“Saat itu kau mengingatku karena aku -lah penyebab kalian bertengkar, Riv.” Hiver akhirnya menemukan kata yang tepat untuk membalas
perkataan River.
River menoleh dengan sendu “Aku tidak tahu dari mana Carole mendapatkan informasi kedatanganmu di mansion Orion.”
Angin dingin menyapu wajah dan tubuh Hiver, sekaligus memadamkan bara di dada. Menjatuhkan impiannya yang sempat melambung walau tak setinggi langit.
“Kau adalah pemimpin Bluette, Riv. Segala gerak-gerikmu sangat gampang terpantau.”
Ada sunyi tercipta, napas River berpadu dengan desahan kasar. Hiver menunggu sahabatnya berkata, selalu menunggu bahkan selama 12 tahun, ia masih setia dalam diam.
“Sekretarisku adalah teman Carole. Yah, hanya Lydia yang bisa memberitahunya.” River mendesah lirih. Hiver menoleh melihat muramnya
wajah pria bersurai coklat itu.
“Padahal kita tidak melakukan apapun, Riv. Kita hanya bertemu layaknya seperti dulu. Tapi mungkin seharusnya kau tidak datang, jika
akhirnya terjadi seperti ini.” Hiver memiliki cinta yang besar kepada River, namun sekalipun ia tidak menginginkan perpisahan River dengan Carole. Terlebih melihat River kalut seperti saat ini.
“Hatiku sangat senang ketika mendapatkan pesan darimu, Hiv. Aku tidak berpikir panjang saat mengatakan akan menyusul ke mansion Orion. Aku tidak mengingat jika ada Carole.”
River menatap dalam Hiver, gadis memiliki segalanya itu hanya memandang lurus ke arah danau.
Hiver tumbuh dari bayi kecil menggemaskan, teman bermain yang ceria, sekarang terlihat semakin indah walau wajahnya tidak
menyiratkan ekspresi selain dingin dan datar. Ya, ini -lah Princess Marjorie Hiver, gadis kecil temannya yang telah mengisi hati sejak usia 10 tahun.
Kala itu Hiver merayakan ulang tahunnya yang ke 7, sangat cantik mengenakan kostum balerina dengan sayap kupu-kupu. River masih mengingat bagaimana Hiver yang malu dan bersembunyi di
belakang Queen Summer Rindu.
“Kenapa kau melihatku?” Hiver tersenyum miring, matanya sedikit menyipit.
River membalas senyuman Hiver lalu mengembuskan napas dalam “Kau sangat cantik, Princess Hiver. Entah pangeran mana yang akan menyunting bunga sepertimu, tapi pastinya dia sangat beruntung mendapatkan jiwa murni dan hati indah seorang Hiver.” pujinya dengan sangat tulus
Kedua tangan Hiver menyugar surai hitamnya, bibirnya terkulum. Di saat bersamaan hati memerih akan perkataan River, namun ia bisa apa selain menguburnya dalam-dalam. Menjelang pagi di Dundas, hanya satu orang yang boleh bersedih, ya.. itu River bukan Hiver.
“Apa yang akan kau lakukan, Riv? Maksudku tentang Carole, kau tidak boleh membiarkannya pergi. Selain apartemen itu, apakah dia memiliki
tempat tinggal lainnya? Carole bukan hanya kekasihmu, tapi juga tunanganmu, River temanku.” ucapnya mengalihkan pembicaraan. Hiver sangat yakin setiap kata yang terucap barusan memiliki 10 anak panah menancap di hatinya.
“Dulu ia tinggal di apartemen miliknya di Paris yang kemudian di jual karena menempati apartemen yang aku berikan. Orang tuanya
tinggal di pinggiran kota Lyon, mungkin Carole ke sana.” Jawab River terlihat gamang.
Manik hijau Hiver mengental, danau di depan mereka pun kalah saing.
“Sejak kami berpacaran, Carole memilih tinggal di Lyon. Hanya akan terbang ke Paris jika ada pekerjaan untuknya. Aku memberikan fasilitas apapun itu, Hiv.”
Hiver tersenyum penuh simpati “Sungguh enak memiliki kekasih terkaya ketiga dunia.”
River berdecih pelan lalu tertawa “Yang kaya adalah papaku, dan jangan lupakan jika kami ada 4 bersaudara. Kekayaan itu harus terbagi rata.”
“Harusnya kau membelikan Carole sebuah mansion seperti milik Orion. Dengan uang yang kau miliki sangat tidak seimbang jika hanya apartemen hadiah untuk tunanganmu, Riv.”
Manik biru itu menatap tajam Hiver, sungguh River tidak mengerti maksud perkataan temannya. Pun ia tidak tahu kenapa mencurahkan kegalauan kepada Hiver, tapi terbersit keinginan untuk mendekatkan diri kepada gadis di sampingnya.
