Suara gelak tawa memenuhi kamar Prince Marjorie Hiver, itu disebabkan ketiga adiknya berkumpul di tempat tidur. Mereka sangat
menggemaskan, bahkan dengan usia yang semakin dewasa tidak bisa melepaskan
kebersamaan yang telah tertanam sejak kecil.
Hiver hanya menggeleng mendengar gerutuan Lou yang digoda oleh Onyx dan Cyrus. Terkadang Hiver heran melihat perangai kedua adik laki-lakinya yang sangat jahil dan suka bercanda. Sebuah analisa muncul di kepala Hiver jika sifat itu bukan warisan dari sang raja, Robert Finlay.
Papanya, pria dewasa yang memiliki pembawaan tenang dan penuh kasih sayang. Daripada berseloroh tidak jelas, Finlay lebih memilih untuk menemani anak-anaknya bermain atau membacakan sebuah buku cerita.
“Mau ke mana?” Onyx bertanya melihat Hiver berjalan ke arah pintu samping, bukan merupakan akses keluar melainkan menuju ruangan pribadinya. Sebuah kamar khusus untuk Hiver meluangkan hobby melukisnya.
“Aku akan menelepon.” Hiver mengacungkan ponselnya di udara, ia bisa melihat Cyrus tertawa mengoloknya.
“Biarkan saja kakak kita yang sedang berbunga dengan cinta lamanya.” Sindir Cyrus.
“Tutup mulutmu , Cyrus. Demi Tuhan.”
Sukses membuat Hiver kesal, Cyrus makin terbahak tawa yang keras. Hiver memilih mengabaikan adik bungsunya lalu memutar kenop pintu kuningan itu dengan cepat.
Di dalam ruangan berdinding batu namun terdapat dua jendela kaca sedikit besar membuat tempat pribadi Hiver lebih hidup, bukan hanya itu beberapa pot dengan tanaman hijau membuat perasaan lebih nyaman ketika ia hendak mengasingkan diri.
Hiver menghela napas panjang ketika melihat kuas-kuas kering yang tidak dibersihkan, kanvas lukisan separuh jadi yang ia tidak ingat lagi
kelanjutan gambarnya. Kesibukan yang membuat Hiver tidak memiliki waktu untuk nenekuni hobbynya. Hal menurun yang ia dapatkan dari Summer, mamanya.
Kedipan berulang dari ponselnya membuat Hiver dengan cepat menarik napas lalu menjawab panggilan suara dari seseorang yang berada 1.700 Kilometer dari Mersia.
Hiver..
Gadis bersurai hitam tersenyum mendengarkan suara di ujung telepon.
“Ada apa, Riv? Tidak biasanya kau meneleponku.”
River mendesah lemah, apakah Hiver tidak salah dengar? River terisak halus dan pelan.
Hiver, maafkan aku meneleponmu. Hanya saja aku tidak tahu menghubungi siapa dengan hati seperti ini.
Ya, isakan itu semakin jelas. Tubuh Hiver yang tadinya santai bersandar pada sofa empuk berwarna abu rokok langsung menegang.
“River? Apa yang terjadi?"
Sekilas Hiver menatap ponselnya memastikan apakah benar nama yang tertera dengan suara di dengarnya. Sepengetahuan Hiver, River tidak pernah se tertekan ini.
“Riv.”
Helaan berat dan dan dehaman keras terdengar di ujung panggilan.
Hiver, aku akan terbang ke Mersia sekarang. Bisakah kau menemuiku?
Mata Hiver melebar maksimal, kepalanya menoleh ke samping seolah ada orang yang menemani.
“River, jangan membuatku khawatir.”
Kastil Dundas milikmu, temui aku 2 jam lagi, Hiv.
“Riv.” Hiver mengerang, baru saja ia hendak melanjutkan perkataan namun bunyi telepon diputus sebelah pihak membuatnya semakin risau.
Hiver melirik jam ponselnya, 11.35 pm.
Cukup lama ia merenung di tempatnya duduk, beragam pikiran muncul memenuhi kepala Hiver. Lukisan hasil karya yang harusnya memberikan
ketenangan, malah membuat dada Hiver bergemuruh hebat.
Hiver menghela napas berat dan beranjak dari duduknya, tangannya menggenggam kuat benda pipih dan canggih ketika berjalan meninggalkan ruangan tersebut.
