Salah atau benar?

[POV] Haru

Aku tak pernah hidup dengan melibatkan terlalu banyak orang. Sejak tahu bahwa jantungku bermasalah, aku sadar. Membuat terlalu banyak kenangan hanya akan memperberat langkah kepergianku.

Padahal aku punya segalanya. Orang tua yang penuh kasih, tiga sahabat perempuan yang selalu ada, dan ilmu yang selalu aku banggakan. Tapi tetap saja, takdir jantung ini membekukan semangatku untuk benar-benar hidup.

Aku hanya menjalaninya, lurus, datar, dan secukupnya. Apa adanya. Jujur akan diriku sendiri.

Aku bukan pria yang mudah marah, hanya terus bersikap tenang. Tapi kalau kebencian sudah menyusup dalam dada, aku bisa berubah menjadi ambisius, bahkan berbahaya. Aku pernah nyaris membunuh seseorang karena kebencian. Dan rasa benciku pada Ray, tak boleh sampai ke arah sana. Maka aku memilih menjauh, menjaga jarak. Tak banyak bicara, tak banyak interaksi.

Tapi sekarang, aku malah terlibat dengannya. Bukan langsung, melainkan lewat seseorang yang entah mengapa, terasa sangat mirip dengannya. Wajah itu, entah dia adik Ray, saudaranya, atau kembarannya. Aku belum tahu. Tapi aku ingin tahu.

Dan keingintahuan itu membangkitkan denyut yang berbeda dalam dadaku. Jantungku berdegup lebih kuat. Bukan karena kambuh, tapi karena ada sesuatu yang lain.

Sesuatu yang melepaskan dopamin, norepinefrin, dan oksitosin. Zat-zat yang membuat seseorang merasa jatuh cinta. Zat-zat yang membuat hidup kembali terasa... hidup.

________

Ray dan Zara tidak boleh saling bertemu di kampus meski mereka adalah saudara. Itulah kesepakatan yang dibuat Ray untuk Zara. Supaya adiknya tak terlibat dengan masalahnya.

Mereka tak boleh muncul di waktu dan tempat yang sama. Satu dunia tak boleh tumpang tindih dengan dunia yang lain.

Dan ada alasan konyol yang membuatnya merasa bersalah. Dirinya pun tak ingin terlibat dengan adiknya yang terlalu eksentrik. Cukup berlebihan ketika gadis itu terlibat dengannya.

"Gue mau tolongin adek gue, Danish." alasan Ray. Ya, sungguh aneh memang. Selalu mudah terbawa khawatir akan keadaan saudara kembarnya itu. Dan dia tahu persis, siapapun yang terlibat dengan Haru, meski sedikit saja. Seseorang akan datang melabraknya.

Danish mencegah. "Tidak, Ray. Apalagi," Dagunya sejenak menunjuk seseorang. "Bandhi menatapmu sedari tadi. Jangan sampai dia penasaran saat elo ingin menolong Zara."

Ray berusaha bersikap tenang. Gelagatnya akan terlihat jelas jika dia menunjukkan kekhawatiran. Akhirnya, dia menatap layar ponselnya. "Zara bodo banget. Tadi udah gue suruh buat nyamar jadi cowok tapi malah bertingkah eksentrik begitu. Sampai kapan gue dibikin darting gini sama dia," gerutunya.

Saat Haru mengulurkan buku sketsa milik Zara, langkah cepat berbunyi mendekat. Langkah kaki itu menyilang dengan boot hitam di atas mata kaki. Menengahi dengan langkah percaya diri.

Seorang wanita muda berambut pendek dengan disilakan satu di telinga, ekspresi tajam dengan eye liner hitam menusuk di pelipis.

"Asaki..." Tangan Haru turun, tidak jadi menyerahkan buku sketsa milik Zara. Lelah melihat wanita muda itu selalu mengekor di belakangnya.

"Haru, kamu nggak apa-apa?"

"Gue baik-baik aja..."

Mata Asaki melirik tajam ke arah Zara.

"Asal kamu tahu ya," Asaki melipat tangan di depan dada, menghadapkan diri ke Zara, "kamu yang harusnya hati-hati. Kamu yang lewat di belakang orang. Kalau sampai terjadi sesuatu ke Haru, kamu pikir kamu bisa tanggung jawab?"

Zara mengedip pelan, lalu berseloroh, "Maaf ya, Kakak Bodyguard. Dia yang mulai, kok."

"Bodyguard? Seenaknya!" Asaki mendesis. "Gue sahabatnya. Dan lo harus minta maaf."