Mendengar setiap perkataan Hiver adalah cemeti yang mencambuk kesadaran River bahwa seorang putri akan berjodoh dengan seorang pangeran bukan dirinya. Selalu saja begitu, sejak dahulu kala setiap River ingin mengutarakan
perasaannya.
Hiver terlalu tinggi untuk di raih, terlalu indah untuk
dimiliki. River hanya bisa menjadi teman kecil bagi Hiver. Kecantikan Hiver tersohor hingga ke kerajaan manapun, putri pertama King Robert baru menginjak usia belia telah mendapatkan pinangan dari beberapa pangeran. Itu pula menyurutkan
langkah River untuk mengucapkan cinta. Bahkan sekelas pangeran dari kerajaan ditolaknya, apalagi ia hanya seorang biasa.
“Carole menyukai perkotaan, dia menyukai jika kakinya menyentuh pedestrian di Lyon. Sebenarnya kami merencanakan sebuah tempat tinggal di pusat kota, sebuah bangunan bertingkat 3 yang bisa direnovasi. Aku sangat sibuk untuk
mengurus itu, Carole juga tidak pernah membahasnya walau aku telah menyerahkan
segalanya. Aku ingin Carole seperti mama, bisa mengurus rumah. Kami para pria tugasnya bekerja.”
Hiver tertawa “Arogan. Tapi jika kau membandingkan mami dan Carole itu sangat tidak seimbang, Riv. Mami sangat kuat dan seorang arsitek. Kenapa kau tidak meminta mami saja untuk membuatkan hunian masa depan kalian.”
Bayangkan perasaan Hiver, memberikan saran kepada teman yang dicintainya. Hati terluka namun berusaha tegar dan datar.
“Mama pastinya akan senang jika dimintai tolong, sayang sekarang bukan waktunya untuk membahas itu, Hiv. Carole telah pergi, biasanya
jika kami bertengkar hanya saling mendiami satu sama lain, berpisah kamar selama semalam dan besoknya akan berbaikan.”
Hiver tertegun, tangannya saling menangkup dengan gelisah.
“Cinta itu rumit yah, Riv. Hubungan yang kalian jalani.” Desah Hiver membayangkan dirinya memiliki pasangan dan terlibat sebuah pertengkaran kemudian cinta perlahan gugur satu persatu kemudian ketika berdamai ia harus
memungut kepingan-kepingan itu kembali untuk terus bersama.
“Kau terlalu polos, Hiv. Tapi aku yakin jika kau tipe kekasih yang tidak gampang bertengkar. Selama 27 tahun mengenalmu sekalipun aku tidak pernah melihatmu marah. Bahkan Orion yang harusnya dibalas setimpal malah kau memilih mengalah.”
“Orion.” Gumam lirih Hiver mengingat sosok berwangi maskulin earthy.
“Apa kabar Orion?” sambungnya menoleh menatap wajah River, rambutnya semrawut karena hembusan angin. Hiver merapikan surai coklat River dengan tangan.
River menikmati perhatian Hiver sambil melapalkan mantera dalam hati.
Hanya teman, segala yang diberikan Hiver tak lebih dari biasanya.
“Tidak biasanya kau menanyakan kabar Orion, Hiv. Kalian sudah berdamai?” River bertanya ketika Hiver menyudahi pekerjaan merapikan surainya.
“Tidak juga, hanya saja aku memikirkan Orion. Dia sendiri di sana, sungguh betah hidup seperti itu.” Ucapnya berbohong.
River merogoh saku celananya dan mengulurkan ponsel ke arah Hiver “Coba kau hubungi sendiri, tanyakan padanya.” Ucapnya lalu tertawa
meledek.
Hiver menepis tangan River, pria itu makin terbahak tawa “Kau ingin aku mendengarkan hembusan napas dingin di telingaku. Tidak cukup
dinginkah cuaca di sini hingga aku harus menghubungi Orion.” Ucapnya lalu cemberut.
River merangkul tubuh Hiver “Nanti aku akan mengirimkan nomer telepon Orion, jika kau rindu dengannya bisa menghubunginya langsung.”
“Aku tidak perlu.” Tolaknya. Hiver sekalipun tidak ingin menyimpan nomer Orion. Itu dulu. Tapi saat ini kenapa terdengar menggoda. Berbekal satu malam bersama, seakan pintu untuk mengenal lebih baik sedikit terbuka.
“Mungkin kau bisa jadi teman pertamanya, Hiv. Selain kami maksudku. Terkadang aku juga kasihan melihatnya, tapi itu adalah keinginannya. Tertutup dan semua orang selain keluarga di anggapnya tidak penting.”
