Mata Maira terbuka perlahan. Kelopaknya mengerjap-ngerjap, mengatasi silaunya cahaya. Bau minyak angin, tajam menyeruak ke dalam hidungnya. Dia terbatuk-batuk kecil.
"Alhamdulillaaah...., Sudah sadar!" seru seorang perempuan.
"Bundanya Oza, ya ampuuun...kenapa tadi. Kok, bisa pingsan di sini?" Suara lain terdengar.
Mata Maira sudah sepenuhnya terbuka. Pandangannya memindai sekeliling. Beberapa ibu-ibu tetangga tampak mengelilinginya yang tergolek lemah di ranjang.
"Ohh...."
Maira berusaha bangkit. Dua orang ibu-ibu yang duduk di dekat kepalanya membantu menegakkan badannya.
""Ini minum dulu, Bu!"
Bu Fajar tetangga sebelah rumah mengangsurkan segelas air putih. Maira meminumnya beberapa teguk.
"Ini tadi gimana ceritanya, kok, tiba-tiba pingsan di sini?"
"Kenapa nggak kabarin kita kalau mau balik kesini to, buuu..."
"Untung ada om Bayu. Kalau enggak kan, nggak ketahuan mamanya Oza pingsan di sini."
Bersahut-sahutan mereka mencoba menanyakan. Sambil tangan-tangannya memijit kaki, tangan dan bahu Maira.
Maira menghela nafas, tak menjawab. Tatapannya kini berarah ke pintu. Di sana ada Bayu yang berdiri menatapnya prihatin. Maira menganggukkan kepala sebagai tanda terima kasih.
"Gimana jeng Mai. Sudah baikan?" tanya Bayu dengan nada khawatir.
Sekali lagi Maira mengangguk. "Sudah, om, terimakasih." Lalu matanya beralih pada ibu-ibu yang duduk di sekelilingnya. "Maaf, ibu-ibu, bukan maksud saya merepotkan...."
"Ish laaah..., jangan gitu, Bu. Justru kami yang merasa bersalah, nggak tahu kalau ibu ke sini," jawab Bu Fajar. "Sudah makan belum? Saya ambilkan makanan dulu ya."
Maira buru-buru menahan tangan Bu Fajar yang hendak beranjak. "Tidak usah, Bu. Ini saya mau pulang ke eyangnya Oza saja dulu."
"Lhoh, jangan dong! Mama Oza belum kuat ini. Takut nanti pusing lagi di jalan," cegah Bu Farid.
Ibu-ibu yang lain mengiyakan.
"Emm...anu...biar saya antar saja, Bu," Bayu ikut nimbrung. "Motornya Bu Maira biar ditinggal di sini saja dulu."
"Woo...iya...iya, betul. Biar diantar om Bayu saja ya, Bu. Nanti pakai mobil saya saja," sahut Bu Fajar.
Tampak Maira ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Maira berjalan dipapah Bu Fajar dan Bu Farid. Ibu-ibu yang lain mengiringinya dari belakang. Sedangkan Bayu sudah duluan menyiapkan mobil Bu fajar.
Beberapa waktu kemudian Maira sudah duduk di dalam mobil. Tangan Bu Fajar terulur memegang bahu Maira dari jendela.
"Lain kali kalau mau bebenah kesini kabari kami, ya. Biar kami bantu," pesan Bu Fajar.
Maira mengangguk sambil tersenyum. "Terimakasih atas bantuannya, ibu-ibu."
"Sama-sama, yang penting harus tetap sabar dan tabah ya, Bu Galang."
Deg!
Wajah Maira mendadak menegang. Di komplek mereka memang sering memanggil dengan nama suami masing-masing. Jarang ada yang tahu nama aslinya, karena jarang digunakan. Tapi saat ini, masih bolehkah Maira dipanggil dengan sebutan 'bu Galang'?
"Eh, maaf...mamanya Oza...." Bu Fajar menyadari kesalahannya. Ditelangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Tidak apa-apa, Bu." jawab Maira pelan. Dia ikut menelangkupkan tangan di depan dada. "Sekali lagi, terima kasih untuk bantuannya. Saya tak berangkat dulu ya, ibu-ibu."
Lambaian tangan ibu-ibu komplek mengiringi kepergian Maira dan Bayu. Sebelum kemudian mereka berlanjut ke agenda obrolan yang tak kalah penting dengan pembahasan mengenai kenaikan harga sembako. Pembahasan mengenai kehidupan orang di sekitar.
