Prince Philip Bernadotte, tahun ini tepat berusia 32 tahun. Putra pertama sekaligus pewaris tahta kerajaan Swedia. Bernadotte adalah nama dinasti yang berkuasa selama 7 generasi di negara itu. Sistem pemerintahan Swedia sama seperti Mersia, dimana ada sistem parlementer dan monarki yang berkuasa dalam satu negara. Keduanya berjalan seiring, namun kerajaan Swedia tidak mempunyai kewenangan terhadap tindakan pemerintah, yakni perdana menteri itu sendiri beserta jajarannya. Kerajaan Swedia mengatur beberapa provinsi yang masuk dalam
wilayah tetorial, baik sektor ekonomi maupun pariwisata.
Royal House of Sweden, begitu julukan kepada istana kerajaan Swedia yang besarnya 3 kali lipat dari Mersia. Bisa dikatakan Hiver kini berhadapan dengan pria yang sangat kaya raya. Siapa lagi jika bukan Prince Philip Bernadotte, pria yang enggan melepaskan genggaman tangannya. Pria itu malah menarik Hiver agar bersisian ketika fotografer mengabadikan momen kebersamaan mereka.
“Aku tahu kau akan datang, Princess Hiver.” Suara bariton itu berbisik tepat di telinga Hiver, si gadis cantik bersurai hitam yang tubuh semampainya dibalut oleh gaun berbahan lace berwarna gold itu hanya bisa memamerkan senyuman simpul di bibirnya.
“Aku mendapatkan kepastian dari pihak penyelenggara pesta bahwa putri pertama Mersia juga hadir dan akupun membatalkan semua jadwal demi bertemu denganmu, calon istriku.”
“Kita tidak akan menikah.” Hiver menoleh dengan senyuman tipis ke arah Philip. Bahkan menolak seorang pria pun harus disertai dengan sikap yang anggun dan tersenyum manis.
Satu lagi yang membuat pangeran Swedia ini menarik yaitu manik mata berwarna kuning bak singa. Manik langka itu sedang menatap Hiver, seketika iapun gugup dan menoleh ke arah kiri. Menghindari tatapan Philip Bernadotte.
“Kau belum menolak, maksudku lamaranku masih digantung oleh Mersia. Apa kurangnya aku hingga kau memikirkan lamaranku terlalu lama.”
Hiver menautkan alisnya “Bukannya aku sudah menolak lamaranmu, lewat raja kami.”
“King Robert? Tidak ada. Jikalau pun ada, aku tidak ingin mendengarnya kecuali kata “YA” dari Mersia. Princess Marjorie Hiver, apakah kau tidak tahu jika aku jatuh cinta kepadamu sejak remaja. Kita menghadiri pesta yang sama dan aku melihatmu. Saat itu aku mengatakan kepada pihak istana, aku menunggu putri Mersia menjadi permaisuriku baru akan naik tahta.”
Hiver tersenyum geli lalu menatap pria yang menggamitnya “Aku mendengar bukan cinta yang tuan pangeran katakan, melainkan ambisi. Yah, ambisi untuk mendapatkanku, karena cinta setahuku tidak seperti ini.”
Keduanya terus berlaku sopan karena ribuan pasang mata sesekali melirik ke arah mereka. Andai saja Hiver dan Philip bukan keturunan pertama sebuah kerajaan. Sedari tadi Hiver telah berjalan jauh dari pria berwangi maskulin menggoda indera. Sementara Philip yang memiliki tatapan sensual telah membopong Hiver ke peraduan.
“Terus seperti apa itu cinta, tuan putri yang cantik? Mungkin kau lebih paham hingga bisa mengajarkanku.”
Hiver mengembangkan senyuman simpul “Harusnya yang lebih dewasa di antara kita lebih berpengalaman, Prince Philip.”
Philip tergelak tawa rendah, walau sebenarnya ia ingin meledakkan cerianya akan perkataan Hiver, sang putri idaman.
“Aku menyimpan cinta yang besar untuk sang ratu. Jadi pikirkan kembali lamaran kami, sayang. Ketika kau sah menjadi milikku, saat itu pula kau menjadi wanita paling bahagia di muka bumi.”
