Kedekatan hati dan keterikatan emosi antara dua jiwa, kadang terbawa hingga ke raga dan rasa.
Sekilas Maira ingat telepon Galang pagi buta tadi. Telepon pada waktu yang tak biasa. Meninggalkan jejak sakit di kepala.
Maira sontak berdiri dari duduknya. Mulutnya ternganga, mata terbelalak menatap Bayu. Belum sempat satu kata pun terucap, terdengar suara mobil di luar.
"Nak Bayu, siapa itu?" tanya Pak Kusno, bapak Maira. Laki-laki itu berdiri. Tatap matanya menerobos jendela yang terbuka. Sebuah mobil sedan berwarna biru tua dengan plat nomor dinas berhenti di halaman rumah.
"Komandan Kesatuan, Pak," jawab Bayu singkat. Perhatiannya masih lekat tertuju pada Maira yang terkekang rasa terkejut.
"Om Bayuuu...., Terus gimana mas Galang?" pekik Maira akhirnya.
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut lelaki berperawakan tinggi itu. Dia hanya tertegun dengan bibir bergetar.
Sementara Bu kusno menangis tersedu, memegang bahu anaknya. Perempuan itu mencoba mendudukkan kembali Maira di kursi.
Maira menepiskan tangan ibunya. Dikejarnya Bayu yang sekarang beranjak keluar rumah bersama pak Kusno.
"Om Bayu...!"
Di teras, pak Kusno dan Bayu menyambut kedatangan komandan dan istri. Maira bergegas menghampiri.
"Ijin bapak, ibu, bagaimana suami saya?" tanyanya tergesa dengan suara bergetar. Diulurkan tangan sekedarnya, menyalami komandan dan istri.
Istri komandan memeluk bahu Maira. Senyum lembutnya berusaha menyejukkan. "Mari, kita duduk di dalam dulu, ya!" ajaknya.
Maira berontak. Ditatapnya wajah komandan dengan menghiba. "Bapaaak...ijin bapak, bagaimana kondisi suami saya?" tanyanya dengan getaran suara yang semakin menjadi. Air mata yang tergenang sudah runtuh sepenuhnya. Bahunya tersengal menahan rasa.
Komandan menarik nafas dalam. Di tepuk-tepuknya bahu Maira, seakan hendak memberi kekuatan pada perempuan itu.
"Bapaaak...?" Maira tak sanggup melanjutkan. Tubuhnya limbung dalam pelukan ibu komandan.
Bu Kusno menjerit dalam tangis.
***
Ketika takdir terasa sangat kejam, mungkinkah itu sekedar cara Tuhan mencarikan jalan lain menuju bahagia?
Jenazah Galang tiba di Jogja dua hari kemudian. Maira tak sempat melihat suaminya untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, dia tak diperkenankan untuk melihat. Perempuan itu memaklumi dengan sepenuh rasa pilu. Dia tahu, kondisi jenazah korban pesawat jatuh bukan hal yang wajar untuk dibayangkan, apalagi dilihat.
"Ayaaah...ayaaaah...!"
Rengekan Oza semakin membuat pilu suasana. Anak itu meronta dalam gendongan Karina. Dia hendak menghampiri peti jenazah berselimut bendera merah putih.
Maira sendiri, terduduk lesu di kursi lipat samping jenazah, bersama para pelayat. Ibu komandan tampak selalu berada di sampingnya, memeluk bahunya, sambil sesekali membisikkan kata-kata penguat.
Tak ada lagi air mata mengalir di pipi Maira yang pucat. Pandangannya kosong menatap peti jenazah di depannya. Bibirnya bergetar, seakan hendak mengucap kata-kata.
"Kasihan Bu Maira," bisik Bu Diah pada teman di sebelahnya. Dia menatap prihatin pada rekan kerjanya yang duduk di depan sana. "Padahal sebelum kejadian itu om Galang baru saja telepon, pamit mau terjun dan minta di doakan."
"Iya to, Bu?" tanya temannya dengan mata terbelalak.
Bu Diah mengangguk. "Ya, gara-gara itu Bu Maira jadi pusing kepalanya. Wong, telponnya itu aneh, mosok jam 3 pagi sudah telpon."
"Wealaaah..., Firasat mungkin ya, Bu?"
Tepat jam 10.00, upacara pemakaman Sersan satu Galang Pambudi dilaksanakan di pemakaman kampung Maira dan Galang. Maira tak sanggup berdiri mengikutinya. Dia masih duduk di kursi lipat, diapit Bu komandan dan ibunya yang berdiri di sebelah kanan dan kiri Maira.
Tujuh tembakan salvo berdentum, Maira tertegun. Dipegang dadanya yang ikut berdebam. Setiap dentuman tembakan, seperti pukulan palu godam di dinding ruang hatinya.
Oza menjerit kencang ketika peti jenazah ayahnya diturunkan.
Maira pingsan seusai menerima lipatan bendera merah putih dari komandan.
