Adipati Wira

Tak ingin hanya larut dalam prasangka, Arya memperhatikan sekitar rumahnya. Ia pun berkeliling mengamati rumah gaya leter ‘L’ dengan halaman yang sangat luas dan sesekali membalas senyum mereka yang berpapasan dengannya.

“Alhamdulillah, dikasih dua ribu. Bisa buat beli lauk berapa hari nih. Semoga Nyai Farida sama Den Arya selalu dalam lindungan Gusti Allah,” ucap seorang bapak berpakaian sangat sederhana dan terkesan lusuh yang kegirangan sambil menciumi empat lembar uang nominal lima ratus rupiah.

Arya menatap haru bapak itu yang sudah berlalu. Sesaat kemudian ia terperangah.

“Hah? Dua ribu? Dia bilang apa tadi, buat beli lauk beberapa hari? Eh buset, di zamanku dua ribu cuma dapat ciki atu,” ucapnya spontan. 

Arya sampai melongo. Kini ia semakin yakin, dirinya mundur hampir setengah abad dari yang seharusnya.

Arya meneruskan langkah masih dengan raut yang sulit diartikan. Senyumnya mengembang manakala menemukan sesuatu yang sudah terbilang langka di zaman modern.

“Woah! Airnya masih dari jet pump manual. Asik nih kalo nimba gini,” ucapnya antusias menatap sumur di hadapannya.

Tanpa pikir panjang, Arya menurunkan ember sampai menyentuh air. Setelah memastikan ember penuh, ia pun langsung menimbanya. Namun tiba-tiba ….

“Aduh, Gusti! Den, Den Arya jangan nimba. Udah-udah, biar Bi Minah aja. Aduuh .... kalau ibu lihat, bibi bisa dimarahin.” Seorang ART bernama Minah merebut tali timba dari Arya. Tanpa ragu menarik tali itu, lalu menuangkan isi ember pada sebuah lubang yang terhubung ke dalam bak air di kamar mandi.

“Aww!” Tiba-tiba saja sebuah kenangan buruk melintas, menghadirkan rasa sakit dan membuat Arya spontan meringis. Kenangan tentang seorang anak remaja yang bergelantungan di bibir sumur sambil berteriak minta tolong.

“Den Arya nggak pa-pa? Ada yang sakit? Lain kali jangan begini ya. Seingat bibi bak di kamar mandi penuh. Tadi udah diisi sama Darman.”

“Aku nggak pa-pa kok, Bi. Y-ya udah, aku ke kamar lagi aja,” ujarnya kikuk.

Arya berlalu meninggalkan Minah. Pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang kehidupan Arya sebelumnya.

Di sisi lain ….

“Nyai, kambing yang mau dipotong jantan atau betina?” tanya Darman pada Farida.

Farida terlihat bingung. Ia pun memutuskan melihat sendiri ke kandang untuk memilih kambing mana yang akan dipotong untuk syukuran malam ini.

“Arya. Sini, Nak,” panggilnya. Kebetulan Farida melihat Arya yang hendak memasuki rumah lewat pintu samping.

Arya menghampiri sambil tersenyum. Farida memberikan tumpukan kertas yang dilipat dan diselipi uang untuk dibagikan.

“Ini, bagikan ya. Segini lagi,” ucapnya. Farida memanggil seorang ART lain dan memintanya membantu Arya agar warga yang masih antri tidak rebutan.

Farida berlalu meninggalkan rumah diikuti Darman. Berjalan kaki beberapa puluh meter untuk sampai di kandang kambing.

Langkah Farida melambat ketika sebuah motor 6-silinder yang sedang melaju mengarah padanya. Melihat kedatangan si pria pengemudi motor, Darman langsung menjaga jarak dengan Farida.

“Kebetulan ketemu kamu di sini,” ucap pria itu yang tak lain adalah Adipati Wira, adik mendiang suami Farida, Adipati Jaya.

“Memangnya Kang Wira mau ke rumah?” tanya Farida.

“Iya. Kudengar Arya sudah sadar. Jadi ya~ sebagai paman yang baik, aku harus menjenguknya. Benar begitu ‘kan?” tanyanya sambil menyeringai tipis.

“Kenapa nggak sekalian nanti malam aja, Kang? Sekalian sama bapak dan yang lain.”

“Oh, jadi maksud kamu, aku nggak boleh mendahului mereka?"

"Bukan begitu. Tapi-."

"Sakti juga ya anakmu bisa selamat dari maut. Bapak aja udah pasrah kalau cucu kesayangannya bakal mati muda. Nggak sadar diri si Arya itu. Sok-sokan main sampai ke lembah kuning. Jangan-jangan dia kesurupan jin, makanya pergi ke sana,” ucapnya dengan raut mengejek. Tak hanya Farida, Darman juga geram mendengarnya.

“Bukan sakti, Kang. Tapi ya memang belum sampai pada ajalnya Arya. Selain itu aku yakin semua ini juga berkat kekuatan doa orang-orang yang menyayangi putraku, terutama doa seorang ibu,” sergah Farida.

Farida menghela berat napasnya, kemudian melanjutkan, “Kang. Tentang Arya ada di Lembah Kuning, Kang Wira jangan nyalahin jin, aku dan akang juga tau siapa pelakunya. Jangan mentang-mentang aku diam, Kang Wira bisa seenaknya gini. Mau aku aduin ke bapak?”

“Kamu ngancem lagi? Kamu lupa apa yang bisa aku dan Tama lakukan pada Arya? Ingat ya, Farida. Kalau sampai kamu atau si Darman buka mulut, akan kubuat Arya lebih menderita dari yang sudah-sudah. Bahkan bapak dan doa kamu nggak akan bisa menyelamatkan dia. Tutup mulut kalian, atau aku bakal nekat. Ngerti!” ancamnya.

Wira menatap tajam pada Farida dan Darman sebelum memutar balik arah motornya, lalu meninggalkan tempat itu. Farida menatap kepergian Wira dengan raut gusar. Sungguh ia sangat ingin memberi hukuman pada Wira dan putranya, Tama. Namun Farida juga takut kejadian serupa bahkan lebih parah dialami putra semata wayangnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!