Tring ...
Pintu lift telah terbuka tepat di lantai 5. Lalu Livina segera mendekati salah seorang karyawan untuk menanyakan di mana meja kerjanya.
"Permisi mbak, perkenalkan nama saya Livina. Saya baru mulai bekerja hari ini. Bila berkenan, boleh saya tahu di mana meja kerja saya?"
"Oh kamu karyawan baru itu toh. Perkenalkan nama saya Rini. Meja kerjamu ada tepat di sampingku. Yuk ...!" ajak Rini.
"Nah, ini meja kerjamu! Untuk tugas apa saja yang harus kamu kerjakan nanti akan saya beritahukan. Silahkan duduk!" Rini mempersilahkan Livina untuk duduk di kursinya.
Livina mengangguk lalu segera duduk .
"Oh ya Livina kalau butuh bantuan apa-apa kamu bisa langsung tanyakan padaku. Untuk tugas pertamamu, kamu hanya harus mengetik proposal ini. Ingat, harus rapi dan teliti. Jangan sampai ada kesalahan walau 1 huruf pun sebab bos kita itu orangnya sangat teliti dan tidak suka ada kesalahan sekecil apapun." Papar Rini yang diangguki Livina.
"Baik mbak."
"Nggak usah panggil mbak, panggil aku Rini aja. Mulai sekarang kita rekan kerja,oke ..."
"Baik Rin. Makasih ya!" jawab Livina sambil tersenyum.
Lalu Livina mulai bekerja, menyalakan komputernya dan mengetik kata tiap kata dengan teliti. Ia berharap tak melakukan kesalahan sedikitpun sebab besar harapannya dapat terus bekerja di perusahaan sebesar itu. Tujuannya kini cuma satu, yaitu ingin membahagiakan kedua orang tuanya dan mengumpulkan uang untuk biaya operasi gagal ginjal sang adik, Gio.
Ya, Gio memang memiliki penyakit gagal ginjal. Livina menganggap itu kesalahannya karena itu ia harus menebusnya dengan mencari uang sebanyak-banyaknya untuk biaya pengobatan sang adik tersayang. Semua itu bermula 11 tahun yang lalu, saat Livina masih berusia 10 tahun. Ia mengajak adiknya yang baru berusia 4 tahun bermain bola di depan rumahnya. Karena haus, Livina masuk ke dalam rumah untuk minum dan meninggalkan Gio bermain bola sendirian . Tapi tiba-tiba terdengar suara tabrakan yang begitu kencang, Livina pun segera berlari ke luar untuk melihat suara apa itu dan betapa terkejutnya Livina saat melihat adiknya sudah terbaring bersimbah darah di tengah jalan. Ia pun berteriak memanggil kedua orang tuanya. Orang tuanya pun segera berlari mendekati Livina yang berteriak histeris. Betapa terkejutnya mereka melihat kondisi Gio yang sudah terbaring lemah bersimbah darah. Dengan dibantu warga sekitar, kedua orang tuanya membawa Gio segera ke rumah sakit. Karena lukanya yang parah, Gio harus segera menjalani prosedur operasi.
Setelah Gio masuk ke ruang operasi, Bu Ira dan Pak Ramlan mendekati Livina dan menanyakan mengapa Gio bisa mengalami kecelakaan itu. Lalu Livina menceritakan semuanya yang membuat Bu Ira dan Pak Ramlan murka.
"Dasar anak pembawa sial. Puas kau sekarang sudah membuat anakku satu-satunya celaka. Awas saja bila sampai terjadi sesuatu pada anakku, aku takkan memaafkanmu," kecam bu Ira dengan emosi yang meluap-luap. Livina hanya bisa tertunduk pilu. Ia pun tak menginginkan hal itu terjadi. Bagaimana pun, ia sangat menyayangi adiknya dan tak pernah berharap terjadi suatu hal buruk padanya.
Tak terasa, sudah hampir 2 jam berlalu. Mereka melihat dokter sudah keluar dari ruang operasi.
