Tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai, hanya akan membuat kita kehilangan diri dan lupa bahwa kita juga sangat berarti.
Maira sudah keluar dari rumah dinas di komplek. Tepat tiga Minggu setelah meninggalnya Galang, dia pindahan ke rumah bapaknya. Namun begitu, setiap hari Maira masih harus ke sekolah TK dan PAUD yang berada di lingkungan komplek militer itu. Dia harus tetap menjalankan tugasnya sebagai guru TK, dan Oza juga masih sekolah di PAUD nya.
Setelah 100 hari meninggalnya Galang, pikiran Maira jadi lebih terang. Kesedihan tak lagi menggerogoti raga dan jiwa. Perhatiannya kini lebih fokus pada Oza dan masa depan mereka.
"Setelah Oza lulus PAUD, saya akan mengajukan pengunduran diri, Bu," kata Maira pagi itu, di sela istirahat sekolah.
"Lhoh, kenapa, Bu Maira?" tanya Bu Diah heran.
"Rencananya nanti Oza saya sekolahkan TK yang dekat rumah eyangnya saja. Kasihan kalau tetap di sini. Terlalu jauh jaraknya."
"Tapi, kan Bu Maira bisa tetap ngajar di sini saja. Oza biar sama eyangnya."
Maira menghela nafas. Sesungguhnya, keputusan untuk mengundurkan diri bukan semata karena Oza. Maira hanya ingin benar-benar jauh dari tempat-tempat dan suasana yang mengingatkannya pada Galang. TK dan PAUD milik Yayasan yang berada di lingkungan Lanud itu suasananya selalu menjadi pengingat pada almarhum suaminya. Orang-orang berseragam loreng, sapaan khas militer, suara derum pesawat, suara tembakan, semua seperti bunyi alarm. Selalu sanggup membuat emosinya mendadak tersentak.
Sebulan kemudian Oza lulus PAUD. Dan Maira benar-benar mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru honor di TK. Mereka berdua sekarang benar-benar lepas dari lingkungan militer.
"Mai, kalau kamu mau cari kerja yo, ndak apa-apa. Biar Oza kami jaga," kata pak Kusno, suatu sore.
Maira yang sedang sibuk menyiram aglonema-aglonema Bu Kusno, menoleh pada bapaknya. Lalu perempuan itu menaruh alat penyiram tanaman berwarna merah di bibir teras. Sejurus kemudian dia mendekati bapaknya yang duduk di kursi teras.
"Sepertinya aku ndak akan kerja, Pak. Masalah biaya hidup, insyaallah untuk saat ini masih mencukupi," kata Maira pada bapaknya. Perempuan itu ikut duduk di kursi sebelah bapaknya.
"Bukan...bukan masalah biaya hidup!" potong pak Kusno cepat. "Masalah itu jangan kamu pikirkan. Gaji bapak sangat mencukupi untuk kita." Lalu lelaki berusia hampir 60 tahun itu menghela nafas. "Bapak cuma khawatir kamu jenuh kalau hanya tinggal di rumah saja," lanjutnya lirih.
Maira tersenyum. Digenggamnya tangan pak Kusno yang berkulit keriput. "Bapak Ndak usah khawatir. Insyaallah aku sudah punya rencana tentang apa yang akan kulakukan ke depan."
Dan rencana itu terwujud sebulan kemudian. Maira mengambil kursus menjahit pada salah satu lembaga pelatihan. Dia yang tekun dan cerdas, mampu menguasai materi dan menerapkannya dengan sangat gemilang. Tiga bulan kemudian, Maira mulai membuka usaha menjahit pakaian.
Dunia menjahit sebenarnya bukan hal baru baginya. Sudah sejak lama dia suka membuat pernak pernik rumah menggunakan mesin jahit hadiah ulang tahun dari Galang. Taplak meja, sprei, gorden dan lain-lain, dia bikin sendiri. Bahkan beberapa teman kadang memesan. Tapi menjahit secara profesional, baru dia mulai sekarang.
"Jahitan mbak Maira itu bagus, halus dan rapi, lho."
"Pintar bikin model baju juga."
"Menjahit di mbak Maira bisa sekalian konsultasi model baju yang cocok."
Begitu komentar-komentar dari pelanggan yang puas dengan pekerjaan Maira. Perempuan itu menjadi semakin terkenal sebagai penjahit yang berkualitas.
Namun pada air setenang apa pun akan selalu ada riak yang mengganggu. Komentar-komentar positif selalu bersanding dengan komentar negatif.
"Ongkos njahit di mbak Maira mahal. Penjahit kampung saja, kok, pasang harga tinggi!"
