo?"

"Halo, Dek? Kapan kamu pulang? Udah malam, tidak baik anak perempuan terlalu lama di luar malam-malam." Suara Rakha, kakak tirinya itu masuk ke dalam pendengarannya.

"Hm... Gue balik sekarang." Rere langsung mematikan sambungan secara sepihak tanpa mendengar balasan Rakha lagi.

Rere langsung berdiri mengambil kunci mobil di meja dan pamit ke Asia, "Gue balik, ya. Bye."

"Iya. Gue antar sampai pintu depan." Mereka berjalan ke pintu depan dan Rere langsung masuk ke dalam mobilnya. Dan segera menancap gas, meninggalkan rumah Asia.

'Apa gue juga harus terima keadaan gue sekarang?' Asia terdiam di depan pintu, memikirkan tentang keadaannya saat ini.

...***...

"Halo, Rere!" Asia menyapa Rere dengan semangat ketika sudah sampai di samping Rere. Rere menatapnya sebentar lalu lanjut menatap layar ponselnya yang memperlihatkan ruang obrolan grup.

Asia meletakkan tasnya, duduk menghadap Rere yang sibuk melihat ponsel. "Re, lo ngapain, sih? Sibuk amat perhatikan HP-nya. Chat sama siapa, tuh? Kak Devan, ya?" goda Asia pada Rere yang langsung menatapnya dengan muka galak.

"Enak aja!! Ngapain gue chat-an sama orang resek kayak dia?! Nih, gue lagi lihat grup ekskul gue. Katanya ekskul mading ikut membantu dalam persiapan pensi." Rere memperlihatkan layar ponselnya yang dipenuhi obrolan anak-anak mading.

Sebenarnya di sekolah mereka, ekstrakurikuler mading dan jurnalistik digabung, tetapi mereka menamai ekstrakurikuler mereka Ekstrakurikuler Mading. Itu karena jumlah peminat kedua ekstrakurikuler itu sedikit dan juga kedua ekstrakurikuler itu sama-sama berbau dengan tulisan, maka dari itu keduanya digabung.

"Ohh..."

Rere kembali sibuk dengan ponselnya, sesekali ia terlihat mengetik pesan. Seperti mengingat satu hal, Asia bertanya, "Ngomong-ngomong, Re, kelas kita menampilkan apa?"

"Band kalau nggak salah." Asia mengangguk paham mendengarnya.

Bu Nella masuk beberapa menit setelah bel berbunyi, membuat murid-murid XI MIPA 2 langsung kembali ke tempat duduk mereka.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Nella dengan ramah—seperti biasa.

"Pagi, Bu!"

"Oke, mulai pagi ini hingga jumat depan sekolah akan melakukan persiapan untuk pensi. Ibu tadi malam sudah mendapat laporan apa yang akan dijual di bazar dan penampilan yang akan kelas kita tampilkan. Nah, untuk itu Ibu mau yang akan tampil sebagai perwakilan kelas mulai latihan pagi ini. Kalian mau menampilkan band, 'kan?" tanya Bu Nella.

"Iya, Bu," jawab Reno.

"Baik. Silahkan kalian tulis nama yang akan ikut dalam band-nya. Untuk yang OSIS dan ekskul yang akan tampil atau ambil bagian dalam pensi, tidak perlu ikut dalam penampilan kelas. Dan yang tidak ikut apa-apa nanti bisa bantu-bantu untuk bazar."

"Sekalian juga catat untuk yang jaga stand bazar, silahkan tunjuk 4 orang untuk setiap satu hari, jadi hanya ada 12 murid yang menjaga stand nantinya. Yang jaga stand boleh siapa saja yang jelas 4 orang, ya."

"Baik, Bu." Reno langsung mengambil selembar kertas dan mencatat. Beberapa murid laki-laki terlihat langsung mendatangi tempat duduk Reno, pastinya ingin menawarkan diri untuk tampil.

"Silahkan yang OSIS dan yang ekskulnya ambil bagian bisa pergi ke tempat urusannya masing-masing."

