Pagi yang riuh di warung mbak Sri. Ibu-ibu melakukan rutinitas pagi, belanja untuk kebutuhan sehari-hari. Tangan mereka sibuk memilah dan memilih dagangan, sementara mulut ikut sibuk membahas segala hal. Mulai dari sayuran yang bolong-bolong dimakan ulat, hingga harga bawang yang melonjak. Mulai dari gosip tentang tetangga, hingga berita panas para selebrita. Entah itu fakta atau hanya sekedar hoax, yang terpenting ada hal seru yang bisa dibicarakan.
"Eh, kayaknya si Maira udah ada yang mau melamar, ya?" Bu Lupi melempar bola panas.
"Weh, mosok to, Bu? Belum ada setahun, lho, mas Galang meninggal?"
"Dapat orang mana, Bu?"
"Kok, cepet banget, ya?"
Berbagai tanggapan dilontarkan, menambah panas obrolan. Bu Lupi si pembuka percakapan semakin semangat. Perempuan berpenampilan meriah dengan make up tebal, dress warna merah menyala, serta perhiasan emas berkilat di mana-mana, itu memajukan mukanya di antara kerumunan. Yang lain ikut-ikutan mendekat. Memasang kuping lebar-lebar, takut terlewat informasi meski belum tentu akurat.
"Itu, lhoh, mas-mas tentara yang sering datang ke rumah pak Kusno," kata Bu Lupi, setengah berbisik. "Apa lagi maksudnya, kalau bukan mau memperistri Maira?"
"Woalaaah..., Mas Bayu itu, to?" seru mbak Tami, tetangga belakang rumah pak Kusno. "Lha, kalau dia emang temenan lama sama keluarga almarhum mas Galang, Bu." lanjutnya. "Bisa jadi kedatangannya itu cuma untuk menghibur Oza saja. Soalnya saya lihat kalau datang, lebih sering main sama Oza dari pada ngobrol sama mbak Maira."
"Hish, tahu apa to, kamu!" hardik Bu Lupi yang usianya lebih senior dari pada mbak Tami. "Awalnya cuma mau menghibur. Lama-lama, terbiasa bertemu, bisa jadi tumbuhlah cinta. Witing tresno kan jalaran seko kulino. Iya to.... iya too...?"
Mbak Tami yang dihardik jadi ciut nyali. Berdebat dengan Bu Lupi bukan pilihan tepat. Ujung-ujungnya pasti hanya akan sakit hati dibuatnya.
"Nah, itu ada Bu Kusno. Coba kita tanyakan langsung saja!" Bu Dahlan menengahi. Dagu perempuan itu terangkat, menunjuk pada seorang perempuan yang berjalan mendekati warung.
"Lebih baik bertanya pada sumbernya langsung. Jangan sampai kita termakan berita hoax dan malah ikut menyebarkan!" Mata bu Dahlan mengerling pada Bu Lupi. "Iya kan, Bu Lupi?"
Bu Lupi membuang muka. Bibirnya manyun ke depan. Bola mata mengerling tajam ke arah lainnya.
"Pagi, ibu-ibu," sapa Bu Kusno, ibu Maira. Perempuan paruh baya itu menghampiri kerumunan ibu-ibu di warung mbak Sri.
"Pagi, Bu...!" Beberapa dari mereka serentak menjawab.
"Mau masak apa, Bu?" sapa Bu Dahlan berbasa-basi.
"Sayur sop saja, Bu. Bisa buat Oza sekalian," jawab Bu Kusno sambil memilih beberapa barang yang hendak dibeli. Beberapa jenis sayuran, tahu, tempe dan ayam dia ambil, lalu diserahkan pada mbak Sri yang cekatan menghitung.
"Eh, em...anu, Bu...maaf...." Terbata-bata Bu Dahlan mencoba membuka pertanyaan.
"Iya, ada apa, Bu?" Bu Kusno menghentikan aktivitasnya memilih sayuran. Perempuan itu kini berpaling pada Bu Dahlan yang mendadak salah tingkah.
"Gini, lho, buuu.... Ibu-ibu itu pengen tahu, apa mas Bayu itu memang beneran mau melamar Maira?" serobot Bu Lupi cepat. "Kok, sering banget datang ke rumah Bu Kusno."
Bu Kusno terperangah. Bu Dahlan mendelik kesal pada Bu Lupi. Bu Lupi sendiri, tampak menyeringai.
Seperti tak mempedulikan pelototan mata Bu Dahlan, Bu Lupi melanjutkan bicaranya. "Kalau laki-laki sering bertamu ke rumah perempuan itu kan, ya harus ada kejelasan. Apalagi ini yang dikunjungi perempuan matang. Janda pula." Perempuan itu pura-pura menutup mulut dengan spontan. "Eh, maaf."
