"Sudah kubilang kamu jangan ikut, Zara."
"Enggak! Aku mau ikut!"
"Ini bahaya. Ini urusan cowok, bukan buat kamu."
"Nggak masalah."
"Aku carikan mobil online deh buat jemput kamu cepat, biar kamu pulang aja."
"Aku nggak mau pulang, Bang Ray! Aku nggak mau di rumah sama Oma. Ikut abang lebih menantang, tau nggak!"
Ray menghela napas panjang, menatap Kembaran perempuannya yang berdiri dengan tangan terkepal dan mata membara, penuh perlawanan. Sudah berulang kali ia melarang Zara ikut. Tapi gadis itu tetap bersikukuh, seolah keberanian dan kenekatannya lebih besar dari rasa takut.
"Bang Ray… Aku ikut ya?"
"Ugh! Kamu tuh bandel banget. Kebal perintah, nempel terus kayak perangko!"
Perdebatan ini tidak akan ada habisnya jika diteruskan sampai satu bab penuh. Akhirnya, dengan pasrah, wajah Ray yang sudah tersembunyi separuh itu membuka pelindung leher dan mulutnya, lalu memasangkannya ke wajah Zara.
Ia menarik rambut panjang adiknya dan menyelipkannya seperti memakai ciput, lalu menjejalkan topi hitamnya ke atas kepala Zara.
Matanya menyipit. Menilai penampilan si gadis. Jelas masih kelihatan cewek meski memakai celana bergo, apalagi crop-top dan wajah bulat yang terlihat terlalu manis.
"Ini masih kelihatan banget Zara-nya." Ray menggerutu, lantas melepas jaketnya dan memakaikannya ke tubuh Zara.
"Nah! Sekarang baru kayak cowok. Walau... cowok semeter tak sampai. Ini bikin gue heran, kita ini kembaran tapi kamu tuh mungil banget. Huh!" Ia menepuk kepala Zara iseng.
"Namanya juga cewek," timpal Zara.
Ray menunjuk wajahnya. "Denger ya, kamu boleh ikut. Tapi diem. Jangan banyak gerak, jangan bikin ulah, dan jangan jauh-jauh dari aku. Kita cuma ngintelin mahasiswa yang dicurigai terlibat judi online. Prof. Rui minta aku bantu, secara aku satu kelas sama dia di matematika."
"Yokai, abang!" Zara mengangguk mantap.
Setelah menyempurnakan penyamaran, Ray hanya menyisakan masker di wajahnya. Mereka melangkah masuk ke sebuah bar kecil yang tampak sepi dari luar, meskipun jam menunjukkan sore.
Lorong remang menyambut mereka dengan bau alkohol dan suara musik samar.
Tiba-tiba, dari arah dalam, suara panik terdengar.
"Ray! Sial! Dia kabur!" seru teman Ray dari kejauhan.
"Apa?!"
"Itu! Dia ngelewatin elo barusan! Gebl*k!"
"Ah! Sh*t! Gue nyusul!" Ray bersiap mengejar, tapi tangan Zara justru menahan lengannya.
"Bang! Mau ke mana?!"
Ray mendesah tajam. "Zara! Ini yang bikin aku pusing! Aku nggak bisa ninggalin kamu di sini juga." Ia menarik tangan adiknya keluar dan menyeretnya ke pinggir jalan.
"Duduk di halte ini. Jangan ke mana-mana. Aku kejar Danish. Tunggu di sini. Diam. Manis. Paham?!"
"Tapi—"
"Zara. Taat dulu!"
Ray lalu berlari menghilang. Tapi tentu saja, Zara tak tinggal diam. Ia berlari pelan, mengikuti arah yang sama. "Ish! Abang larinya kayak dikejar jin!"
Zara terus berlari hingga saat berbelok di sebuah tikungan...
Bruk!
Tubuhnya mental seketika ke belakang dan jatuh terduduk. "Owawawaw bok*ng comelku... Sakit..."
"Ups! Sorry!" ucap pria di hadapannya. Jelas tubuh pria tinggi dan tegap mengalahkan tenaga Zara yang menubruknya.
"Bisa nggak sih elo hati-hati!" Zara berseru.
Pandangan pria itu menyipit, memperhatikan wajah Zara dari balik topi. "Ray?" Dia heran sambil mengulurkan tangan membantu Zara berdiri. "Elo ngapain di sini?"
Tapi begitu menyentuh tangan Zara, ekspresinya berubah. Telapak tangan itu... kecil dan halus. Bukan seperti tangan cowok.
"Elo Rayyanza, kan? Tapi… kok bisa nyusut begini? Apa yang terjadi sama tubuh lo?"
Zara panik. "Ma—maaf!"
Dia mencoba kabur. Dan tanpa sengaja tubuh Zara malah terhantam ke dadanya. Kontak yang terlalu dekat membuat pria itu membeku.
Kaget.
Saat ia merasa asing ketika menyentuh bahu yang terasa kecil. Bahu yang tak seharusnya dimiliki oleh seseorang bernama Rayyanza.