Asia langsung berdiri dengan beberapa murid termasuk Rere. Berjalan meninggalkan kelas, menuju tempat urusan masing-masing.

...***...

Asia dan semua anak Art Club sedang menggambar sketsa mereka pada kanvas di depan mereka. Ada beberapa yang kelihatan mulai memberikan warna dasar pada lukisannya. Kenriz—ketua ekskul—berkeliling melihat satu-satu pekerjaan anak-anak Art Club.

Asia mencoret-coret kanvas putihnya sesuai dengan sketsa yang sudah dikumpulkan pada Kenriz kemarin. Asia tidak berniat melukis sesuatu yang terlihat sangat menarik, ia hanya akan melukis seorang anak kecil perempuan yang sedang melihat langit gelap yang dilintasi bintang jatuh sendirian.

Semuanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Hingga bel istirahat berbunyi, banyak yang berhenti melakukan aktivitas dan berjalan ke luar ruangan untuk istirahat.

Asia tidak berniat untuk pergi ke kantin dan memutuskan melanjutkan sketsanya. Ia sibuk menggambar rambut anak kecil perempuan itu, tanpa menyadari kakak sepupu sekaligus ketua ekskulnya itu sudah ada di belakangnya.

"Arti lukisan lo kali ini apa?" tanya Kenriz.

"Nggak ada. Cuma anak kecil yang melihat bintang jatuh yang nggak sengaja melintas di langit yang dia lihat dan menunggu awan yang menutupi bulan pergi, agar dia bisa melihat bulan dan cahayanya dengan jelas," jelas Asia. Ia melihat sebentar Kenriz saat menjawab, lalu lanjut lagi menggambar.

Ya, dia memang akan menambah bulan yang tertutup awan dengan cahayanya yang tidak terang pada gambarnya. Jadi, langit gelap itu hanya dihiasi oleh bulan tertutup awan dan bintang jatuh.

"Lo pikir gue bodoh?"

"Kalau lo bodoh, nggak mungkin lo bisa masuk kelas MIPA 1, Kak."

"Bukan itu maksud gue. Walaupun saat ini masih berbentuk sketsa, tapi gue tahu maksud dari lukisan lo kali ini, Asia."

Asia berhenti menggambar, mendongak menatap Kenriz. "Emang maksud lukisan gue apa?"

"Keadaan lo sekarang, 'kan?"

Asia diam, beberapa detik kemudian dia tertawa kecil. "Hahaha, Kakak ngaco. Nggak kok, ini cuma gambar biasa. Gue 'kan suka sama hal-hal yang berbau langit, jadi gue gambar langit, bintang, bulan dan awan. Untuk yang anak kecilnya itu cuma gue tambahin aja supaya nggak kosong. Lagi pula, gue dapat ide juga dari usulan Rere, nggak ada maksud apa-apa."

"Kita lihat saja nanti. Gue nggak pernah gagal baca arti lukisan lo." Setelah itu Kenriz pergi meninggalkannya, sendirian di ruang Art Club.

"Emang sejelas itu, ya?" tanya Asia pada dirinya sendiri.

...***...

Asia dan anak-anak Art Club menghabiskan sebagian besar waktu mereka di ruang ekskul. Kadang, beberapa ada yang keluar untuk mencari makanan atau minuman, atau hanya sekadar mencari angin. Seperti yang Asia lakukan saat ini, ia keluar dari ruang ekskul untuk mencari angin, ia suntuk jika terus berlama-lama di ruangan itu.

Ia berjalan-jalan di koridor seorang diri. Sekarang sudah masuk jam terakhir, artinya kebanyakan siswa-siswi SMA Global Mandiri berada di kelas masing-masing untuk mempersiapkan penampilan pensi kelas mereka atau di ruang ekskul. Hanya beberapa yang Asia lihat di luar gedung ekskul.