Hiver menoleh menatap River, pria yang merangkulnya.
“Andai kami bisa berteman, pastinya sejak dulu, Riv. Jadi perkataanmu itu percuma.” Ucapnya seraya mengusap pipi temannya. River menoleh tersenyum penuh makna.
“Kau harus tidur, Riv.” Hiver mengambil langkah sebelum River mengucapkan sebuah kalimat yang membuatnya semakin goyah. Hiver berdiri
dan menarik tangan River, pria tinggi dengan tubuh berotot mengikuti keinginan Hiver.
“Sepertinya iya, mungkin sebentar saja, Hiv. Bangunkan aku setelah matahari terbit, aku harus masuk bekerja.” River berjalan dalam genggaman tangan Hiver, gadis yang tidak berhasil ia luluhkan lagi kali ini.
…
Hiver tidak menuruti permintaan River, ia tidak
membangunkan temannya hingga jam 10 pagi pria itu muncul di ruang makan. Wajah River jauh lebih hidup dan segar, rambutnya separuh kering ketika bergabung dengan Hiver dan Cyrus di meja makan.
“Apakah kalian baru juga bangun?” River menatap dua bersaudara di depannya. Meja panjang berisi berbagai menu sarapan dan makan siang menjadi pemisah ia dan Hiver.
“Maafkan aku, Riv. Tidak membangunkanmu. Kami berdua telah bangun dari jam 8 pagi, tapi menunggu dirimu untuk brunch bersama.” Hiver menjawab sambil memotong lorne sausagenya.
River tersenyum ramah kepada pelayan yang mengisi gelasnya dengan susu segar “Terima kasih.” Ucapnya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hiv. Sepertinya aku memang butuh tidur yang banyak. Sebelum tidur aku sudah menghubungi asistenku untuk
menghandle segalanya. Kurang 2 jam aku akan terbang kembali ke Lyon.”
Cyrus yang berada di sebelah Hiver menoleh menatap kakaknya yang mengembuskan napas sangat pelan.
“Kau sangat sibuk, Tuan CEO.” Sindir Cyrus dengan tersenyum miring.
River menahan sendok dan garpunya dan memandang Cyrus “Dimana sopan santunku, aku belum menyapamu, Prince Malcomm Cyrus of Mersia.”
Cyrus mendengus lalu tertawa ringan “Harusnya aku yan duluan menyapamu, big bro.”
“Sudahlah, lebih baik kalian makan. Simpan sopan santunmu di luar kastil, di sini kita adalah keluarga.” Hiver menengahi dan menatap River
dan Cyrus bergantian.
River mendengarkan perkataan Hiver dan larut dengan makanan tersaji. Tidak ada suara keluar dari bibir mereka kecuali bunyi dentingan alat makan beradu pelan.
Kembali jarak yang sempat mengikis antara ia dan Hiver pun melebar. Pagi itu seolah tidak ada percakapan beberapa jam lalu. Hiver telah
kembali pada posisinya, ya sebagai putri kerajaan yang memiliki tata krama tinggi, perkataan yang tersusun rapi.
Kata “keluarga” digaungkan, anggota keluarga tidak boleh saling mencintai layaknya pria dan wanita. River sadar. Hiver memiliki jodoh di
luar sana, seorang pangeran dengan segala kelebihan.
Jangan salahkan River yang memikirkan bisa menggapai Hiver, di saat Carole pergi. Saat terbangun 30 menit lalu hati River dipenuhi dengan kemungkinan itu. Hatinya lega, sangat lega dengan tidur yang lelap dan membayangkan dirinya menghabiskan usia berpuluh tahun di kastil itu. Tentu saja dengan Hiver berada di samping tempat tidurnya yang sangat empuk.
Hati River membuncah akan mimpi dengan sepasang manik hijau membuka perlahan menatap penuh cinta.
Selamat pagi, My River.
Suara rendah, serak Hiver dengan pemujaan yang akan membuat pagi lebih hangat dari musim panas di Mersia.
Nyatanya bukan itu didapatkan River saat mereka bertemu di ruang makan. Dress motif bunga berwarna broken white dengan rambut tergelung
anggun melengkapi kecantikan Hiver. Beberapa jam lalu ia bisa melihat Hiver yang tumbuh bersamanya. Teman berliburnya dengan pakaian
bebas bukan sebuah dress yang telah disiapkan oleh tim khusus kerajaan. Sama seperti yang sekarang ditatapnya, cantik, anggun, feminim, mencerminkan Mersia yang indah dan dingin.
“Aku sudah mengirimkan nomer Orion.” River memecah keheningan di meja makan. Tampak Hiver dan Cyrus telah menyelesaikan santapannya .
“Aku belum melihat ponselku, Riv. Percayalah, aku akan menyimpan nomernya. Aku tidak punya pembahasan dengan saudaramu. Tapi terima
kasih.”