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya pak Ramlan.
"Sebaiknya kita bicara di ruangan saya saja pak, bu. Ada yang harus saya jelaskan," ujar dokter tersebut.
Lalu Bu Ira dan Pak Ramlan mengikuti dokter itu yang diketahui bernama Alan menuju ruangannya.
"Silahkan duduk pak, bu. Begini pak, bu, sebenarnya operasinya berjalan lancar. Saya juga sudah berhasil menghentikan pendarahannya. Tapi ... "
"Tapi apa dok? Anak saya tidak apa-apa kan dok? Gio masih bisa disembuhkan kan dok? "Tanya bu Ira panik.
"Begini bu, dengan sangat menyesal, akibat kecelakaan itu tulang kaki kanan Gio remuk sehingga mengharuskan saya mengambil tindakan amputasi."
"Apa??? Apa dok? Amputasi???" Seru Bu Ira. Dadanya telah naik turun karena shock.
"Iya bu. Bila tidak diambil tindakan amputasi maka dikhawatirkan kaki anak ibu akan mengalami pembusukkan. Dan kabar terburuknya sekarang adalah, Gio dalam keadaan koma."
"Ko-koma? Itu tidak mungkin. Gio ... Gio anakku." teriak bu Ira histeris. Air matanya bercucuran tak henti-henti. Menunjukkan kepiluan di hati bu Ira mengetahui kondisi anaknya yang bukan hanya harus kehilangan satu kaki, tapi juga mengalami koma, tak sadarkan diri. Bu Ira memukul-mukul dadanya karena terlalu sesak. Karena tak sanggup lagi menopang rasa sesak di dadanya, bu Ira pun pingsan. Pak Ramlan segera menangkap tubuh bu Ira dan memeluknya erat.
"Bu, sabar bu, yang kuat bu, anak kita pasti selamat. Anak kita pasti bangun. Aku mohon bu, sadarlah," ucap Pak Ramlan yang ikut menangis mengetahui fakta kondisi anak laki-laki kesayangannya itu.
"Semua itu karena anak sialan itu," batin pak Ramlan.
Setelah keluar dari ruang dokter Alan, pak Ramlan segera menemui Livina yang masih terisak di lantai di depan ruang operasi.
"Semua ini kesalahanmu. Menyesal aku memungut mu dulu. Harusnya aku biarkan saja kau di pinggir jalan. Inikah balasanmu pada kami hei anak sialan. Setelah aku memungut mu, membesarkanmu, memberimu makan, bahkan menyekolahkanmu, seperti inikah balasanmu? Lihat kini istriku pingsan dan Gio, anakku satu-satunya yang kutunggu-tunggu kehadirannya bertahun-tahun harus kehilangan kaki kanannya dan lebih buruknya ia sekarang koma di ruangan itu. Aargghhhhhh ...." teriak pak Ramlan.
"Andai saja membunuh tak dipenjara, sudah ku bunuh dirimu untuk menebus kesalahanmu. Sekarang pergi kau dari sini. Aku tak sudi melihatmu." Usir Ramlan murka.
Livina pun berlalu dari hadapan ayahnya sambil menangis tersedu. Ia pun tak menginginkan hal ini terjadi. Bila bisa, biar dirinya saja yang mengalami kecelakaan itu, jangan adiknya.
"Ya Allah tolong Gio ya Allah. Tolong sembuhkan Gio Ya Allah," batin Livina menjerit pilu.
Tak terasa, sudah hampir 2 bulan Gio koma. Semua harta benda Pak Ramlan termasuk toko kecil-kecilan nya terpaksa ia jual untuk biaya pengobatan Gio.
"Gio, bangun, nak. Bangunlah sayang. Ibu dan bapak merindukanmu. Bangun ya sayang," ucap bu Ira sambil mengecupi tangan Gio.
Tit ... tit ... tit ...
Tiba-tiba tubuh Gio kejang-kejang.
"Dokter, dokter, tolong anak saya dok, tolong ..." teriak Bu Ira panik.