Jam pulang masih 15 menit lagi, daripada dirinya berada di ruang ekskul terus, dia lebih baik berjalan-jalan sebentar. Lagi pula, waktu pengumpulan karyanya masih beberapa hari lagi. Dia juga bisa melanjutkan karyanya di rumah kalau dia mau.

Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya yang hari ini ia kucir kuda agar tidak mengganggunya saat mengecat. Angin terus berembus bersamaan dengan rintihan seseorang.

Asia berhenti di koridor yang menghubungkan kantin dan perpustakaan. Dia kembali mendengar rintihan perempuan dari arah belakang perpustakaan. Karena penasaran, dia melangkah mendekat.

Ia berdiri tidak jauh dari gedung bagian belakang perpustakaan. Ia melihat 4 perempuan di bagian belakang berjejer dengan 1 orang lagi di depan yang sedang menginjak kaki seorang perempuan yang seragam dan rambutnya basah yang terduduk di rumput.

"Heh! Gue tadi suruh lo bawain gue dan anak-anak ekskul dance minum, bukannya nyuruh lo tebar pesona sama Devan! Lo nggak ngerti yang gue bilang tadi, hah?!" Perempuan dengan rambut yang diikat bawah itu berjongkok dan menarik rambut perempuan di depannya dengan kasar.

"Sa-sakit...," lirih perempuan itu pelan.

"Oh, sakit? Emang gue peduli? Lo itu udah miskin, nggak usah sok kecakepan jadi orang! Lo pikir Devan tertarik sama lo?"

"Gu-gue cuma minta maaf sama Kak Devan. Gue tadi nggak sengaja tabrak dia. Tolong lepas, Kak. Kepala gue sakit," ucapnya memohon.

"Gue nggak peduli!" Teman-temannya di belakangnya tertawa melihat perempuan di depan mereka memohon-mohon. Perempuan bernama Prisca Andini itu mengangkat tangannya, siap menampar perempuan di depannya, namun tangannya ditahan oleh Asia.

"Asia?"

"Lo ngapain bully adek kelas, Kak?" Asia menarik Prisca berdiri. Kakak kelasnya ini memang suka merundung adik kelas atau seangkatannya yang tidak disukainya. Tetapi, Prisca lebih sering merundung anak-anak beasiswa. Hanya karena orang tuanya salah satu donatur di SMA Global Mandiri, ia bertindak seenaknya.

"Itu bukan urusan lo. Mending lo pergi, ganggu aja lo," usir Prisca.

"Kak, kalau lo bully orang, sama aja lo mempermalukan orang tua lo. Percuma dong orang tua lo mahal-mahal sekolahin lo di sini, bahkan jadi salah satu donatur sekolah ini kalau kelakuan lo aja memalukan kayak gini," tutur Asia dengan senyum tipisnya.

"Cih, pengganggu. Urusan kita belum selesai. Cabut, guys." Prisca dan 4 temannya pergi dari belakang perpustakaan, meninggalkan Asia dan perempuan yang masih diam di belakangnya.

Asia berbalik dan berjongkok, mengecek kondisi teman kelasnya itu. "Aletta, lo nggak apa-apa?" tanya Asia khawatir.

Aletta menatapnya sebentar dan menjawab, "Gue nggak apa-apa." Aletta merintih pelan ketika merasa sakit di kaki kanannya.

"Mau gue antar ke UKS?"

"Nggak usah, makasih," tolak Aletta.

Bunyi ponsel dan getar pada saku rok Asia, membuatnya memutuskan untuk mengecek ponselnya itu. Asia mengangkat setelah melihat nama penelepon itu. "Halo, Re?"

"Lo di mana? Gue tadi ke ruang Art Club, kata Kenriz lo tadi keluar terus belum balik-balik sampai bel pulang bunyi."

"Gue di belakang perpustakaan. Lo ke sini aja."

"Oke." Rere memutuskan sambungan. Asia memasukkan ponselnya kembali ke saku roknya.

Beberapa menit kemudian Rere datang. "Oh, sekarang lo ganti profesi? Bully orang? Bukan lo banget sih," simpul Rere ketika melihat Asia yang berjongkok di depan Aletta dengan kondisi Aletta yang bisa dibilang kacau.