Cyrus menghela napas lalu menelengkan kepala. Pun ia tidak menanggapi percakapan keduanya yang terdengar sia-sia.
“Kau ingin aku menyampaikan salammu kepada Orion?” River menatap wajah datar Hiver. Hanya ada satu gadis di dunia yang memiliki wajah
datar namun sangat indah. Pun hatinya datar kepada River.
“Tolong jangan lakukan itu, Riv.” Hiver menggeleng lemah dengan suara samar-samar.
River menandaskan isi gelasnya, meraih serbet dari bahan terbaik, menyeka sudut bibirnya. Masih, dengan pandangan ke arah gadis di
depannya.
“Baiknya kita berjalan di halaman sembari menunggu tuan CEO kita berangkat.” Cyrus menawarkan.
“Ya, daripada aku akan menggemuk dengan makanan yang baru masuk ke perut. Aku lupa kapan terakhir menyantap makanan di Mersia.” River berdiri bersamaan dengan Hiver dan Cyrus.
Ketiganya berjalan bersisian hingga mencapai pintu ganda yang berada di samping kanan, mengarahkan langsung ke halaman luas kastil. Hiver sangat hapal jika kastil Dundas memiliki 4 akses keluar masuk selain pintu depan, salah satunya dari ruang makan.
“Sedikit hangat dibandingkan tadi.” River menarik napas mengisi paru-parunya dengan udara segar. Dingin, menciptakan perasaan tenang.
“Kau harus lebih sering berkunjung ke Mersia, big bro. Bekerja keras itu bagus tapi tubuh juga butuh untuk bersantai.” Cyrus berucap serius melihat ekspresi River yang sangat menikmati pagi di Dundas.
River menoleh menatap Cyrus “Kalian harus lebih sering mengundangku.”
“Sepertinya kedatanganmu kali ini tidak menggunakan undangan.” sindir Cyrus lalu tertawa.
Hiver menyikut adiknya, River malah terkekeh sembari memasukkan tangan ke dalam saku celananya.
“Jangan dengarkan dia, Riv. Pahamilah jika Cyrus masih sangat muda.”
River menggeleng “Justru aku suka dengan sikapnya kepadaku, Princess Hiver. Tidak ada batasan umur dan strata ketika berbicara.”
“Apa aku bilang, big sis.” Cyrus membela diri.
Ketiga terus berjalan dan saling melemparkan topik pembicaraan yang membuat lupa akan waktu. Langit biru, angin bertiup malu-malu
membawa dingin dan hangat silih berganti menerpa tubuh.
“Terima kasih atas keramahan, Prince dan Princess.” Seloroh River berdiri di samping mobil mewahnya. Kakak beradik itu tertawa ringan.
“Sampai bertemu kembali.” Cyrus memeluk River.
“Ya, semoga secepatnya.” River menepuk punggung sebelum Cyrus melerai pelukan hangat.
Pemilik senyum simpul selanjutnya menjadi perhatian River. Gadis yang tidak bisa di raihnya, kini akan ditinggalkannya lagi.
Ia bergerak maju lalu mendekap erat Hiver.
“Aku akan menghubungimu, Hiv. Terima kasih telah menemaniku.” Ucapnya dan memberikan kecupan agak lama di pipi kanan Hiver.
Gadis itu hanya mengangguk lemah dengan sorot mata yang tak terbaca.
Sebelum genggaman tangan terlepas, River melihat manik hijau itu dengan dalam.
Sampai bertemu kembali, wanita yang tidak bisa kumiliki.
~~
“Dia sangat mencintaimu, big sis.” Tutur Cyrus ketika mobil yang dikendarai River berjalan menjauh meninggalkan kastil Dundas.
Hiver meraih jemari tangan Cyrus dan menggenggamnya dengan sangat erat.
“Tidak, ia tidak mencintaiku. Aku-lah yang mencintainya.”
###
alo kesayangan^^,
saat menulis ini aku mendengarkan satu lagu di album spotify.. bayangan jalur cerita Hiver di chapter berikutnya bersileweran.. seakan aku ingin berada di chapter itu, sayangnya tanganku cuma dua dan waktuku terbatas untuk menulis..
aku bisa saja mengerjakan 4 novel, andai memiliki asisten..
wkwkk :)
love,
D
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
felixia anime
saling menduga
2020-11-12
0
tama fillante 😎
pikiran² kalian lah yang membuat kalian membatasi diri kalian dri perasaan kalian sendiri...😔
2020-10-20
1
Fina firo
hahhahaha ngoyo men to Download ngasi golek asisten. sehat2 ya D..
indo LG perang .ini musuh dalam selimut haahhaha..
2020-10-08
2