***
Dua Minggu setelah meninggalnya Galang, Maira tampak duduk termangu di teras kelas. Matanya menatap murid-murid TK yang berlarian di halaman sekolah, tapi hatinya entah kemana.
"Bu Maira, kalau belum fit benar, ndak masuk dulu ndak apa-apa," tegur Bu Ida sambil duduk di sebelah Maira.
Maira tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah baikan, kok."
Bu Ida menghela nafas. "Masih di rumah eyangnya Oza, kan?"
Maira mengangguk. "Rencananya hari ini pulang sekolah aku mau ke rumah komplek, Bu. Mau bebenah barang-barang. Insyaallah secepatnya aku pindah ke rumah bapak ibu."
"Lhoh, kenapa? Kan, ndak buru-buru diusir, to?"
"Yo ndak sih, bu. Cuma ndak enak saja, bukan anggota kok, masih menempati rumah dinas." Suara Maira bergetar. Pandangannya kabur tertutup genangan duka.
Bu Diah menggenggam erat tangan Maira. "Yang sabar ya, Bu Maira," bisiknya lirih, berselimut rasa prihatin.
Siang terasa menyengat di penghujung kemarau. Maira memacu motornya pelan membelah jalanan komplek rumah dinas. Jarak sekolah milik Yayasan itu tak seberapa jauh dari rumah dinasnya.
Semakin dekat rumah, jantung Maira semakin berdebar. Laju motornya kadang tersendat kadang menghentak, seirama tarikan gas yang tak stabil oleh tangannya. Hingga tiba di depan rumah, ragu Maira membelokkan motornya masuk ke halaman.
Tetangga kanan kiri sepi. Rumah mereka tertutup rapat. Di siang sepanas ini mungkin mereka menyamankan diri di dalam rumah, dalam buai hembusan kipas angin.
"Sini, Yang, motornya aku masukin!"
Tiba-tiba bayangan Galang terlintas. Saat suaminya itu tak sedang dinas, dia selalu menyambut Maira yang pulang dengan menaiki motor. Dia tak pernah membiarkan Maira menuntun motornya naik ke teras.
Maira tersentak pelan. Digelengkannya kepala, mengusir bayangan indah namun menyakitkan.
Pelan-pelan perempuan itu berjalan menuju teras. Rumah dinas berwarna biru langit itu serasa seperti rumah hantu. Membuat kaki melangkah ragu.
Dirogohnya kunci rumah dari dalam tas. Beberapa saat kemudian pintu rumah terbuka lebar. Bau pengap menyerobok ke dalam hidung Maira. Sudah dua minggu rumah itu tak dibersihkan.
Maira masuk dengan langkah terasa mengambang. Setiap jengkal lantai yang dia pijak, mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang sekarang pahit terasa.
"Yang, besok kita masak sop ikan, ya. Aku tadi pesan ikan kakap sama temanku yang dari Glagah."
Deg!
Bayangan itu kembali melintas. Saat siang seperti ini biasanya Galang pulang istirahat makan siang di rumah. Sambil makan dia akan usul masakan untuk esok hari.
Bahu Maira berguncang. Tangannya menutup mulut, menahan pekik kesedihan yang hendak melompat keluar.
Langkah Maira sampai di depan pintu kamar. Perempuan itu berhenti sesaat. Ragu-ragu dipegangnya handel pintu. Setelah menarik nafas dalam, dibukanya pintu kamar pelan.
Sprei polos warna coklat masih tergelar di atas ranjang. Warna kesukaan Galang. Di atasnya, dia dan Galang untuk terakhir kalinya bercengkerama dalam aroma cinta. Hangatnya malam terakhir sebelum Galang kembali ke Bandung bahkan masih terasa. Pelukannya masih terasa merengkuh tubuh Maira. Ciumannya masih terasa hangat di bibir Maira. Hembusan nafas lelaki itu, terdengar nyata di telinga Maira.
Perempuan itu mengangkat lengannya, memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar. Sementara matanya terpejam, bibir mengulum rindu bercampur duka.
"Sayang, selesai sekolah terjun kita bikin adik buat Oza, ya," pinta Galang waktu itu.
Mata Maira mendadak terbuka. Tatap matanya nanar memandang ranjang. "Ohhh...!" pekik Maira, tak bisa menahan gejolak di dadanya. "Mas Galaaaaang...!"
Bruk!
Perempuan itu terjatuh di lantai kamar. Dukanya terlalu berat untuk disandang. Raganya belum kuat sepenuhnya menahan beban jiwa.
Prok...prok...prok...
Langkah kaki tergesa, berbalut sepatu lars terdengar di luar. Langkah itu masuk ke rumah melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka.
"Astaghfirullah....jeng Mai....!"
(bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Nuryanti 94
aku gak bisa tahn air mata klo cerita nya tentang kematian,
2023-08-08
0
Mawar berduri
baru jg baca bbrp part sdh menguras airmataku thor..
2022-09-22
0
Nur Yanti
duh bergetar ini hati bacanya sampe nangis gini... 😭
2021-09-09
0