"Nggak lah! Gue bantu Aletta. Tadi dia dibully sama Prisca dan teman-temannya itu."

"Terus, ngapain lo suruh gue ke sini?"

"Bantu gue bawa Aletta ke UKS. Kaki dia sakit karena diinjak tadi, dia nggak bisa jalan."

Rere berdecak, tetapi tetap membantu membopong Aletta di sisi kiri. Mereka berjalan ke UKS.

Ketika masuk, mereka bertemu dengan perawat UKS. "Loh? Ini kenapa?" Perawat itu langsung mendatangi mereka dan bertanya.

"Tadi saya jatuh, Kak, jadinya keseleo," jawab Aletta dengan bohong. Asia dan Rere langsung menatapnya heran.

"Terus kenapa baju kamu basah gini?"

"Saya tadi jatuhnya waktu di toilet, Kak. Jadi, tidak sengaja mengenai ember yang penuh air."

"Astaga, ayo duduk di kasur dulu." Perawat itu menggiring mereka ke salah satu kasur. "Sebentar saya carikan obat untuk mengurut kaki kamu dulu."

Perawat itu langsung berjalan ke meja obat depan mereka. Pintu yang terbuka membuat aktivitas perawat itu menjadi terhenti. Membuatnya berjalan mengarah ke pintu UKS yang berada di balik dinding meja obat.

"Eh? Devan?"

Perawat Anna terkejut dengan kehadiran Devan yang sudah berdiri di samping pembatas dinding sebelum dirinya berjalan ke pintu UKS sembari memegang kotak P3K. Devan menatap bingung pada Asia, Rere, dan Aletta yang juga terkejut dengan kedatangannya.

"Bagaimana? Tidak ada yang terluka parah, 'kan?" tanya perawat Anna khawatir yang mengambil perhatian Devan.

"Tidak, Kak."

Tadi anak drama ada yang terluka karena bertengkar. Anak yang mendapat peran sampingan di drama yang akan mereka tampilkan tidak terima dengan peran yang dia dapatkan, dia mau berperan sebagai pemeran utama. Pembagian peran saja sudah dari rabu kemarin, tetapi baru mereka permasalahkan karena kebetulan pembina ekskul mereka sedang sakit, jadi mereka latihan sendiri dengan diawasi ketua ekskul mereka.

Latihan mereka awalnya berjalan dengan mulus, tetapi tiba-tiba saja perempuan pemeran sampingan itu tidak terima saat pemeran utama mulai memainkan perannya di atas panggung ruang ekskul drama. Perempuan itu mendorong perempuan pemeran utama ke belakang. Akhirnya, perempuan pemeran utama jatuh dan tangannya tidak sengaja terkena paku yang tidak terpasang dengan baik. Alhasil, telapak tangan kanannya tergores paku tersebut, untungnya lukanya tidak dalam dan tidak memerlukan jahitan.

Anak-anak ekskul drama bukannya membawa perempuan tersebut ke UKS untuk diobati, mereka malah bertengkar satu sama lain. Untungnya, ketua ekskul mereka keluar dan tidak sengaja bertemu dengan Devan—salah satu anak ekskul UKS—yang kebetulan sedang lewat saat itu, jadi dia meminta bantuan Devan untuk membawakan obat dari UKS karena dia masih harus menghentikan anggotanya yang sedang bertengkar.

"Syukurlah. Letakkan saja P3K-nya di meja." Setelah itu, perawat itu kembali mencari obat urut dalam lemari.

Bunyi ponsel di mejanya, membuat Perawat Anna memberikan obat dan handuk yang ada di meja yang sudah dia dapat ke Devan. "Kamu tolong urut kakinya, ya. Dia keseleo, habis jatuh. Dan ini handuk untuk menghangatkan badannya. Saya mau angkat telepon dulu." Perawat Anna langsung pergi keluar UKS, mengangkat telepon.