Kamar tadinya sangat ramai kini menjadi sangat sepi. Rupanya Onyx, Lou dan Cyrus telah terlelap di tempat tidur besar yang memuat tubuh-tubuh jangkung mereka.
Hiver sempat mengganti pakaian dari piyama ke t-shirt di padu jaket berwarna hitam, jeansnya pun senada.
Sambil mengendap ia melangkah ke arah tempat tidur, pemuda berusia 23 tahun menjadi sasaran tangannya.
Manik hijau Cyrus terbuka akan cubitan pelan dari Hiver.
“Big sis.” Protes Cyrus, Hiver menaruh telunjuk di bibir adiknya.
"Sttttt..."
Hiver menarik tangan Cyrus agar bangun dari tidurnya.
“Temani aku ke Dundas.” Bisiknya sangat pelan sembari Merangkul Cyrus. Pria bersurai coklat dengan manik hijau menatap tajam Hiver.
“Nanti aku jelaskan, Prince Malcomm Cyrus. Yang paling penting adalah membawa aku keluar dari Palace tanpa ada seorang pun yang tahu.”
“Kau berutang budi kepadaku, big sis.”
“Catat dan tagih suatu hari.”
Mereka membuka pintu dengan sangat pelan, pelayan sekaligus pengawal yang berjaga hanya bisa menundukkan kepala melihat Hiver dan Cyrus keluar dari kamar tidur.
Tanpa bersuara Cyrus berjalan memimpin di depan, ia memilih tidak mengganti pakaiannya menuju tempat yang diminta Hiver.
Kastil Dundas adalah kastil yang berasal dari abad ke 15, dibandingkan King Robert Finlay membangun sebuah kastil untuk anak sulungnya malah menawarkan tempat itu untuk Hiver.
Kastil Dundas yang terletak 20 kilometer dari Palace Mersia, adalah sebuah kastil yang besar dan memiliki halaman yang sangat luas. Kamar tidurnya berjumlah 17, belum termasuk dengan kamar para pelayan yang mengurus kastil tersebut. Kastil Dundas disiapkan sang raja untuk Hiver, kelak setelah menikah, Hiver boleh menempati nya itu.
Hiver sendiri sangat menyukai Dundas, kastil yang menjadi miliknyaketika menginjak usia 25 tahun. Mungkin saat itu sebuah isyarat dari sang raja jika pemberian kastil agar Hiver secepatnya melepas masa lajang. 2 tahun kemudian Hiver masih
belum menentukan masa depannya, yakni pria yang akan menjadi teman hidup.
Andai saja Hiver ingin menikah, 7 tahun lalu ia harusnya telah bersanding dengan pangeran Monaco. Hiver menolak lamaran pria tampan yang
tergila kepadanya, kala itu cintanya menggebu-gebu kepada River. Sangat bodoh
jika ia ingin menikah sementara jiwa mudanya menggelora hebat kepada pria lain.
“Aku akan tidur.” Cyrus memarkirkan mobil di depan kastil. Adik bungsunya menguap lebar ketika menoleh ke arah Hiver.
“Terima kasih, Cyrus.” Hiver membuka seatbealt sementara Cyrus sempat melayangkan sebuah kecupan di pipinya.
“Anytime, big sis.” Sahutnya turun terlebih dulu. Pengawal yang berjaga dengan cepat mengambil kunci mobil mewah Cyrus. Sementara Hiver memilih berdiri
menoleh pada kegelapan perkebunan di samping kiri kastil. Tanaman anggur berwujud bayangan
pasukan berjejer rapi, beberapa pohon di ujung seperti monster tinggi besar dengan lengan berpuluh jumlahnya.
“Princess Marjorie, apakah anda membutuhkan sesuatu?” tanya seorang pelayan menghampiri dengan sopan.
Hiver menatap pelayan tersebut “Satu kamar tambahan untuk tamuku. Sediakan minuman hangat di depan perapian. Dan yah, aku butuh sandwich.” Ucapnya lalu tersenyum simpul.
Pelayan itu mengangguk “Kami siapkan, Princess Marjorie.”
Hiver membalas anggukan pelayan yang mundur dua langkah sebelum pria berusia 30 tahunan itu membalikkan badan.