Dokter dan perawat pun segera berlarian untuk segera memeriksa kondisi Gio.
"Maaf bu, sepertinya Gio harus masuk UGD lagi untuk memeriksa kondisi lebih lanjut."
Lalu Gio segera dibawa dokter dan para perawat ke UGD.
1 jam kemudian
"Maaf bu, pak, ada yang harus saya beritahukan bahwa Gio sudah sadar." Ujar dokter tersebut memberitahukan.
"Benar dok, Gio sudah sadar?" tanya bu Ira dan pak Ramlan sambil mengembangkan senyum mereka karena bahagia.
"Tapi dok, kenapa Anda minta maaf? Apa ada hal buruk terjadi pada anak saya?" tanya pak Ramlan penasaran.
"Benar pak, sepertinya telah terjadi komplikasi yang mengakibatkan Gio mengalami gagal ginjal karena efek obat-obatan."
Brrukkk ...
Bu Ira terkulai di lantai. Air matanya mengalir deras membasahi wajahnya. Bagai tersambar petir di siang bolong, bu Ira begitu shock atas apa yang menimpa anak satu-satunya itu. Tak cukupkah ia sudah kehilangan satu kakinya, kenapa harus menderita penyakit gagal ginjal juga. Uang mereka sudah sangat menipis. Suaminya juga sudah tak memiliki pekerjaan karena sumber penghasil satu-satunya telah dijual untuk biaya pengobatan Gio dan kebutuhan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa mengobati Gio? Apa yang harus mereka lakukan?
"Aarghhhh ... semua karena anak sialan itu, anak pungut pembawa sial." Batin bu Ira.
Kini rasa benci bu Ira makin menjadi-jadi, "aku takkan pernah memaafkanmu anak sialan."
Sepulang dari rumah sakit, sikap bu Ira dan Pak Ramlan jadi dingin pada Livina. Mereka tak pernah lagi memedulikan Livina. Bahkan mereka memaksa Livina agar bekerja di usianya yang dini untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka juga memaksa Livina untuk berhenti sekolah, tapi Livina tak mau. Ia berjanji akan bekerja, tapi ia tetap ingin sekolah. Untunglah Livina anak yang cukup cerdas di sekolah jadi ia bisa mendapatkan beasiswa untuk membayar uang sekolahnya.
Setiap hari sepulang sekolah Livina mulai bekerja. Ia mengerjakan apa saja yang dapat menghasilkan uang, tapi ia tak mau mengemis. Ia melakukan apapun demi mendapatkan uang seperti menjadi tukang koran, ojek payung, bahkan pemulung.
Semua uang hasil ia bekerja ia serahkan pada ibunya. Ia lakukan semua dengan harapan orang tuanya dapat memaafkannya. Namun, ternyata orang tuanya tetap saja bersikap dingin. Mereka tak pernah mempedulikan Livina walau saat Livina sakit sekalipun. Hanya Gio yang benar-benar menyayangi Livina. Gio tak pernah marah apalagi membenci Livina. Bagi Gio, Livina tetaplah kakaknya. Kakak tersayangnya.
Tak terasa 11 tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Walau waktu telah berputar cukup lama, tapi sepertinya rasa benci bu Ira dan Pak Ramlan tak pernah sirna. Namun, Livina tetap menghormati mereka. Livina tak pernah benci apalagi sakit hati. Livina selalu berusaha menjadi anak yang baik demi membahagiakan kedua orang tuanya.
...<
...<
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Hilmiya Kasinji
😭😭
2024-06-05
0
Pisces97
tidak ada anak asuh itu pembawa sial tapi anak membawa berkah nyatanya sebelum sulit memiliki keturunan diberi kepercayaan untuk memiliki anak ...
tak ada anak pembawa sial .
itu adalah ujian bagi umat²nya untuk selalu bersyukur apa dimiliki
2024-06-03
1
Rizhika Rizhika mugnia mugnia
kayak ny belum pada nemu ini verita..sehingga tang komen sedikit
2022-03-11
0