"Siapa dia sebenarnya?" pria itu menatap ke arah Zara yang telah kabur. Hanya satu hal yang ia yakini saat ini. Insiden kecil itu... mungkin akan mengubah seluruh takdirnya.
Danish kewalahan mengejar targetnya.
"Kamvr*t, gue sampe ngos-ngosan." Keringat membasahi pelipisnya, tapi ia tetap memaksa kaki terus berlari. "Kenapa jadi kejar-kejaran gini sih?! Bar itu kayaknya jadi markas jud* online mereka."
Di belakangnya, suara langkah lain terdengar semakin mendekat. Ray muncul dari balik pagar dengan satu tarikan napas panjang, dan dunia seolah melambat.
Kakinya menjejak ujung pagar, lalu tubuhnya melayang dalam lengkungan anggun. Seperti bayangan yang menari di antara beton dan langit senja. Kausnya berkibar tertiup angin, rambutnya sedikit terangkat, dan mata tajamnya tak lepas dari jalur yang akan dituju.
"Ray!" Danish berseru. "Gue nafas dulu yaa!!"
Ray hanya melempar dua jarinya.
Saat tumitnya menyentuh dinding rendah di depannya, ia memutar tubuh, meluncur ke bawah dengan presisi parkour yang nyaris sunyi. Satu tangan menyentuh tanah untuk menjaga keseimbangan.
Sebelum tubuhnya kembali memantul, melewati tumpukan kayu, menyelinap di antara dua tembok sempit, dan akhirnya mendarat dengan lutut sedikit menekuk di balik bayang-bayang gedung. Seolah tubuhnya tahu ke mana harus bergerak tanpa perlu berpikir.
Caattt!
Ray mensleding kaki Bandhi. Stop!
Kenalan dulu.
Rayyanza Ai Kalandra, 19 tahun. Mahasiswa akhir jalur fast track di jurusan Matematika. Dikenal sebagai sosok cerdas, karena berhasil lompat kelas sebanyak tiga kali di sekolah formalnya. Tegas dan sangat disiplin.
Zara Ai Kalandra, 19 tahun. Mahasiswi semester satu jurusan Informatika. Sangat berbeda dengan Ray, Zara cenderung lebih suka tenggelam dalam dunia kecil yang ia ciptakan. Menikmati hidup daripada mengejar prestasi seperti kembarannya.
Ray mensleding kaki Bandhi tepat ketika pria itu menoleh untuk melihat ke belakang sambil berbicara di telepon.
Bruk!
Bandhi terjatuh keras, ponselnya terlepas dari genggaman dan menggelinding di trotoar. Dengan cepat, Ray mengambil ponsel itu.
Pandangannya terhenti. Mata saling menatap antara Ray dan temannya itu. Dan detik berikutnya, udara seolah menegang.
"Bandhi! Gue akan ambil ponsel lo."
Deru motor mulai terdengar. Ternyata, Bandhi berlari sambil menelepon geng motornya. Enam orang pria bertampang keras dengan jaket kulit dan emblem yang tidak asing mulai bersiaga.
Mesin motor meraung pelan, keras dan terasa mengancam. Tatapan mereka menusuk, mengukur Ray yang memakai masker dari ujung kepala hingga kaki.
“Sial,” umpatnya. "Bandhi berhasil memanggil teman-temannya."
Sementara itu, Zara mencibir kesal.
Dia tertinggal jauh dari Ray dan Danish yang sudah lebih dulu menghilang di tikungan gang sempit.
"Ugh! Abang Ray payah! Nggak nungguin aku sama sekali!"
Sambil berlari dia mengeluarkan sepasang sarung tangan hitamnya dari saku celana. Alat wajib kalau dia mau bergerak melompat dan salto. Bukan parkour ala Ray, tapi gaya khas cheerleader yang luwes dan penuh energi.
Dia mempercepat langkah, lalu melakukan round-off mulus di atas trotoar. Satu dorongan kaki, Zara berputar di udara dengan salto back tuck yang nyaris sempurna, lalu mendarat dan kembali berlari.
Satu tangan menyeimbangkan diri, satu lagi siap mendorong ke depan. Ia melompat lagi, lalu menapak, melontarkan dirinya dengan lompatan lebar, lebih cepat dari sekadar berlari biasa.
Hingga topi hitam itu terlepas, ia malah melepas ciput buff yang menutupi rambutnya. Kini, Rambut panjang Zara terurai bebas dan berayun indah mengikuti gerakan tubuhnya.
Misi penyamaran: gagal total
"Abang Ray! Tungguuuu!!"
Dan di saat Zara melompat...
"Bang Danish, awaaaasss!!" serunya.
Bruk!!
Dia menabrak seseorang dari belakang. Tubuhnya menghantam Danish yang sedang jongkok ngos-ngosan sambil memegangi lututnya.
Danish terjerembab ke depan. Zara ikut jatuh di atas punggungnya. "Wadidaw, pendaratan mulus. Sorry banget Bang Danish!" cengir Zara.
Danish merintih, wajahnya nyungsep ke aspal. "Udah jatuh, ketiban Zara pula..." gerutunya.
