KARATEKA DALAM TUBUH PEWARIS LEMAH
“Osh!”
Lebih dari sepuluh orang karateka sabuk hijau membungkuk pada pelatih mereka yang juga melakukan hal serupa, saling memberi salam pertanda latihan hari ini telah usai. Bersamaan dengan itu, ponsel sang pelatih berdering.
“Iya, Sensei.”
“Adipati, latihannya sudah selesai?”
“Sudah, baru saja. Ada apa?”
“Aku ingin kau mengikut seleksi untuk perwakilan Jawa Barat di Open International Karate Championship. Pulanglah, lalu daftarkan dirimu. Jangan lupa sertakan persyaratannya.”
“Tapi, Sensei. Bukankah Angga yang akan ikut dalam seleksi kali ini?”
“Tadinya begitu. Tapi kurasa lebih baik kau saja. Lagipula aku sudah membicarakannya dengan Angga.”
“Baiklah.”
Panggilan pun diakhiri. Adipati bergegas mengganti seragam karatenya, lalu meninggalkan E’Dojo, tempat ia dan Angga melatih para karateka junior bersama Sensei Edo sebagai Dojo Cho (kepala instruktur).
Di tengah perjalanan, saat menunggu lampu merah berganti warna, seorang nenek penjual panganan tradisional menarik perhatian Adipati. Nenek tua itu menghampiri Adipati, lalu menawarkan beberapa bungkus jualannya.
“Nak, awugnya …, lima ribu rupiah,” tawar si nenek dengan raut memelas, membuat Adipati merasa iba.
Saat ini pukul delapan malam, tapi nenek itu masih berjualan. Adipati melihat jualan si nenek masih banyak. Meskipun ia tak terlalu suka dengan panganan tradisional itu, Adipati mengeluarkan uang lima puluh ribu rupiah dari dalam dompetnya dan membeli satu.
“Satu aja, Nek. Nggak usah kembalian,” ucapnya sambil tersenyum.
Nenek itu sempat tertegun. Namun kemudian menggeleng cepat sembari mengeluarkan uang dari dalam dompet lusuhnya.
“Nggak usah, Nek. Buat nenek aja,” ucap Adipati sembari memasukkan bungkusan awug ke dalam saku ransel.
“Ini kembaliannya,” ucap si Nenek bersikeras.
“Nek, nggak us-.” Adipati tertegun melihat uang kembalian yang disodorkan si nenek.
“Terimalah.”
Adipati tersenyum simpul sembari mengangguk, menerima uang kembalian dari nenek itu. “Terima kasih, Nek,” ucapnya.
Adipati menatap langkah si nenek. Tatapannya lalu beralih pada uang kembalian yang berupa koin nominal seratus rupiah keluaran tahun 1978. Ia tersenyum sambil membolak-balikkan koin dengan gambar rumah gadang di satu sisi, dan wayang di sisi lainnya sembari bergumam, “Nenek itu pasti udah pikun. Hehe, lumayan buat kerokan.”
Adipati lalu memasukkan koin ke dalam saku jaket. Sebelum lampu lalu lintas berganti warna, Adipati sempat melihat pesan masuk pada ponselnya, dari Lily yang minta ditemani menghadiri undangan pernikahan pada hari Minggu akhir pekan ini. Setelahnya, bersama pengendara lain, Adipati kembali melaju, memecah kesunyian malam dengan suara kendaraan.
Adipati Arya, merupakan salah seorang senpai di E’Dojo. Selain berkerja sebagai pengemudi ojek online, ia juga atlet karate yang sudah beberapa kali memenangkan medali emas di pertandingan tingkat daerah, nasional, dan dua medali perak untuk pertandingan tingkat internasional. Usianya baru menginjak 28 tahun, dengan perawakan tegap dan badan yang mumpuni sebagai seorang atlet.
Motor Adipati melaju cepat di jalan yang menuju rumahnya. Ini hari terakhir pendaftaran via online dan di tutup jam sembilan malam.
Di saat Adipati sedang fokus berkendara, tiba-tiba sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi dari arah belakang. Adipati berniat memberi jalan, tapi kemudian ….
Bugh!!
“Aaargh!” Adipati spontan memekik.
Sebuah benda keras menghantam kuat punggung Adipati yang kemudian membuatnya hilang kendali, lalu terpelanting jatuh ke sembarang arah.
Brugh.
Tubuh Adipati mendarat di aspal, berguling-guling hingga membentur bahu jalan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara tabrakan antara sebuah truk dengan motor yang tak bertuan.
Tring.
Meski samar, Adipati melihat sebuah koin terjatuh. Adipati mengerang kesakitan sembari berusaha melepas helm.
Sambil menahan sakit yang tak terkira di bagian punggung, Adipati menatap nanar motornya yang sudah ringsek. Pengemudi truk kabur, kemungkinan takut masalah jadi panjang.
“Ya Tuhan, pu-punggungku rasanya ….” Adipati meringis menahan sakit. Sepertinya yang dihantamkan barusan adalah sebuah tongkat besi berukuran cukup besar.
Adipati tak bisa memikirkan apapun juga. Ia melihat koin seratus rupiah itu dan berusaha menggapainya saat teringat pada si nenek.
Sakit yang teramat sangat perlahan membuat pandangan Adipati mulai kabur. Di saat itulah ia melihat samar dua orang berjalan menghampiri.
“To-tolong,” ucapnya lirih penuh harap.
Krekk.
Sial bagi Adipati, punggungnya yang terasa remuk justru diinjak kuat oleh salah satu dari mereka.
“Aakhh!” Adipati mengerang kesakitan sembari menggenggam kuat koin pemberian si nenek.
“Pergilah ke neraka!”
Bugh.
Adipati bisa merasakan tubuhnya ditendang kuat oleh seseorang. Namun ia sudah tak berdaya, hingga tak terucap satu kata pun juga. Sampai kemudian, tubuh Adipati terkulai lemas, tak sadarkan diri masih dengan koin seratus rupiah dalam genggamannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Kustri
nenek misterius & koin keberuntungan👍
2025-10-08
0