…
Sebuah belaian di wajah membuatnya membuka mata, senyuman indah dan hangat dari seorang pria bersurai coklat terang.
“Riv, kau datang.” Gumam lirih Hiver mencoba bangun.
River memerhatikan dengan dalam sambil tersenyum melihat pergerakan tubuh Hiver “Aku baru saja tiba. Pelayanmu menunjukkan jika sang
putri sedang tidur. Aku pikir kau seperti putri di dongeng, yah Putri Tidur. Aku mengetesnya dengan mengusap pipimu, jika tidak bangun aku akan menciummu.”
Hiver sedikit syok mendengar gurauan River, pria tampan dengan wangi cendana dan musk itu duduk di kursi sebelah.
“Harusnya aku berpura-pura tidak bangun saja.” Balas Hiver mencandai temannya. Hiver disibukkan menata surainya yang acak-acakan, rupanya kantuk tidak bisa ia tahan dan akhirnya tertidur di depan perapian.
River tertawa kecil kembali menatap dalam Hiver “Mendekatlah dan aku berikan ciuman yang kau inginkan, bukankah rasanya lebih hebat ketika
sedang sadar seperti ini.”
Manik hijau Hiver memutar “Kau gila.” Gerutunya
River terbahak tawa keras.
“Jam berapa sekarang?” alih-alih mencari jam dinding di ruangan luas itu, Hiver menoleh ke arah River yang duduk tenang dengan tubuh dibalut sweater coklat dipadu dengan coat hitam.
“Jam 4 lewat 20.”
“Hampir pagi, Riv. Kau pasti tidak tidur selama perjalanan, beristirahatlah. Kami menyiapkan kamar di samping kamar Cyrus. Dia yang
mengantarku kemari.”
“Apa katanya, Cyrus tidak mungkin mengantarmu tanpa bertanya, Hiv. Adikmu itu berpikir berapa langkah ke depan, jika kau tahu dia seperti mamaku.”
Hiver tersenyum sambil mengambil cangkir berisi teh hangat yang baru saja di antar para pelayan, sekalian mengganti yang lama.
“Hei, River Phoenix aku menyuruhmu tidur! Lihat matamu merah dan bengkak.”
Hiver berusaha mengalihkan pembicaraan menyangkut adiknya, Cyrus sedikit rewel dan banyak bicara selama di perjalanan.
Ingat, big sis. River telah memiliki tunangan. Mereka akan menikah dan kau juga masuk dalam perburuan Prince Philip. Jangan ada perselingkuhan di antara kalian, daripada kau menjadi wanita kedua di sisi River, ada Philip
menawarkan posisi ratu di kerajaannya.
River ikut mengambil gelas berisi teh khas Mersia dan menyesapnya dengan perlahan.
“Aku tidak merasakan ngantuk, Hiv. Kondisi hatiku sedang buruk. Aku sangat ingin mengajakmu berjalan di luar sambil menunggu matahari
terbit, tapi cuaca masih sangat dingin.”
“Ayo!” seru Hiver berdiri dari kursi dengan antusias.
“Kau yakin? Di luar sangat dingin, Hiv.”
Hiver menggeleng “Ini tanahku, udaranya telah menjadi bagian dari tubuhku, Riv. Apakah kau menyetir sendiri ke sini?” tanyanya sambil membalikkan badan, River mengangguk sambil beringsut dari kursi.
Tangan Hiver terjulur dan menangkap jemari kokoh River. Pria itu tersenyum lebar walau tidak bisa menyembunyikan sedihnya.
Mereka tumbuh bersama, bergenggaman tangan adalah hal biasa bagi keduanya. Hiver menoleh menatap River, secercah senyum terbit lebih tulus
kali ini.
“Memang dingin.” Gumam Hiver ketika berada di depan pintu ganda berwarna coklat. Ia pun melepaskan tangannya.
“Masukkan tangan di dalam saku coat -mu.”
River menuruti permintaan Hiver, padahal sebenarnya genggaman tangan sang putri lebih menghangatkan hingga ke dasar hati.
Mereka melewati halaman berkerikil kasar, hingga mencapai rerumputan hijau yang sangat nyaman dipijaki.
“Mersia sangat dingin.” River merasakan sakit di hidung ketika mengambil napas, ia pun terbatuk.