Hiver sangat kurang dalam praktek hubungan percintaan, tapi secara teori ia mempelajarinya. Perkataan Philip sesaat lalu termasuk kategori bualan dan rayuan seorang pria kelas tinggi. Hiver mengatakannya tinggi karena tingkatan strata Philip berbeda dengan kebanyakan pria di luar sana.
“Prince Philip Yang Agung, mungkin saja ratumu kelak akan menjadi yang kau cintai, sementara di saat yang sama kau juga memelihara selir-selir cantik di tempat lain. Teramat sayang, aku tidak ingin masuk dalam itu.”
Manik kuning keemasan itu menatap dalam, rahang Philip mengendor dan bibir sensual itu menyeringai indah.
“Kau pasti jadi milikku, Princess Hiver. Dirimu dan diriku telah ditakdirkan sejak roh kita masih di surga, jadi selama apapun kau menggantung lamaranku, selama itu pula aku akan menunggu. Dirimu, ya hanya dirimu yang bisa mendampingiku memimpin kerajaan Swedia, sayang.”
Hiver tidak ingin membantah lagi, percuma karena ia berhadapan dengan seorang pangeran yang terkenal berambisi kuat, pemimpin pasukan bersenjata kerajaannya. Ketegasan dan tekad kuat tidak terkalahkan adalah bagian dari kesempurnaan Prince Philip Bernodetta, Duke af Vasterbotten.
Akhirnya mendung di langit hati Hiver terkuak ketika melihat sosok jangkung adiknya, Alistaire Onyx berjalan menuju tempat ia dan Philip berdiri.
“Prince Philip, apa kabar? Rupanya sedang berbincang dengan kakakku.” Sapa Onyx ramah kepada pria bersuit biru itu. Tangannya di sambut dengan hangat oleh Philip.
“Prince Onyx, kabarku sangat bahagia. Ya, aku sedang berbincang dengan calon istriku.” Philip menoleh menatap Hiver yang berhasil melepaskan diri dari gamitan tangannya.
Kedua ujung bibir Onyx naik maksimal ke atas, bergantian menatap Hiver dan Philip “Ini kabar bagus untuk kami, Mersia dan Swedia akan bersatu.” Ucap pemuda berusia 25 tahun tersebut, lalu mengedutkan alisnya kepada Hiver.
Sang putri tak lain kakak dari Onyx hanya bisa menahan ringisan keluar dari mulutnya, ia sangat tahu jika adiknya sedang mengejek dengan kata-kata sarkasme.
Manik hijau Hiver memicing dan licik, sembari menaruh kesal dalam hati untuk Onyx.
“Sesama calon raja, kita harus akrab sejak awal, Lil Brother.” Philip bergerak merangkul Onyx.
Hiver tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, kekesalannya memuncak ketika adiknya tertawa miring dan kembali mengedutkan alisnya sebanyak dua kali.
…
Hiver berderap menyusuri karpet Palace, sengaja ia meminta agar tidak ada pelayan yang berjalan di belakangnya. Sejak pesawat mendarat di Mersia, kemudian di perjalanan hingga ke Palace, selama itu pula ia mendengarkan puja-puji Onyx terhadap Philip Bernadotte.
Adiknya sekaligus pewaris tahta itu menjelma menjadi sales manager mewakili kerajaan Swedia. Hiver bingung, hal apa yang dibisikkan Philip hingga Onyx dengan gencarnya meminta agar lamaran itu di terima.
“Marc, tunggu aku.” Langkah kaki berat menggema di koridor besar dan panjang. Hiver tidak perlu berbalik, ia sangat tahu jika Onyx mengejarnya.
Marc adalah panggilan khusus Onyx kepadanya, singkatan dari kata Marjorie.
“Aku tidak suka kau membawa-bawa Philip di setiap perkataanmu. Seolah dia telah menjelma menjadi Tuhan baru yang kau sembah, Prince Alistaire.” Gerutu Hiver ketika Onyx tidak perlu menjaga wibawa, ia pun langsung merangkul bahu kakaknya.
Onyx tertawa keras seraya mengecup pipi Hiver “Maafkan aku, Marc. Sungguh aku hanya ingin mencandaimu. Aku tahu jika kau tidak menyukainya, mungkin sama halnya kau tidak menyukai si Bintang Jatuh.”