"Kalau mau buru-buru jadi, jangan njahit di mbak Maira. Luamaaa...jadinya!"
"Bagus, sih, hasilnya. Tapi...."
Maira bergeming dengan segala komentar miring. Baginya yang terpenting fokus berkarya dan menghasilkan uang. Meski untuk makan sehari-hari bapak ibu masih sanggup memenuhi, tapi kebutuhan pribadi, juga tabungan untuk pendidikan Oza, diusahakan sendiri oleh Maira. Bahkan sesekali dia memaksa Bu Kusno menerima uang darinya, untuk membantu kebutuhan sehari-hari.
Usaha jahit Maira semakin berkembang. Pelanggannya kebanyakan ibu-ibu perwira di lingkungan TNI. Hal ini tak lepas dari andil Bayu yang hingga saat ini masih sering mengunjungi Maira dan Oza. Bayu mempromosikan usaha Maira di kalangan perwira dan pejabat TNI AU. Hampir semua dari mereka merasa puas dengan hasil kerja Maira serta menjadi pelanggannya.
"Terima kasih ya, om Bayu," kata Maira. Tangannya sibuk melipat baju seragam bu Ridwan, istri salah satu perwira di kesatuan.
"Terima kasih kenapa?" tanya Bayu, sambil melipat kertas origami. Oza duduk di depannya, memperhatikan cara Bayu membuat pesawat terbang.
"Karena om Bayu, pelangganku jadi nambah."
Bayu memberikan pesawat kertas pada Oza yang terpekik kegirangan.
"Lhoh, nambahnya pelanggan jeng Mai itu bukan karena aku. Tapi karena hasil jahitan jeng Mai bagus." elak Bayu.
Percakapan mereka terputus sejenak oleh keriangan Oza. Anak itu berlari keluar sambil membawa pesawat kertasnya.
"Ya, tapi, kan, kalau om Bayu ndak mempromosikan aku, ndak mungkin ibu-ibu itu njahitin kesini," kata Maira sambil memasukkan lipatan baju ke dalam plastik. "O iya, memangnya Bu Ridwan kemana? Kok, om Bayu yang disuruh ambil bajunya?"
"Beliau sedang ke Madiun. Pulangnya besok. Padahal baju ini mau dipakai lusa," jawab Bayu sambil berdiri. Laki-laki itu sekarang duduk di kursi, di depan Maira.
"Silahkan diminum kopinya, om!"
Satu tegukan kopi hitam membuat jernih pikiran. Seperti diingatkan pada satu hal, Bayu mendadak menegakkan bahunya. Matanya berbinar menatap Maira.
"O iya, jeng...kemarin itu Bu Tio ngobrol denganku."
Maira mengerutkan kening. "Bu Tio istri komandan kesatuan?"
Bayu mengangguk. "Beliau kan, punya teman yang owner brand baju etnik terkenal di Jogja. Nah, si owner ini mau ngadain semacam lomba desain baju etnik gitu."
Maira memajukan bahu. Pandangannya lekat pada Bayu. Kepalanya sesekali mengangguk.
"Kata Bu Tio, ada baiknya jeng Mai coba ikut lomba itu. Kan, jeng Mai sudah pinter mendesain baju sendiri?"
"Mosok aku bisa, om? Aku kan, cuma penjahit biasa?"
"Hmm...ini, nih, yang bikin nggak berkembang. Ragu mencoba, takut gagal," kata Bayu sambil bersungut. "Sudah, pokoknya kalau tertarik, jeng Mai hubungi Bu Tio saja. Beliau kemarin bilang akan bantu semampunya."
Maira mempermainkan ujung jilbabnya. Bibir bawah digigitnya. Kening berkerut, pertanda berpikir keras. Atau mungkin juga sedang mengumpulkan keberanian.
"Ya sudah, jeng, aku mau pulang dulu saja, ya," kata Bayu kemudian. Tangannya meraih bungkusan plastik isi baju Bu Ridwan yang berada di atas meja. "Mana tadi si Oza?" tanyanya sambil berdiri. Kepalanya melongok ke halaman.
"Di luar, om," Maira ikut berdiri mengiringi langkah Bayu keluar rumah.
Di rumah sebelah, dari balik jendela, sepasang mata bermaskara tebal mengamati apa yang terjadi di halaman rumah pak Kusno.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
IdaDaliaMutiara
tetangga julid
2021-09-09
0
Naurel_lia
awas tuh mata copot,,,,👀
2021-03-25
0
Amay Zenita 1705
ishhhh sebel aku yen ono tanggane sok tw, kepoooo, tukang gosip koyo nggono, pgn tak pites lambene ro capitan kepiting 😤😤😆😆😆😆
2021-02-12
0