Devan berjalan, menarik kursi ke depan Aletta. "Tutup rok lo," perintah Devan dengan memberikan selimut yang ada di atas bantal kasur dan juga memberikan handuk agar Aletta tidak kedinginan sesuai dengan perintah perawat muda itu tadi.

"Yang keseleo yang mana?"

"Yang kanan, Kak."

Devan mengangkat kaki kanan Aletta yang sudah Aletta lepas sepatunya. Devan mengoleskan obat, lalu mengurutnya.

"Akh!" Aletta merintih kesakitan.

"Pelan-pelan dong, itu Aletta kesakitan," omel Rere melihat Aletta yang mencoba menahan sakit di kaki kanannya.

"Kalau pelan, mana bisa sembuh. Lo diam aja," jawab Devan tanpa melihat Rere yang sedari tadi tetap memperhatikan Aletta dan dirinya bersama dengan Asia.

Setelah Devan mengurut, dia menyuruh Aletta untuk mencoba jalan. "Coba lo jalan, masih sakit nggak?"

Aletta turun dari kasur dan mencoba jalan pelan. Kaki kanannya sudah tidak terasa sakit saat dia melangkah.

"Udah nggak, Kak. Terima kasih," ucap Aletta pada Devan yang membalasnya dengan anggukan.

Perawat Anna kembali ketika Devan menyimpan obat yang dia gunakan kembali ke lemari. "Bagaimana kaki kamu? Sudah sembuh?"

"Udah, Kak."

"Baguslah, sekarang kalian mau pulang?"

"Iya, Kak," jawab Asia dan Aletta kompak. Rere hanya mengangguk. Sedangkan Devan, dia hanya diam saja.

"Ya sudah, kalian hati-hati, ya."

"Iya, Kak," jawab mereka berempat kompak. Sebelum keluar, Aletta mengembalikan handuk yang dia gunakan tadi pada perawat Anna sambil mengucapkan terima kasih. Mereka berempat pamit, dan keluar dari UKS.

...***...

Asia dan Aletta berjalan beriringan lebih dulu di depan dengan Rere yang berjalan di belakang mereka. Sedangkan Devan, dia berjalan sekitar 1-2 meter di belakang dari mereka bertiga, sambil memperhatikan ponselnya.

Bel pulang sudah berbunyi sekitar 15 menit yang lalu. Sekolah sudah kosong oleh murid-murid. Hanya ada guru-guru di kantor, satpam dan petugas-petugas kebersihan yang masih ada di sekolah saat ini.

"Aletta, bareng kita aja. Nanti Rere yang antar, gimana?" ajak Asia.

"Eh?" Aletta terkejut dengan ajakan Asia. Dia menatap Asia yang ada di samping kirinya dengan raut wajah terkejut. Pasalnya, dia tidak pernah dekat dengan Asia di kelas. Dia dan Agni selalu menghindar dari Asia dan Rere jika mereka tidak sengaja bertemu.

Rere yang di belakang mereka hanya mengerutkan kening dengan satu alis terangkat mendengar ajakan Asia. Dia pernah melihat Asia seperti ingin mengajak Aletta dan Agni berbicara, tetapi mereka berdua langsung pergi begitu saja. Rere sudah menduga alasan si Double A itu selalu menghindar dari Asia dan juga dirinya.

Aletta dan Agni cukup terkenal di sekolah mereka. Walaupun mereka tidak masuk ke dalam MIPA 1, tetapi mereka tetap murid beasiswa yang pintar. Di kelas, Aletta menempati peringkat 1 dan Agni peringkat 2.

Murid beasiswa di SMA Global Mandiri memang cukup terkenal di sekolah. Mereka bukan terkenal karena disukai oleh cogan-cogan sekolah, tetapi karena mereka sering dirundung, entah itu di kantin, belakang sekolah, koridor, perpustakaan dan penjuru sekolah lainnya. Mereka sering dirundung di depan banyak orang, menjadi bahan perbincangan satu sekolah.