Hiver mengerucutkan bibirnya “Orion Filante.”
Onyx mengangguk kuat dan menarik tubuh Hiver untuk bergerak lebih cepat, tentu menuju ke arah kamar tidur kakaknya.
“Bukan aku yang tidak menyukainya, mungkin dia yang tidak suka kepadaku. Herannya dia sangat akrab denganmu. Tapi saat malam itu aku bisa menghitung berapa kata yang diucapkan Orion.”
“Wow. Kalian menghabiskan malam bersama? Kapan?” Onyx mengerling jahil.
Hiver sangat menyesali akan kalimat yang harusnya ia simpan. Tapi bau busuk serapat mungkin pasti akan tercium, apalagi wangi maskulin dan earthy. Angin akan membawanya hingga masuk ke dalam rongga dada dan menempel kuat di sana.
“Saat kau tertidur, aku turun ke taman dan Orion menemaniku hingga jam 4 pagi. Kami hanya duduk terdiam selama itu.”
Onyx tertawa dan merapatkan rangkulannya “Nama Bintang Jatuh cocok dengannya, tiba-tiba saja terlihat jatuh dari langit tanpa ada suara, dia indah tapi juga aneh, Marc. Sangat tidak normal duduk berjam-jam hanya diam tanpa membicarakan sesuatu.”
Hiver mengedikkan bahu seraya mengingat kejadian 2 minggu yang lalu “Sekian lama kami tidak bertegur sapa, malam itu sepertinya kami sudah berbaikan. Dia juga mengantarkan kita pergi.”
“Di depan pintu.” Onyx kembali tertawa seraya memegang kedua bahu Hiver untuk masuk ke dalam kamar. Daun pintu setinggi 3 meter itu dibuka oleh pelayan yang berjaga di depannya.
“Setidaknya hargai ketulusan pria yang menampungmu. Biasanya Orion tidak melakukan seperti itu, sejak kapan dia mengantar tamunya pergi? Ketika kita kecil dia tetap pada tempatnya, diam dengan bukunya.”
Onyx melepaskan tangannya ketika berada di dalam kamar tidur Hiver “Aku akan mandi dan kembali ke sini.”
Hiver memiringkan kepala dan menatap malas Onyx “Bisakah kau membiarkan aku tidur dengan nyaman di kamarku sendiri, Prince Alistaire Onyx?
Onyx menggeleng dengan cebikan di bibirnya “Tidak. Selama kakakku Marjorie Hiver belum menikah, kita akan tidur bersama. Jadi sampai nanti, Marc.” Ucapnya disertai kekehan tawa lalu berbalik dengan langkah lebar.
Ruangan itu sangat luas di selimuti ketenangan yang membuat hati damai. Ketenangan yang membawa ingatan Hiver ke malam di danau Lac d’Aiguebelette, Prancis Selatan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan nyaman berada di samping seseorang tanpa banyak bicara.
Berbeda ketika bersama River, baik ia dan pria itu banyak bicara. Mereka bisa membincangkan sesuatu hingga berjam-jam lalu menertawainya. Tak salah jika Hiver mencintai River, hanya pria itu yang mengerti segala hal
tentangnya setelah pria-pria Mersianya. Sang raja, Onyx dan Cyrus.
Hiver mulai merasakan cinta kepada River ketika berusia 15 tahun, saat ia tidak bisa bertemu dengan temannya itu disebabkan pendidikan sebagai putri Mersia yang harus diselesaikannya selama 12 bulan tanpa libur.
Pada saat hari terakhir pendidikan, River datang dan membawakan sebuket bunga. River, ya teman sekaligus sahabatnya terbang dari Lyon ke Mersia hanya untuk memberikan ucapan selamat atas kelulusannya.
Hal kecil bagi River tapi sangat besar maknanya bagi Hiver. Dan setelah itu, River mulai disibukkan dengan bangku perkuliahan. Intensitas pertemuan mereka dari 3 kali setahun menjadi sekali dalam 3 tahun.
“Big sis.” Sapa suara riang dari ambang pintu
Hiver yang baru saja akan naik ke tempat tidur melihat adik bungsunya melambaikan tangan lalu setengah berlari mendekatinya.
“Cyrus.” Pekik Hiver melihat Cyrus melompat naik ke atas tempat tidur.
