Sore Kala itu...

Danish kewalahan mengejar targetnya.

"Kamvr*t, gue sampe ngos-ngosan." Keringat membasahi pelipisnya, tapi ia tetap memaksa kaki terus berlari. "Kenapa jadi kejar-kejaran gini sih?! Bar itu kayaknya jadi markas jud* online mereka."

Di belakangnya, suara langkah lain terdengar semakin mendekat. Ray muncul dari balik pagar dengan satu tarikan napas panjang, dan dunia seolah melambat.

Kakinya menjejak ujung pagar, lalu tubuhnya melayang dalam lengkungan anggun. Seperti bayangan yang menari di antara beton dan langit senja. Kausnya berkibar tertiup angin, rambutnya sedikit terangkat, dan mata tajamnya tak lepas dari jalur yang akan dituju.

"Ray!" Danish berseru. "Gue nafas dulu yaa!!"

Ray hanya melempar dua jarinya.

Saat tumitnya menyentuh dinding rendah di depannya, ia memutar tubuh, meluncur ke bawah dengan presisi parkour yang nyaris sunyi. Satu tangan menyentuh tanah untuk menjaga keseimbangan.

Sebelum tubuhnya kembali memantul, melewati tumpukan kayu, menyelinap di antara dua tembok sempit, dan akhirnya mendarat dengan lutut sedikit menekuk di balik bayang-bayang gedung. Seolah tubuhnya tahu ke mana harus bergerak tanpa perlu berpikir.

Caattt!

Ray mensleding kaki Bandhi. Stop!

Kenalan dulu.

Rayyanza Ai Kalandra, 19 tahun. Mahasiswa akhir jalur fast track di jurusan Matematika. Dikenal sebagai sosok cerdas, karena berhasil lompat kelas sebanyak tiga kali di sekolah formalnya. Tegas dan sangat disiplin.

Zara Ai Kalandra, 19 tahun. Mahasiswi semester satu jurusan Informatika. Sangat berbeda dengan Ray, Zara cenderung lebih suka tenggelam dalam dunia kecil yang ia ciptakan. Menikmati hidup daripada mengejar prestasi seperti kembarannya.

Ray mensleding kaki Bandhi tepat ketika pria itu menoleh untuk melihat ke belakang sambil berbicara di telepon.

Bruk!

Bandhi terjatuh keras, ponselnya terlepas dari genggaman dan menggelinding di trotoar. Dengan cepat, Ray mengambil ponsel itu.

Pandangannya terhenti. Mata saling menatap antara Ray dan temannya itu. Dan detik berikutnya, udara seolah menegang.

"Bandhi! Gue akan ambil ponsel lo."

Deru motor mulai terdengar. Ternyata, Bandhi berlari sambil menelepon geng motornya. Enam orang pria bertampang keras dengan jaket kulit dan emblem yang tidak asing mulai bersiaga.

Mesin motor meraung pelan, keras dan terasa mengancam. Tatapan mereka menusuk, mengukur Ray yang memakai masker dari ujung kepala hingga kaki.

“Sial,” umpatnya. "Bandhi berhasil memanggil teman-temannya."

Sementara itu, Zara mencibir kesal.

Dia tertinggal jauh dari Ray dan Danish yang sudah lebih dulu menghilang di tikungan gang sempit.

"Ugh! Abang Ray payah! Nggak nungguin aku sama sekali!"

Sambil berlari dia mengeluarkan sepasang sarung tangan hitamnya dari saku celana. Alat wajib kalau dia mau bergerak melompat dan salto. Bukan parkour ala Ray, tapi gaya khas cheerleader yang luwes dan penuh energi.

Dia mempercepat langkah, lalu melakukan round-off mulus di atas trotoar. Satu dorongan kaki, Zara berputar di udara dengan salto back tuck yang nyaris sempurna, lalu mendarat dan kembali berlari.

Satu tangan menyeimbangkan diri, satu lagi siap mendorong ke depan. Ia melompat lagi, lalu menapak, melontarkan dirinya dengan lompatan lebar, lebih cepat dari sekadar berlari biasa.

Hingga topi hitam itu terlepas, ia malah melepas ciput buff yang menutupi rambutnya. Kini, Rambut panjang Zara terurai bebas dan berayun indah mengikuti gerakan tubuhnya.

Misi penyamaran: gagal total

Di sisi jalan, Zara melihat eorang gadis kecil mungkin usia sepuluh tahun sedang menangisi sepeda mininya yang ringsek masuk selokan.

“Ada apa?” tanya Zara mendekat dan jongkok di hadapannya.

“A-a-aku jatuh… dan sepedaku masuk selokan…” Suara gadis itu gemetar tak bisa berbuat apa-apa.

Zara menghela napas perlahan. Tak perlu jadi pahlawan untuk tahu rasa takut. Ia mengulurkan tangan, menyeka air mata anak itu dengan sisi sarung tangannya.

“Namamu siapa?”

