Saat keluar kamar, Kakung Tukimo langsung menyambut. Matanya membelalak kaget.
"Astapiluwoh!! Jay YUKUku, kok dandan koyo cah lanang ngene to?" Gaya khas nyentriknya masih ada hingga kakung menua.
"Abang yang nyuruh, Kakung."
"Abangmu kae emang kudu dijitak kepalanya. Sampe kapan dia ngatur kamu ra uwis uwis!! Jan jaan! Badungnya minta ampun. Wis, ayo. Kakung anter sampe kampus."
Zara tersenyum lebar. "Matur suwun, Kakungku sing legi dewe koyo es teh jumbo!"
Tawa Kakung pun meledak. "Hahaha, bocah iki pancen... Pancen..."
Sebelum berangkat, Zara menyalami Uti Kasandra yang sedang menyiram bunga. "Assalamu’alaikum, Uti. Zara sayang Uti, bye bye!"
"Wa’alaikumussalam. Sekolah sing pinter ya, putu ayune Uti. Chup!" cium pipi kanan.
"Iyup!" Zara balas cium pipi Utinya.
Di perjalanan menuju kampus, isi pikiran Zara masih penuh tanda tanya. "Kakung," ucapnya pelan. "Kenapa abang Ray itu hidupnya kayak enak banget? Bebas, suka-suka gitu. Bahkan boleh nyetir mobil sendiri."
"Lha terus, kenapa, Putu?"
"Kenapa Zara nggak bisa gitu? Cuma karena Zara cewek? Temen Zara yang cewek banyak tuh yang bebas naik motor maupun naik mobil. Bahkan bebas main kemana pun yang disuka."
"Zara ngrasakke ora adil, yo?"
"Um," Zara hanya menunduk.
"Kamu itu harus terus dijagain, Putu. Biar ndak kena pergaulan bebas. Paham?"
"Zara bisa jaga diri, Kakung."
"Yowis, yowis... Kakung manut. Kakung percaya, Zara itu anak wedok paling sakti se-dunia. Pasti bisa jaga diri." Nada itu terdengar menyerah, tak ingin memperpanjang debat.
"Nah, gitu dong, Kakungku!"
"Senang donk pasti."
"Oya Kakung, Zara mau mampir ke stationery dulu, ya. Mau beli buku sketsa baru."
"Wokay!"
Sesampainya di toko alat tulis, Zara masuk sendirian. Ia berkeliling, matanya menyisir rak-rak penuh buku. Ia menjulurkan tangan untuk mengambil sebuah buku sketsa—
Tanpa sadar, sebuah tangan lain juga meraih buku yang sama. Bersamaan. Saat Zara menarik tangannya, pria itu justru menggenggamnya lebih erat.
Deg!
Tentu saja jantung Zara langsung berdegup. Ada sensasi aneh. Ini tak aman bagi jantung seorang cewek. Bahkan bagi Zara sekalipun.
Sentuhan itu... familiar.
Ya, familiar bagi pria itu. Hanya sepersekian detik saat mereka bertabrakan waktu lalu, membuat pria itu mengingatnya dengan jelas.
Glek!
Zara menelan ludah. Kepalanya menoleh perlahan, kaku seperti robot yang rusak. Gugup bercampur takut. Dan wajah itu...
Zara terkejut setengah mati hingga terjatuh ke lantai, "Ka-- kamu lagi?!"
Pria itu hanya jongkok tenang. Salah satu lututnya bertumpu di lantai, lengan disandarkan santai di lutut lainnya. Dia tidak menawarkan bantuan. Tidak juga menunjukkan rasa bersalah.
"Kita ketemu lagi, Ray."
“Ra–Ray?! Gue… bukan Ray!” kata Zara gugup, buru-buru memalingkan wajah.
"Kalo bukan Ray, terus siapa lo?"
Zara menelan ludah.
Otaknya bekerja keras.
"Ah iya! Gue lagi nyamar jadi cowok… udah dua kali dia nganggep gue Ray. Dia kenal abang, berarti... Tapi gue harus jawab apa, nih?" batinnya.
"Elo siapa, biar gue nggak bingung."
"Iya... gue... Gue Ray," Zara bohong. Berbohong dengan percaya diri setipis kertas tisu.
Pria itu tersenyum tipis. Jelas saja curiga. Tanpa akan diketahui lebih jauh, Zara buru-buru lari darinya. Lagi.
Sedangkan, pria itu malah mengambil buku sketsa yang tadi mereka rebutkan dan melangkah santai ke kasir. Cukup penasaran.
Sesampainya di kampus, Zara langsung menuju toilet. Ia masuk ke bilik paling pojok dan mengembuskan napas panjang.
"Astaga... butuh setengah jam buat kembali jadi diriku sendiri. Bang Ray... any*ng!!" gerutunya sambil melepas kemeja, kaos, dan wig itu.
Setelah memastikan penampilannya kembali seperti biasa, Zara menatap cermin. "Well... welcome back, Zara. Si cewek eksentrik yang disuruh jadi abang sendiri. Kocak!"
Ia melangkah menuju kelasnya. Duduk dan mengandarkan dagu di meja. Sambil sejenak membayangkan pertemuannya dengan pria asing itu. Bibirnya menggulung tapi pipinya merona.