Hiver tertawa “Kau yang mengajakku. Riv. Jadi nikmati jalan-jalan kita. Sekadar informasi matahari baru akan muncul 4 jam lagi.”
River mengenduskan cairan di hidungnya sambil menggeleng “Aku heran bagaimana kau bisa tahan dengan cuaca seperti ini, Hiv.” Ujarnya tidak
juga ingin menyerah pada cuaca.
Hiver yang melipat tangan di dada dalam langkah kakinya “Ini karena musim dingin sebentar lagi datang, hal biasa bagi kami penduduk Mersia.”
Pagi menjelang dan angin pun berhembus lebih sering, dingin menusuk menembus jaket keduanya.
“Hiv, aku bertengkar hebat dengan Carole.” Ucap pelan River dalam langkah keduanya yang mengarah ke belakang kastil, sebuah danau buatan yang tidak begitu besar. Hanya sebagai pemanis itupun dibuat karena permintaan
Princess Marjorie Hiver.
“River.”
Pimpinan Bluette Corporation itu mengembuskan napas sangat kuat.
“Kami memiliki apartemen di kota, setelah bertengkar dia pergi. Tak lama setelah itu aku menghubungimu.” Perlahan River mengungkapkan
kegalauannya.
Hiver hanya berdiri mematung, ia bingung memberikan penghiburan seperti apa kepada River. Hiver sama sekali tidak pernah belajar
tentang mendamaikan hati orang yang sedang bertengkar dengan tunangannya.
“Carole tahu jika kita bertemu di kediaman Orion. Dia cemburu besar, Hiv. Ya, dia memang selalu cemburu kepadamu.” River menoleh menatapnya
sendu.
“Bukannya kita berteman, Riv. Jauh sebelum dia hadir di hidupmu aku sudah ada.” Hiver terpicu sedikit amarah, membayangkan Carole
memarahi temannya.
“Kau masih bayi, aku sudah mencubit pipimu.” River tersenyum miris lalu merangkul tubuh Hiver.
Dingin berangsur redup ketika kedua tubuh menyatu dalam rengkuhan.
“Berkatmu aku jadi menginginkan adik perempuan.” Sambung River sembari memimpin langkah pelan kaki mereka.
“Kalian sudah lama bersama, kenapa sampai sekarangpun Carole memiliki perasaan yang tidak mempercayai jika aku hanya sebatas teman kecilmu, Riv.”
River sejenak berpikir dan membiarkan dirinya tak menyahut hingga mereka duduk di bangku besi berukir di tepi danau, di bawah sebuah pohon yang tidak begitu tinggi.
“Bukan Carole yang menunda pernikahan kami, tapi diriku, Hiv. Carole marah besar karena aku menolak untuk menikah dalam waktu dekat. Aku tidak tahu, seakan ada yang menahanku untuk tidak melangkah ke sana. Ketika Carole pergi, kau adalah orang pertama yang muncul di kepalaku, Princess Hiver. Aku mengingatmu.”
Tangan ramping Hiver gemetar dan berkeringat di dalam saku jaketnya, dadanya panas, suaranya hilang. Manik hijaunya menatap ke arah bangunan kastil.
Cyrus, bagaimana jika seperti ini? Aku harus mengatakan apa? Tolong aku..
###
alo kesayangan^^,
Bagaimana, sudah tiap hari bukan?
besok aku Up Mersia atau Axel?
Maaf aku belum bisa menjawab komen kalian..
Hai Lila, aku sampai browsing nyari lagunya "Katon - Gerimis"
sungguh aku tidak tahu lagu itu, mungkin kita beda jaman..
wkwkwk
love,
D
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Hesti Pramuni
thor..
selalu ada banyak cinta buat satu wanita di your story...
lo bikin kelompok pendukung...
lo arahin readers tuk nge-ship kemana....
trus..
mr HB pun beraksi...
bikin mata readers pd bengkak...
lo tertawa diatas derai air mata kita...
lo emang raja tega...
tp... kita suka cerita e lo...meski lo memporak porandakan kita...
2021-05-06
1
Siti Fatmawati
yang manapun aku suka F
2020-10-07
2
Aing Jay
maaf kan aku yg serakah thor, bisa kah km up semua nya.
😉
2020-10-07
1