“Alya…”

“Gini, Alya. Aku Zara. Aku akan bantuin sepedamu lalu kita bersihin bersama. Gimana? Biar nanti kamu bisa pulang dengan tenang. Kamu bisa kayuh lagi kan sepedanya?”

Alya mengangguk.

Dengan tangan yang biasa menggenggam semangat dan semarak, kali ini Zara menggenggam simpati. Ia menolong gadis itu sampai bisa kembali pulang.

“Makasih, Kak Zara…”

Senyum malu-malu itu seperti bunga mekar di tengah lorong sempit.

Zara membalas senyum itu sambil mengacak rambut Alya. “Lain kali jangan ngebut di jalan sempit. Ini bukan arena balapan, oke?”

Alya mengangguk cepat. Gadis itu kembali mengayuh sepedanya.

"Abang Ray! Tungguuuu!!"

Dan di saat Zara melompat...

"Bang Danish, awaaaasss!!" serunya.

Bruk!!

Dia menabrak seseorang dari belakang. Tubuhnya menghantam Danish yang sedang jongkok ngos-ngosan sambil memegangi lututnya.

Danish terjerembab ke depan. Zara ikut jatuh di atas punggungnya. "Wadidaw, pendaratan mulus. Sorry banget Bang Danish!" cengir Zara.

Danish merintih, wajahnya nyungsep ke aspal. "Udah jatuh, ketiban Zara pula..." gerutunya.

Dari kejauhan, Ray membelalak. Dia yang masih bersiaga menghadapi Bandhi dan para anggota geng motor, kini dibuat frustrasi dengan kemunculan Zara yang malah bercanda dengan Danish di tengah bahaya.

[POV] Ray

"Kadang, aku berharap Zara tahu bahwa mengikuti bukan selalu bentuk sayang."

Setiap aku berjalan cepat, melangkah ke depan. Menatap seriusnya dunia aku tak ingin menoleh ke belakang, tapi detak jantungku tahu…

...Zara pasti mengekor.

Selalu begitu.

“Abang Ray! Tungguin!”

Kalimat yang sudah beribu kali dia ucapkan sejak kecil. Dia selalu muncul. Seolah aku adalah dunia… dan dia adalah bayangan yang tak ingin tertinggal satu detik pun.

Tapi aku bukan anak kecil lagi. Dan dia juga bukan gadis kecil yang harus kupapah tiap jatuh. Karna sekarang, setiap langkahku punya tujuan. Bukan main-main.Sedangkan Zara?

Dia tetap sama. Lincah, keras kepala, selalu ingin membuktikan bahwa dia cukup hebat untuk ikut. Aku tahu dia akan tetap nekat walau kukatakan seribu kali untuk 'pulang.'

Aku lelah.

Cukup merepotkan karena aku selalu ia jadikan sebagai tujuan hidupnya. Dia harus tahu, bahwa menjadi kembar tidak berarti harus sama. Bahwa mengikuti terus menerus, bisa menghapus siapa dirinya sendiri.

Dan aku, mencintainya lebih dari siapa pun. Cinta sebagai seorang saudara. Cinta sebagai keluarga. Cinta yang bukan berarti harus terus digandeng. Justru... agar yang dicintai tahu, bahwa dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Zara...

apa kau tahu?

Di setiap langkah cepatku yang tak menoleh ke belakang, ada harapan diam-diam dalam hatiku... “Tumbuhlah, adikku. Jadi dirimu sendiri. Bukan bayanganku.”

Aku berharap, "Aku ingin suatu saat kamu menemukan arah tujuanmu sendiri. Sebuah jalan yang kau pilih bukan karena aku melangkah ke sana, tapi karena hatimu tahu ke mana kamu ingin pergi."

Namun di balik harapan itu, terus terang aku bertanya pada diriku sendiri: "Mampukah aku melepasmu?"

Mampukah aku merelakan hari di mana kau tak lagi mengejarku? Hari di mana suaramu tak lagi memanggil, "Abang, tungguin aku..."

Aku takut, bukan karena kau akan pergi terlalu jauh,

tapi karena aku tak lagi menjadi alasan bagimu untuk bertahan.

Tapi jika itu yang membuatmu tumbuh, jika itu yang membuatmu jadi dirimu sendiri, maka biarlah aku belajar… belajar melepasmu dengan doa, bukan dengan tali. Karena cinta sejati, kadang tak lagi menggenggam, tapi mengizinkan sayap untuk terbang.

Terpopuler

Comments

Sia A

Sia A

Dah tenang bacanya, gak taunya, di sleding /Sweat//Sweat//Sweat/

2025-06-22

1

fjshn

fjshn

aduhh Ray sama aku siniiii, aku pintar fisika lohh nanti aku ajarin biar banyak gayanya

2025-06-22

1

Adelia Ramadhani

Adelia Ramadhani

Zara adalah aku, pinter tapi males dan lebih milih enjoy hidup/Applaud/

2025-06-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!