Tak banyak yang diobrolkan dalam perjalanan mengantar Maira pulang ke rumah orang tuanya. Maira lebih sering diam. Tubuhnya yang terlihat lebih kurus dari beberapa minggu lalu, disandarkan di jok mobil. Meski tak tidur, tapi matanya lebih sering terpejam.
Sesekali Bayu mencuri pandang pada perempuan di sampingnya. Dia sendiri tak berani mengusik diamnya Maira. Hanya helaan nafas setiap kali dia melihat wajah cantik yang terlihat letih itu.
"Oza sehat kan, jeng Mai?" tanya Bayu, ketika melihat Maira membuka mata. Mereka sedang berhenti di perempatan lampu merah.
Maira menoleh pada Bayu, "Alhamdulillah sehat, om," jawabnya pelan.
Lalu mereka berdua kembali diam. Suasana kembali sepi. Hanya suara derum mobil yang kemudian terdengar, saat melaju melewati lampu lalu lintas yang sudah berubah hijau.
Tak berapa lama mereka telah sampai di rumah pak Kusno. Rumah berhalaman luas, dengan pohon mangga dan rambutan mengisi sudut-sudutnya, tampak sejuk dan nyaman. Tanaman aglonema berbagai jenis banyak berjajar di depan teras rumah.
"Kok, sepi, jeng?" tanya Bayu, melihat suasana rumah yang lengang.
"Mungkin Oza sedang bobok siang sama eyang putrinya," jawab Maira, sambil membenahi jilbabnya. "Kalau bapak, mungkin belum pulang kerja."
Bayu bergegas turun dari mobil dan bermaksud membukakan pintu untuk Maira. Tapi perempuan itu sudah terlebih dahulu membukanya sendiri. Perlahan Maira turun dari mobil. Bayu mencoba membantu memegang pergelangan tangan Maira. Tapi dengan pelan ditepiskan oleh perempuan itu.
Bayu menghela nafas. Lalu diikutinya Maira berjalan hingga ke teras rumah.
Bayu memang sangat dekat dengan keluarga almarhum Galang. Dengan almarhum atau pun Maira sudah seperti layaknya saudara. Apalagi dengan Oza. Anak itu sangat suka bermain dengan Bayu. Tak ada canggung ketika mereka bercanda. Bahkan Bayu sendiri sampai mempunyai panggilan khusus untuk Maira, 'Jeng Mai'. Dan Galang juga tak keberatan waktu itu.
Tapi kali ini situasinya berbeda. Tak ada lagi Galang di sisi Maira. Kecanggungan jelas terlihat ketika mereka dekat.
"Jeng Mai, kalau butuh apa-apa, hubungi aku saja, ya," kata Bayu sebelum balik ke mobilnya.
Maira mengangguk, sambil mengucapkan terimakasih. Tangannya melambai lemah ketika mobil Bayu meninggalkan halaman rumah pak Kusno.
"Itu siapa yang nganter si Maira, Yu?" tanya Bu Lupi pelan. Tetangga sebelah pak Kusno itu melongokkan kepala. Pandangannya menerobos pagar tanaman teh-tehan yang memisahkan rumahnya dan rumah pak Kusno.
Yu Ning yang sedang mengangkat jemuran menggelengkan kepala. "Mboten ngertos, bu!" serunya sedikit lantang.
Bu Lupi buru-buru menempelkan telunjuk di depan bibirnya yang maju satu centi. "Ssttttt..., jangan keras-keras!" tegurnya dengan suara setengah berbisik. Kedua alis bertaut, mata bulatnya agak memicing. Cukup sebagai peringatan pada yu Ning yang spontan menutup bibir.
"Sini!" perintah Bu Lupi masih dengan suara setengah berbisik. Jarinya yang penuh cincin melambai sekali, memberi isyarat memanggil.
Yu Ning bergegas menghampiri juragan putrinya itu. Kain jemuran sesak memenuhi bahu kanannya.
"Apa itu calonnya si Maira, ya?" bisik Bu Lupi di telinga yu Ning.
"Halah, buuu...wong ya, baru ditinggal meninggal kemarin kok, ibu ini ada-ada saja!" sungut Yu Ning, jengkel dengan kesimpulan sepihak Bu Lupi.
"Lhooo..., Lha yo sopo ngerti to yoo...!" Bu Lupi mengerling usil.
Yu Ning mencibir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Fenty arifian
dasar tetangga kepo..,😂😂
2021-06-16
0
el-es
dasar tetangga rempong aja bawaannya 😒
2021-04-04
1
Naurel_lia
sukaaa,,,dech sama novel nya Thor
aq penggemar Tentara,,,,🤗🤗🤗
2021-03-25
0