Pihak sekolah juga pernah mendapat laporan tentang bullying, tetapi karena yang membully itu anak-anak dengan orang tua yang berpengaruh di SMA Global Mandiri, mereka tidak memperpanjangnya.

Karena itu, menurut Rere, alasan Aletta dan Agni menghindari mereka adalah agar mereka tidak dirundung oleh orang-orang itu. Agar mereka tidak dianggap mendekati Asia dan Rere hanya untuk memanfaatkan harta Asia dan Rere.

Rere menghela napas berat dan menjawab, "'Kan gue mau ke rumah lo."

Asia berbalik menatap Rere. "Kita antar Aletta aja dulu, baru ke rumah gue. Kasihan dia harus nunggu angkot jam segini, sendiri lagi."

"Ya udah, terserah."

"Oke, kalau gitu ayo kita pulang sekarang. Kak Devan, kita duluan, ya." Asia langsung menarik Rere dan Aletta menuju mobil putih Rere di parkiran dekat mereka.

...***...

"Rumah lo di bagian mana, Aletta?" tanya Asia.

"Sampai depan gang itu aja. Nanti gue tinggal jalan masuk," jawab Aletta sambil menunjuk gang yang sudah kelihatan di depan mereka. Rere melajukan mobilnya hingga depan gang yang Aletta maksud dan memberhentikan mobilnya di sana.

"Terima kasih kalian udah mau antar gue pulang. Gue duluan, kalian hati-hati di jalan," pamit Aletta pada Asia dan Rere.

"Lo nggak mau diantar sampai depan rumah lo aja?" tanya Asia sambil membalikkan badannya ke kursi penumpang belakang.

"Nggak usah. Rumah gue dekat kok, itu yang cat biru muda."

"Ya udah kalau gitu."

"Sekali lagi terima kasih," ucap Aletta sambil meletakkan tasnya pada punggungnya. Asia tersenyum dan Rere hanya mengangguk kecil menanggapinya. Setelah itu, Aletta turun dan berjalan ke rumahnya.

Rere menatap gang dari balik kaca di kanannya. Gang itu tidak terlalu besar, hanya terdiri dari sekitar 10 rumah sederhana dengan 5 di sisi kiri dan sisanya di sisi kanan. Walaupun rumah-rumah yang ada di gang itu sederhana dan tidak mewah, tetapi halaman-halaman rumah yang dapat terjangkau mata Rere kelihatan asri dan bersih, begitu juga dengan halaman rumah yang Aletta masuki saat ini.

"Re," panggil Asia yang juga ikut memperhatikan Aletta.

"Hm?"

"Aletta terlalu baik. Dia nggak pernah mau membalas Prisca dan teman-temannya itu kalau dia dibully," kata Asia.

Rere tersenyum miring mendengar perkataan Asia. "Baik dan bodoh itu beda tipis, Asia. Aletta bisa aja membalas mereka, tapi yang dia lakukan hanya pasrah. Mau sampai kapan dia ditindas kayak gitu? Dia itu bodoh, membiarkan mereka menghancurkannya sesuka mereka, sedangkan dirinya hanya bisa diam, tidak melakukan apa-apa."

"Nggak gitu, Re. Pasti dia mikir dampak dari perbuatannya jika dia membalas mereka. Lo tahu Prisca anak salah satu donatur sekolah, pastinya dia gunakan kekuasaan orang tuanya itu nanti."

"Tapi, kalau dia diam terus itu hanya akan membuat mereka semakin menindasnya seenaknya karena Aletta tidak melawan."

"Nggak segampang itu, Rere sayang. Nggak semua orang berani melawan jika diganggu kayak lo," ucap Asia. Rere hanya diam mendengarkan. "Gue harus berteman sama Aletta dan Agni. Menurut gue, mereka sama-sama orang baik dan kelihatannya mereka kalau berteman sama gue mereka pasti tulus kayak lo," lanjut Asia.

"Terserah lo, Asia." Setelah melihat Aletta masuk ke rumah bercat biru muda itu, Rere baru melajukan kembali mobil kesayangannya ke rumah Asia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!