keluarga besar Raden Adipati

Suara para pria yang sedang melantunkan pujian pada Robb dan Rasul-Nya menggema di malam gulita. Sumber suara berasal dari rumah Farida, dari mereka yang diundang datang ke sana.

Raut bahagia terlihat di wajah sebagian besar yang datang. Sisanya, mereka memperlihatkan raut sebaliknya.

Setidaknya itu yang disadari Arya. Di sela gumaman mengikuti lantunan demi lantunan, ia menyadari ada tatapan tajam yang diam-diam diarahkan padanya oleh beberapa orang.

Arya melakukan hal serupa, dan tanpa diduga bertemu pandang dengan seorang pria muda yang kemungkinan seusianya.

Deg.

Tiba-tiba terlintas sekilas kenangan seorang anak laki-laki tertawa, lalu berganti dengan wajah seorang pria yang juga tertawa. Tak lama tawa itu berganti dengan ekspresi wajah sinis dengan tatapannya yang dingin.

Arya menggeleng cepat, membuat pria tua di sampingnya menoleh dengan raut tanya.

Setelah acara selesai, mereka yang belum pulang sebagian berkumpul di ruang makan, dan sebagian lagi ada yang masih di teras, ada juga di dapur. Mereka adalah keluarga besar Raden Adipati. Semuanya hadir, kecuali satu orang yakni cucu perempuan mereka.

Di meja terdapat aneka menu hidangan yang dari aromanya menggugah selera. Arya menatap hidangan itu dengan tatapan berbinar, terutama olahan daging kambing yang merupakan favoritnya.

“Kau sudah lapar?” tanya seorang wanita tua di samping Arya.

Arya tersenyum malu sambil mengangguk.

“Sabar sebentar ya. Kakek dan paman-pamanmu masih ngobrol di depan,” ucapnya.

Lagi-lagi Arya mengangguk. Ditatapnya wanita tadi yang berlalu meninggalkan ruang makan. Ia adalah Dewi, istri kedua Raden Adipati.

“Ehhem.” Deheman pria di depan Arya mengalihkan perhatian pemuda itu.

Arya menoleh, dan mendapati tatapan tajam dari dua pria lain yang mengapit pria yang berdehem tadi.

“Arya. Kau tidak hilang ingatan ‘kan?” tanya pria di sisi kiri yang tak lain adalah Faris.

“Memangnya Kak Faris ngarepin dia hilang ingatan?” Pemuda di sisi kanan balik bertanya. Dia adalah Tirta, putra Sinta.

“Akan lebih baik jika dia hilang ingatan,” sahut Faris datar, membuat Tirta seketika menyeringai tipis. Di sisi lain, seorang wanita yang sedang memangku anak perempuan berumur sekitar 4 tahun menoleh pada Arya.

“Sayang sekali, aku tidak kehilangan ingatanku … sedikitpun,” ucap Arya dengan raut datar sembari menatap pada Faris.

Arya bisa melihat ekspresi Faris dan Tirta seketika menegang. Ia pun menyeringai, kemudian menatap pria yang di tengah sambil menyandarkan punggung.

Pria itu bernama Tama. Tama dan Faris merupakan kakak beradik, putra Adipati Wira. Sementara wanita yang memangku anak kecil adalah Ranti–istri Tama–, dan gadis kecilnya yang bernama Putri.

“Itu lebih baik,” ucap Tama.

“Kak.” Faris refleks menoleh pada Tama.

“Dengan begitu kau tau apa akibatnya jika menentang kami,” imbuh Tama dengan suara pelan, namun dengan penekanan dan disertai tatapan tajam.

Ranti menatap gusar pada Arya dan suaminya bergantian. Ia pun beranjak dari kursi, membawa Putri ke ruangan lain.

“Oh, jadi mereka biang keroknya. Wah, kalau terang-terangan gini sih bukan musuh dalam selimut namanya,” batin Arya yang disertai senyuman miring.

Senyum yang terukir begitu saja itu membuat Tirta menatap heran, sementara Faris terlihat geram.

“Sepertinya kau sedikit berubah. Apa itu karena kau baru bangkit dari kematian? Apa sekarang kau lebih berani dari sebelumnya?” tanya Tama.

“Kalo iya emang kenapa? Kau takut?” Arya balik bertanya.

“Takut? Hhahaha ….” Tama terlihat memaksakan tawa. Sedangkan Faris dan Tirta tersenyum mengejek.

“Ini akan lebih menyenangkan dari sebelumnya. Berjanjilah Arya, jangan pernah merengek apalagi sambil kencing di celana untuk mengharapkan belas kasihanku. Karena kalau tidak, kebangkitanmu dari kematian akan sia-sia,” tegas Tama dengan tatapan mengintimidasi.

Arya melongo mendengar ucapan Tama. “Ke-kencing di celana? Ish si Arya ini, yang bener aja,” rutuknya di dalam hati.

“Sudah lama ya? Rasanya aku sudah tak sabar ingin melihat dia seperti itu lagi. Hehehe …. hampir setiap kali kita ‘bermain’ dengannya, si Bodoh ini selalu kencing di celana. Huft, merepotkan saja,” delik Faris disertai senyum mengejek.

“Menurutku itu menyenangkan,” cetus Tirta sambil menoleh pada Faris.

“Kapan lagi aku bisa melihat cucu kesayangan kakek ngompol di celana. Padahal umurnya paling tua diantara kita,” imbuhnya disertai senyum mengejek.

“Maksudmu, aku yang paling tua di sini? Bukan dia?” tanya Arya pada Tirta sambil menunjuk Tama.

Tama mengerutkan kening dengan tatapan menyelidik. Sementara Faris dan Tirta saling melempar raut tanya.

Menyadari hal itu, cepat-cepat Arya berkilah, “Ahh jangan terlalu serius. Aku hanya bercanda. Karena kalau dilihat-lihat, wajahmu tampak lebih tua dariku. Terutama di bagian kening. Lihat itu.” Arya menoleh pada Tirta sambil menunjuk pada wajah Tama.

“Eh?” Tanpa sadar Tirta memperhatikan wajah Tama.

“Coba kau hitung garis di keningnya. Di bawah juga, aku bisa lihat dari sini ada kerutan di bawah matanya,” imbuh Arya dengan tampang serius sambil memperhatikan wajah Tama.

“Masa sih?” gumam Tirta.

“Tapi bisa dimaklumi. Kau sudah berkeluarga, jadi ya wajar saja. Beban kita pasti berbeda,” ucap Arya santai.

“Kau-.” Tama terlihat sangat geram, namun ia tahan karena ujung matanya menangkap ada yang akan memasuki ruangan itu. 

Alhasil, Tama menoyor kepala Tirta yang masih saja mengamati wajahnya dengan perasaan dongkol. Tirta menyadari kesalahannya, ia tersenyum masam lalu menunduk sambil mendelik pada Arya yang sedang menahan tawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!