Kedua tangan dan kaki panjang Cyrus mengembang naik dan turun, merasakan kehalusan alas tempat tidur sang kakaknya.
“Aku merindukanmu, Princess Hiver.” Cyrus menghentikan perbuatannya lalu menatap sendu dan manja ke arah kakaknya.
Hiver mendengus ringan lalu menarik selimut menutupi tubuhnya “Aku juga merindukanmu, Cyrus.” Gumamnya lirih menjawab adiknya.
Cyrus mendekat di lengan Hiver, sebagai bungsu ia teramat manja kepada kakaknya pun terhadap Summer, sang ratu.
“Aku mendengar jika kau bertemu dengan Prince Philip, big sis. Kabar pernikahan kalian menjadi perbincangan orang di Palace. Beberapa koran lokal memajang foto kebersamaan kalian.”
Tadi manik hijau itu memejam, kini melirik ke arah manik hijau satunya yang merajuk manja di lengannya.
“Apa katanya?”
Cyrus tersenyum miring “Koran?”
Hiver mencebik dan alisnya naik ke atas “Ya, koran-koran itu.”
“Pasangan serasi, Hiver dan Philip. Kita sedang melihat raja dan ratu Eropa.” Jawab Cyrus dengan suara lantang, seperti pembaca acara parade yang memanggil orang untuk bergabung menyaksikan pertunjukan.
Hiver menangkup wajahnya sekaligus memijat pelipisnya “Besok aku akan bertemu dengan papa dan menjelaskan ini. Cyrus, aku tahu kau lebih berpengalaman dalam cinta dibandingkan kakakmu sendiri. Sungguh aku tidak ingin menikah dengan Philip. Caranya memandangku seperti ingin membuka semua pakaian yang melekat di tubuh, sorot matanya sangat tajam dan alisnya melengkung dan berkerut, dia memikirkan hal yang tidak-tidak. Sementara bibirnya mengucapkan sanjungan dan rasa cinta yang tinggi kepadaku.”
Ruangan yang tadinya tenang menjadi semarak akan gelegak tawa Cyrus “Semua laki-laki memandang wanita seperti itu, Princess Hiver. Terlebih putri Mersia memiliki tubuh yang indah, pria mana yang tidak tertarik kepadamu. Menurutku sebagai pria, itu sangat normal. Yang tidak normal itu jika berada di dekatmu dan tidak melakukan apapun.”
“Apapun seperti apa?” Hiver bertanya dengan polosnya.
Adik bungsunya kembali tertawa “Lihat aku, big sis. Aku saja sebagai adik kandungmu tidak bisa diam tidak memelukmu. Karena aku menyayangimu, kau seperti mama. Aku sangat senang bermanja seperti ini.”
Hiver memalingkan pandangan ke atas, langit-langit kamar yang berukir emas.
“Jadi ketika berdekatan harus bersentuhan? Bagaimana jika tanpa sentuhan pun aku sudah merasakan kenyamanan.” Gumam Hiver pelan mengingat sosok bersurai emas pucat.
“Tidak ada kejadian seperti itu, Prince Hiver. Semua pria memiliki gairah, dan mereka melampiaskannya dalam sentuhan berharap akan ada kesempatan untuk lebih daripada itu.”
Hiver terdiam dengan helaan napas berkali-kali keluar dari inderanya.
“Ponselmu berkedip, big sis.” River mengulurkan benda canggih miliknya yang belum sempat ia matikan.
Hiv, tidur? Please, aku butuh dirimu. Bisakah aku menelepon?
###
Hiver
River
Orion
Philip
Cyrus
Onyx
alo kesayangan^^,
aku menepati janjiku untuk menambah chapter Mersia..
semoga kalian menyukainya..
Jogja mulai gerimis dan aku sangat menyukai musim hujan..
love,
D
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Hesti Pramuni
thor...
prince Philip apkah spt Jason...?
cakep, kaya, calon raja, dg cinta panas membara yg sangat terobsesi pd satu wanita?
2021-05-06
0
💗 Tita 💗
nggak jadi ngantuk liat yg seger2
lanjut baca dah 😆
2021-01-25
2
💠Rhaenyra 🈂️s
Bening bening yahhh
Riverrrrrrr
2020-11-03
0