Dari kejauhan, Ray membelalak. Dia yang masih bersiaga menghadapi Bandhi dan para anggota geng motor, kini dibuat frustrasi dengan kemunculan Zara yang malah bercanda dengan Danish di tengah bahaya.
"Astaga. Disuruh tunggu di halte malah muncul di tengah zona merah begini. Ini adik gue emang perlu dilempar ke Mars atau ke Pluto kali ya," batin Ray.
Bandhi menyipitkan mata, mengira-ngira siapa sebenarnya wajah dibalik masker itu, "Lo siapa? Kembalikan ponsel gue atau... geng gue bakal habisin lo."
Namun, sebelum Ray sempat bicara, suara nyaring memotong situasi:
"Abang Raaaay! Zara berhasil nyusul kamu! Yahhai~ abang Danish jadi kudanya," Zara melambai girang, seolah sedang piknik, bukan dalam situasi nyaris digebukin geng motor.
Ray menepuk jidat keras-keras.
"Yaaa Allah…"
Bandhi mendecih. "Ray? Jadi lo Rayyanza? Kirain siapa. Ternyata cuma kawan seangkatan yang sok jadi pahlawan."
"Bandhi. Kalau lo masih mau wisuda, tinggalin perbuatan haram lo itu. Kalau enggak, ponsel ini sampai ke Prof. Rui. Gue enggak main-main."
Bisa gawat bagi Bandhi jika Ray tak mau mengembalikan ponselnya, karena didalamnya tidak sekedar bukti judol tapi ada yang lebih gelap.
Bandhi berusaha tetap tenang, "Ayolah... Jangan ikut campur, Ray. Ini hidup gue, bukan urusan lo. Mau gue lulus atau enggak kan terserah gue."
Saat itu, Zara tiba-tiba menerima telepon.
Dia buru-buru mengangkatnya.
"Iya? Assalamu’alaikum, Mama?"
Dari seberang, terdengar suara tegas nan khawatir. "Wa’alaikumussalaam wa rahmatullah, Zara! Ini sudah maghrib. Kenapa belum pulang, sayang?"
Zara melirik ke arah Ray yang masih berdiri di depan barisan geng motor. "Zara lagi sama Abang Ray, Ma. Tapi kayaknya... abang mau dikroyok sama geng motor, sih."
Hening di seberang.
"APA?! Zara, jangan bercanda begitu! Cepat pulang sebelum konco kakung menjemput kalian!"
Zara cengengesan. "Iya, Ma. Baik~"
Begitu menutup telepon, Zara melambaikan tangannya ke arah kakaknya sambil berseru,
"Bang Raaay! Kita disuruh pulang~!!!"
Ray benar-benar ingin menghilang ditelan bumi saat itu juga. "Habis sudah riwayat kita, Zara."
Sementara itu, Bandhi menurunkan nada suaranya, “Ray, kalo lo mau aman, serahin ponsel gue.”
Ray mencengkeram ponsel itu lebih erat. Itu bukan sekadar alat komunikasi, tapi barang bukti penting dalam kasus perjud*an online, karena di dalamnya terdapat informasi tentang aktivitas perjudian, transaksi, dan komunikasi dengan pelaku.
Ia menimbang cepat.
Menyerahkannya berarti mengorbankan kesempatan menegakkan keadilan. Tapi mempertahankannya berarti mengundang geng motor itu untuk menyerang mereka berdua. Apalagi, ada Zara. Ray tak mampu melibatkan adiknya dalam masalahnya.
“Ray, kita temen, bukan musuh. Gue nggak pengen nyakitin lo. Jadi jangan bodoh, jangan ikut campur,” kata Bandhi. "Jadi, serahin ponsel gue."
Dengan tatapan dingin, Ray melempar ponsel itu ke arah Bandhi. “Ambil.”
Bandhi menyambutnya dengan satu tangan, lalu menyeringai lebar. “Bagus.”
Tanpa banyak bicara, dia melompat membonceng motor salah satu anak buahnya. Tapi sebelum pergi, matanya sempat menoleh ke arah Zara. Menatap lama, seolah memindai wajah gadis itu hingga ke inti jiwanya.
“Gue baru tahu, jadi Ray punya saudara, ya? Cantik juga. Bisa gue pake nanti. Sebagai umpan... buat bales dendam,” gumam Bandhi.
Sorot mata Bandhi bukan mata orang yang selesai. Apalagi bibir yang menyeringai itu.
Ray tau, “Sial. Ini belum selesai. Bahkan, mungkin baru mulai,” Ray mengepalkan tangannya erat-erat.
Zara, yang masih polos dengan senyum lebarnya, tidak menyadari ketegangan itu sama sekali.
“Kak Ray, yuk kita pulangggg!”
Ray hanya bisa menggeleng kecil, lebih kepada nasibnya sendiri. Menghadapi hari esok yang bakal berubah drastis.
Bandhi dan gengnya melesat pergi, meninggalkan debu, kekhawatiran, dan sebuah janji tak terucap bahwa pertarungan berikutnya akan lebih berbahaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!