Sekar

Adipati termenung memikirkan situasinya saat ini. Kenangan demi kenangan yang melintas tentang Arya membuatnya hanya bisa garuk-garuk kepala. Menariknya, di banyak kenangan pemuda itu tampak sosok wanita muda berparas ayu. Parasnya itu membuat si gadis tampak menonjol diantara gadis lainnya.

Arya membuang kasar napas, lalu memperhatikan kondisi kamarnya. Setidaknya kamar ini jauh lebih baik dari kamar sebelumnya di rumah Mak Enok. Bangunannya permanen dan cukup mencolok dibandingkan rumah warga sekitar.

Dini hari tadi, Farida–ibunda Arya– ditemani Darman membawa keluar pemuda itu dari rumah Mak Enok menuju ke kediamannya. Arya sempat heran, kenapa mereka tidak menunggu pagi untuk sampai di sini.

“Sepertinya keluarga ini cukup kaya. Huuh! Mimpi pun aku nggak pernah hidup di zaman ini,” gumamnya dengan raut pasrah.

Perhatian Arya teralihkan ke luar kamar ketika mendengar suara seorang wanita yang bertanya pada pembantu rumah itu dengan langkah tergesa-gesa.

“Beneran udah sadar, Bi? Kapan?” tanyanya.

Tak berselang lama pemilik suara itu menyembul di ambang pintu. Wajah cantiknya terlihat sumringah, membuat Arya seketika terpana.

“Arya ….” Wanita muda itu menghambur pada Arya, kemudian memeluknya.

“Akhirnya kamu sadar juga,” imbuhnya lirih.

Arya tertegun mendapati dirinya dipeluk erat seorang wanita muda. Bersamaan dengan itu, kenangan si pemilik raga kembali hadir. Kenangan bersama wanita yang sedang memeluknya.

Sesaat kemudian ....

“Sekar …,” gumam Arya. Nama itu terlontar begitu saja.

“Kamu inget aku? Aah, leganya. Kukira kamu bakal hilang ingatan,” ucap Sekar riang.

“Hilang ingatan? Masa aku lupa sama teman sebaik kamu.” Arya menatap lekat pada Sekar.

“Eh? Kenapa?” Arya menyadari raut wajah Sekar berubah. Gadis itu tak hanya melepaskan pelukannya, tapi juga terkesan menjaga jarak.

"Apa kamu juga ingat sama Wida?" Sekar tampak ragu menanyakannya.

"Wida?" Arya tampak bingung. Tak ada sosok wanita lain dalam benaknya.

"Memangnya dia siapa?" tanya Arya pelan.

Sekar tersenyum simpul, lalu berkata, "Sudahlah. Nanti juga kamu ingat."

Sekar terlihat lega. Keduanya saling melempar senyum, meski Arya terkesan memaksakan senyuman. Tak lama, perhatian mereka teralihkan pada Farida yang menyembul di ambang pintu.

“Eh, ada Sekar," ucapnya.

"Alhamdulillah ya, Bu. Akhirnya Arya sadar juga," timpal Sekar.

"Iya, alhamdulillah banget. Maklumlah, tau sendiri gimana kondisinya waktu ditemuin sama Darman.” Farida menghampiri Arya yang tengah duduk di tepi ranjang, hendak mengoleskan obat tradisional pada lebam dan luka yang masih menganga.

“Ngeri kalo inget waktu itu. Sampe-sampe dikira udah meninggal,” timpal Sekar sambil bergidik.

Wajah Farida terlihat sendu. Sementara itu dengan cekatan Sekar ikut mengoleskan obat di area lain pada tubuh Arya.

Mereka tak menyadari, Arya coba mengingat kejadian yang dibicarakan ibunya dan Sekar. Namun semakin ia berusaha, kepalanya jadi sakit. Hanya kejadian sebelum ditemukan oleh Darman yang diingat Arya dan ingatan itu sudah kesekian kali melintas dalam benaknya.

“Aku penasaran, siapa orang-orang yang sudah mencelakai si Arya ini?” batinnya sambil menahan rasa sakit di kepala.

Arya memperhatikan setiap luka pada tubuhnya. Membayangkan fisik lemah si empunya raga yang disiksa habis-habisan, seketika ia merasa kasihan.

**

Malam ini akan ada syukuran di kediaman Farida. Syukuran atas kembali sehatnya Arya setelah beberapa hari tak sadarkan diri.

Sejak pagi terlihat banyak orang berlalu-lalang membawa bahan makanan, dan siang harinya banyak orang mengantri di depan rumah.

“Rame amat, Pak. Ada apa?” tanya Arya pada Darman yang berpapasan dengannya.

“Nyai akan membagikan sedekah sebagai wujud syukur Den Arya sembuh. Nanti malem juga akan ada makan malam bersama keluarga besar. Biasanya sih semua datang,” sahut Darman.

“Oh.” Arya manggut-manggut. Pikirnya, beruntung sekali memiliki ibu sebaik Farida.

“Semua? Siapa aja, Pak?”

“Juragan sepuh sama juragan istri, keluarga juragan Adipati Wira, sama keluarga juragan Cakra.”

“Ooh. Eh pak, tunggu sebentar. Ngomong-ngomong, kok yang kelihatan cuma ibu. Bapak kemana?” tanyanya kemudian.

“Bapak? Maksud Den Arya, juragan Adipati Jaya? Kan sudah lama meninggal.” Darman menatap aneh pada Arya, bisa-bisanya pemuda itu melupakan ayahnya sudah tiada.

Arya tersadar dan berusaha untuk berkilah. “O-iya. Hehe, maaf … mungkin efek pingsan kemarin jadi ada sebagian yang saya lupa,” kilahnya.

Beruntung Darman percaya begitu saja. Pria itu bahkan menawarkan diri untuk tak sungkan bertanya jika ada yang mungkin dilupakan Arya.

Mendengar hal itu, Arya pun langsung bertanya dengan suara pelan, “Pak Darman tau nggak, kira-kira siapa yang udah jahatin saya?”

“Eh? Ka-kalau itu nggak tau, Den. Waktu itu bapak disuruh Nyai nyari Den Arya karena udah malam nggak pulang-pulang. Berhari-hari nyari nggak ketemu. Sampai kemudian ada seseorang yang ngasih tau katanya ngeliat Den Arya di sekitar Lembah Kuning,” jelasnya.

“Oh gitu ya,” gumam Arya.

“Saya permisi dulu, Den. Masih banyak kerjaan,” pamit Darman yang entah mengapa sikapnya mendadak kikuk.

Arya memperhatikan dengan seksama, dan berakhir pada kesimpulan ….

“Kayaknya ada yang disembunyiin Pak Darman. Hmmm, kira-kira apa ya?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!