"Astaga... ganteng banget dia. Tinggi, kayak model. Bahkan ngalahin abang Ray. Uwuw~"
Ia memejamkan mata, membayangkan wajah pria itu. "Siapa sih dia sebenernya… dan kenapa senyumnya bikin jantung gue deg-degan kayak mau UNBK?"
.
.
.
Ray menaruh nampan makan siangnya dengan kasar. Alih-alih langsung menyantap isi piringnya, ia malah duduk menengadah menatap langit-langit kantin. Punggung tangannya bertumpu di dahi seperti hendak mengukur panas tubuh sendiri.
"Semoga kejadian kemarin nggak bikin masalah makin rumit." Iya. Niatnya cuma membuntuti gelagat Bandhi, malah berakhir dengan geng motor dan ancaman. Apalagi, kehadiran adiknya di tengah-tengah kekacauan itu.
Dari sudut ruangan kantin, seseorang diam-diam menatapnya. "Rayyanza..." bisiknya.
"Entah kenapa gue jadi... penasaran sama dia."
Orang itu adalah Nabihan Rui Haru. Pria berusia 22 tahun. Satu kelas dengan Ray yang sama-sama mengikuti program fast track S2 jurusan Matematika.
Tak ada ikatan apapun antara dirinya dan Ray. Teman? Sahabat? Atau sekedar menyapa pun jarang. Padahal, mereka seangkatan selama 5 tahun ini. Haru, lebih suka menyendiri.
Tapi dua tahun lalu, Ray berhasil mengungguli kecerdasan liar yang dimiliki Haru, putra dari Profesor Rui Naru yang sebentar lagi naik jabatan menjadi rektor menggantikan kakeknya.
Satu momen. Satu lomba. Satu penghargaan yang mengubah banyak hal. Itu cukup untuk membuat Haru diam-diam menaruh benci. Terlebih karena Ray juga bersahabat dengan Danish. Putra dari wanita yang memusuhi ibunya.
Ya, terlalu banyak alasan untuk membenci Ray.
Tapi, kenapa sekarang justru...
...Penasaran
Tatapan Haru terpaku pada Jemari panjang yang menari di atas dahi. Terlalu lentik untuk ukuran cowok.
"Tangan itu... kenapa bisa selembut itu," ingatnya pada insiden tabrakan kemarin.
Batin Haru bergemuruh.
Deg Deg! Deg deg!
Semua terasa... beda. Terlalu lembut, terlalu kecil, terlalu... salah? Dia, cowok yang... Cantik?
Degup jantungnya kian menjerit-jerit di dalam dada saat wajah Ray tersinari cahaya lampu gantung kantin. Pancaran cahaya putih itu menyapu kulit wajah Ray yang pucat dan mulus. Sorotan itu memperjelas garis rahangnya yang tegas, bibirnya yang rapi, dan mata terpejam yang entah kenapa terlihat... adem.
Jantung Haru terus berdegup.
Deg deg! Deg deg!
Haru, menelan ludah. "Ray", ia sempat terpikir: "Dia... menarik. Cukup membuat pikiranku, kacau."
Telapak tangannya. Tabrakan dada. Bahu kecilnya. Apa dia sebenernya, Cewek?
"Bishounen," gumamnya pelan. "Tampan yang cantik. Baru kali ini gue lihat cowok seperti itu."
Haru mengalihkan pandangannya cepat-cepat, mencoba mengabaikan degup jantung yang anehnya seperti sedang menari.
"Astaga! Gila gue!" Haru langsung berdiri, namun gerakannya terlalu mendadak.
Krek! Bruk!
Kursi di belakangnya terpental, menyenggol seseorang yang baru saja lewat.
"Bisa nggak sih elo hati-hati!"
Suara itu...
Seketika kepala Haru menoleh cepat.
Teringat.
Sama seperti kemarin. Nada marah yang familiar. Tapi kini berasal dari orang yang berbeda.
Rambut hitam gadis itu lurus terurai, eye shadow pink melebar hingga bawah mata, memberi kesan boneka misterius. Lensa kontak ungu yang mencolok, bibir mengkilap oleh lip gloss. Riasannya aneh... tapi entah kenapa memikat. Pucat, eksentrik, tapi... cantik?
Buku sketsanya jatuh dan terbuka, memperlihatkan sebuah ilustrasi yang membuat Haru mengenal sketsa apa itu.
"Sorry," ucap Haru sambil mengambilkan buku itu.
Deg.
Gadis itu terdiam. Teringat akan insiden tabrakan kemarin. Dia ingat betul wajah pria yang dia tabrak, tapi tak mengenal siapa dirinya.
Sekelebat...
Gadis itu syok, sampai menutup mulutnya.
Sementara dari kejauhan, Ray menegang. Dia bisa membaca ekspresi gadis itu.
"Zara..." Langkahnya hampir bergerak untuk menolong adiknya, tapi—
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
ᯓ✦˚₊livvchuu˚✧・゚
Jadi.. Haru sukaa yang mana nih? /Chuckle/
2025-06-20
1
Adelia Ramadhani
Bl banget gak sih😭?
2025-06-23
1
Nailott
jadi yg nabrak zara kemaren itu di haru musuhnya ray , ruhi yg musuhan,ke ray
2025-07-07
1