"Oh ... Ee ... Maaf, saya sendiri tidak tahu, Bu," jawab Bu Kusno pelan dan terbata. Lalu perempuan itu buru-buru membayar belanjaan dan berlalu pulang.
Bu Dahlan masih melotot pada Bu Lupi yang tersenyum penuh kemenangan. Baru saja dia mau menyemprot Bu Lupi yang sudah lancang dan tak sopan, tapi perempuan bergincu tebal itu buru-buru berlalu.
"Ibu-ibu, saya duluan yaaa...!" pamitnya sambil meraih plastik belanjaan. "Catat dulu saja ya, mbak Sriiiii...!" tambahnya pada si pemilik warung yang hanya bisa mengelus dada.
***
Sampai di rumah Bu Kusno menaruh begitu saja plastik belanjaannya di meja dapur. Perempuan itu bergegas ke garasi samping rumah, yang sekarang beralih fungsi sebagai tempat kerja Maira. Di sana dijumpai Maira yang sedang duduk di sofa. Anak sulungnya itu sedang asyik corat-coret di sketchbook.
"Sibuk, Mai?" sapa Bu Kusno, sambil duduk di sebelah anaknya. Diliriknya lembaran sketchbook Maira yang sudah berisi gambar desain baju.
Maira tersenyum menatap ibunya. "Ndak juga, Bu. Ini baru coba-coba bikin gambar desain baju untuk lomba nanti."
"Kamu jadi ikut lomba?"
"Insyaallah jadi, Bu. Mohon doanya, ya!"
Bu Kusno mengangguk. Diperhatikannya Maira yang kembali asyik menarik garis, membuat titik, mengarsir dengan pensil.
"Mai," sapa Bu Kusno lagi, setelah menghela nafas.
"Hem," Mata dan tangan Maira tak lepas dari pekerjaan yang sedang dia lakukan. "Ada apa, Bu?"
"Anu... sebenarnya...sebenarnya mas Bayu itu maksudnya apa, to. Kok, sering banget dia kesini?"
Tangan Maira sontak berhenti menggoreskan pensil. Wajahnya masih menunduk. Tatapan masih lekat pada sketchbook. Untuk sesaat mereka berdua terdiam tanpa kata dan gerakan.
Lalu, pelan-pelan tangan Maira kembali bergerak. Namun goresan pensilnya tak setegas sebelumnya.
"Maksud ibu, apa?" tanyanya lirih, tanpa berpaling pada ibunya.
Bu Kusno menjadi kikuk. Diperbaiki duduk yang mulai terasa tak nyaman. Jari-jarinya mempermainkan ujung baju dengan resah. "Eh, maaf...maafin ibu ya, Mai."
Maira tak menjawab, tak juga berpaling pada ibunya.
"Soalnya...tadi di warung... ibu-ibu itu pada nanya tentang mas Bayu."
Maira menghela nafas. "Buuu..., Om Bayu itu teman dekatnya mas Galang. Dia juga sangat sayang pada Oza. Bahkan dari sebelum mas Galang pergi pun, om Bayu sudah sangat dekat dengan Oza. Jadi, kalau dia kemari, tentu saja itu untuk Oza."
Bu Kusno mengangguk-angguk. "Tapiii...."
"Apanya yang tapi, Bu?" potong Maira cepat. "Sudahlah, ibu ndak usah mikir macem-macem!"
Maira kembali menekuri pekerjaannya. Tak dipedulikan Bu kusno yang beranjak dari duduk dan berlalu keluar dari ruang kerjanya. Tapi ketika ibunya sudah tak terlihat, Maira menghentikan pekerjaan. Disandarkan punggung ke sandaran sofa. Dihembuskannya nafas panjang. Matanya terpejam, entah memikirkan apa. Hingga sesaat kemudian sebaris bening air mengalir di pipinya.
"Bunda...bundaaa...!"
panggilan nyaring Oza membuat Maira tersentak. Perempuan itu buru-buru menghapus air mata. Ditegakkan punggungnya dari sandaran kursi. Dilihatnya dengan pandangan mata yang sedikit kabur oleh sisa tangis, Oza berlari-lari kecil masuk ke ruang kerjanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
chocochino
netizen julid selalu mengintai😤😔
2022-07-11
0
Rini Lawati
mulut tetangga
2021-06-28
0
el-es
mulut tetangga benar benar pedas...cabe rawit aja kalah pedadnya
2021-04-04
0