"Iya—"

Haru langsung menyela, "Udahlah, Asaki. Ini salah gue. Gue yang udah nggak sengaja nyenggol dia, dan gue yang harusnya minta maaf."

"Dia minta maaf, maka urusan ini selesai."

Zara akhirnya menunduk ringan.

"Maafkan saya, Kak."

Sikapnya terlihat tenang, tapi ada aura tidak nyaman di wajahnya. Seolah ia menelan harga dirinya hanya demi menyudahi keributan.

Haru melihatnya, dan entah kenapa, dadanya terasa sesak. "Elo nggak usah minta maaf. Ini salah gue, bukan lo. Gue yang minta maaf."

Ucapan itu membuat wajah Asaki berubah tegang. "Lo denger sendiri, kan?" bentaknya, lalu mencubit lengan Zara tanpa ampun. Zara meringis, menahan sakit.

"Junior nggak tau diri! Jangan pernah lagi muncul di depan Haru!" Asaki menghempaskan tangan Zara kasar.

Ray yang melihat insiden itu menegang hebat. Tak terima adiknya diperlakukan sekasar itu. Tapi, ia hanya bisa terus menahan diri. Melirik ke arah Bandhi yang menatapnya seperti pisau.

"Asaki!" suara Haru meledak. Ia langsung menarik lengan Asaki, menjauh dari Zara. "Gue nggak suka lo ikut campur urusan pribadi gue! Ini hal sepele, kenapa lo selalu lebay?!"

Yuki Asaki Akasia, 22 tahun. Sahabat pertama Haru. Gadis protektif yang selalu berjalan berdampingan dengannya kemanapun ia pergi. Instingnya tajam, dan sangat dominan. Ia tidak ragu menghadapi siapa pun yang dianggap mengancam orang yang ia sayangi, terutama Haru.

Sikapnya keras, tidak sabaran, dan gampang terbakar emosi. Meski menyebut dirinya sahabat Haru, tingkah lakunya menunjukkan kepemilikan dan superioritas, terutama terhadap sosok yang lebih muda atau baru hadir, seperti Zara.

Mereka berdua pun menjauh, suara Haru makin mengecil di antara kesendirian Zara.

Haru, Asaki dan Danish. Mereka adalah circle masa lalu yang tak pernah usai. Menjaga jarak dalam diam yang sangat pekat di hati masing-masing.

Zara mendengus sambil mengelus lengannya yang masih nyeri. "Adududuy... sakitnya poll woy... Untung cuma dicubit, bukan digigit, yaa... heheheey~" ucapnya sambil melompat-lompat kecil seperti anak kecil yang baru lepas dimarahi.

Tingkah eksentrik itu...

Membuat Ray tak tahan untuk tidak tertawa kecil dari kejauhan. Adiknya memang aneh, tapi begitulah cara Zara mengobati lukanya. Dengan kelucuan yang cuma dia sendiri yang ngerti.

Ray menatap layar ponsel. Nada suaranya sengaja dibuat santai agar tak menarik perhatian Bandhi. “Danish, Gue harus secepatnya beresin urusan sama Bandhi. Gue nggak mau urusan ini makin panjang, apalagi Zara jadi ikut terlibat. Gue nggak nyangka, dia pake geng motor buat ngelindungin diri.”

Danish menghela napas, lalu bersandar di kursinya. “Sudahlah, Ray. Lo nggak usah ngotot lagi. Biar masalah itu diurus Prof. Rui. Lo tinggal bilang aja. Lagipula, Gue udah laporin bar itu ke polisi. Tempatnya udah digerebek tadi malam.”

“Apa?!” Ray langsung menoleh cepat.

“Shh,” Danish memberi isyarat agar Ray menenangkan diri. “Iya, tapi Bandhi nggak gampang ditangkap. Dia punya banyak koneksi. Makanya gue bilang, lo nggak usah ikut campur lagi. Gue nggak mau lo terseret lebih dalam.”

Dari kejauhan, Bandhi terus menatap. "Jangan pikir elo aman, Ray. Elo udah berani laporin Bar gue ke polisi. Gue bakal balas dendam!"

Ada fitnah di sini.

Terpopuler

Comments

Aksara_Dee

Aksara_Dee

selamat utk novel barunya ka... intip juga novel baruku ya ka

2025-06-09

1

Hatus

Hatus

Kasihan sih kalau jadi zara, padahal dia ingin kayak yang lain bisa bercanda ria dengan saudara tapi begitu sulit untuknya.😭

2025-07-31

1

Cakrawala

Cakrawala

damai saja lah ngapain balas dendam segala. bikin capek tauk Bandhi

2025-06-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!