Waktu kecil, kembaran itu harus selalu bersama dan selalu serupa. Berjalan berdampingan, tertawa bersamaan, memakai pakaian senada, seakan dunia hanya bisa menerima satu versi dari dua jiwa.
Tapi, kami hanya kembar fraternal. Kembar sepasang yang sangat berbeda. Sejak kecil aku harus seperti putri dalam dongeng karena aku perempuan. Dan kembaranku adalah pangeran yang harus berjalan setapak lebih jauh Dariku.
Pakaian kami selalu berpasangan, dari piyama malam hingga gaun pesta dan kaus piknik. Kami seperti sepasang merpati. Terbang beriringan, seperti kekasih, tapi kami adalah saudara.
Dan aku percaya pada satu hal.
Aku percaya bahwa kembaranku adalah bagianku yang lain yang harus kuikuti, harus kucopy, karena kami lahir bersamaan, maka kami harus tumbuh dalam langkah yang sama. Jika dia berlari, aku pun harus mengejar. Jika dia berhenti, aku ingin berdiri di sisinya.
Buatku, menjadi kembar artinya menjadi satu. Aku ingin seperti dia. Kuat, pintar, tangguh, dan... tak tergantikan. Tapi Ray…
...tidak pernah melihatku begitu.
Baginya, aku bukan cerminnya. Aku adalah adiknya. Dan sebagai abang, dia merasa harus menjaga jarak, bukan karena tidak sayang, tapi karena ia ingin aku tumbuh sebagai diriku sendiri.
Dia tak ingin aku mengekori bayangannya, karena bayangan tak pernah punya pijakan sendiri. Dia ingin aku punya langkah, bukan sekadar meniru langkahnya. Dia ingin aku bersuara, bukan hanya menyanyikan lagu yang dia mulai.
"Jadilah dirimu, Zara," katanya suatu hari.
"Tapi abang adalah duniaku," bisikku dalam hati.
Dan mungkin…
Di situlah letak perbedaan kami. Aku ingin selalu bersamanya, sementara dia ingin aku belajar berdiri sendiri. Meski begitu, Kami saling menjaga, saling menyembuhkan luka, karena kami keluarga.
Dan dalam hatiku, mungkin aku tak butuh siapa-siapa, selain abang Ray yang membuatku merasa utuh adanya. Dia begitu cerdas dan begitu dewasa, menyayangiku dengan cara yang tak bisa kugenggam sepenuhnya.
Seiring waktu, caranya berubah.
Semakin kami tumbuh, semakin banyak pintu yang ia tutup rapat untukku. Dia mulai membatasi langkahku, menyuruhku berteduh di dunia yang katanya ‘milikku sendiri’. Mungkin, takut kita jadi saling... Suka?
Tapi aku tak pernah betah tinggal dalam bayang. Aku bandel, terlalu keras kepala untuk mengerti kata "jangan". Aku selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi, karena sesungguhnya, duniaku adalah dia.
Inilah kisah kami...
"Sudah kubilang kamu jangan ikut, Zara."
"Enggak! Aku mau ikut!"
"Ini bahaya. Ini urusan cowok, bukan buat kamu."
"Nggak masalah."
"Aku carikan mobil online deh buat jemput kamu cepat, biar kamu pulang aja."
"Aku nggak mau pulang, Bang Ray! Aku nggak mau di rumah sama Oma. Ikut abang lebih menantang, tau nggak!"
Ray menghela napas panjang, menatap Kembaran perempuannya yang berdiri dengan tangan terkepal dan mata membara, penuh perlawanan. Sudah berulang kali ia melarang Zara ikut. Tapi gadis itu tetap bersikukuh, seolah keberanian dan kenekatannya lebih besar dari rasa takut.
"Bang Ray… Aku ikut ya?"
"Ugh! Kamu tuh bandel banget. Kebal perintah, nempel terus kayak perangko!"
Perdebatan ini tidak akan ada habisnya jika diteruskan sampai satu bab penuh. Akhirnya, dengan pasrah, wajah Ray yang sudah tersembunyi separuh itu membuka pelindung leher dan mulutnya, lalu memasangkannya ke wajah Zara.
Ia menarik rambut panjang adiknya dan menyelipkannya seperti memakai ciput, lalu menjejalkan topi hitamnya ke atas kepala Zara.
Matanya menyipit. Menilai penampilan si gadis. Jelas masih kelihatan cewek meski memakai celana bergo, apalagi crop-top dan wajah bulat yang terlihat terlalu manis.
"Ini masih kelihatan banget Zara-nya." Ray menggerutu, lantas melepas jaketnya dan memakaikannya ke tubuh Zara.
"Nah! Sekarang baru kayak cowok. Walau... cowok semeter tak sampai. Ini bikin gue heran, kita ini kembaran tapi kamu tuh mungil banget. Huh!" Ia menepuk kepala Zara iseng.
"Namanya juga cewek," timpal Zara.
Ray menunjuk wajahnya. "Denger ya, kamu boleh ikut. Tapi diem. Jangan banyak gerak, jangan bikin ulah, dan jangan jauh-jauh dari aku. Kita cuma ngintelin mahasiswa yang dicurigai terlibat judi online. Prof. Rui minta aku bantu, secara aku satu kelas sama dia di matematika."
"Yokai, abang!" Zara mengangguk mantap.
Setelah menyempurnakan penyamaran, Ray hanya menyisakan masker di wajahnya. Mereka melangkah masuk ke sebuah bar kecil yang tampak sepi dari luar, meskipun jam menunjukkan sore.
Lorong remang menyambut mereka dengan bau alkohol dan suara musik samar.
Tiba-tiba, dari arah dalam, suara panik terdengar.
"Ray! Sial! Dia kabur!" seru teman Ray dari kejauhan.
"Apa?!"
"Itu! Dia ngelewatin elo barusan! Gebl*k!"
"Ah! Sh*t! Gue nyusul!" Ray bersiap mengejar, tapi tangan Zara justru menahan lengannya.
"Bang! Mau ke mana?!"
Ray mendesah tajam. "Zara! Ini yang bikin aku pusing! Aku nggak bisa ninggalin kamu di sini juga." Ia menarik tangan adiknya keluar dan menyeretnya ke pinggir jalan.
"Duduk di halte ini. Jangan ke mana-mana. Aku kejar Danish. Tunggu di sini. Diam. Manis. Paham?!"
"Tapi—"
"Zara. Taat dulu!"
Ray lalu berlari menghilang. Tapi tentu saja, Zara tak tinggal diam. Ia berlari pelan, mengikuti arah yang sama. "Ish! Abang larinya kayak dikejar jin!"
Zara terus berlari hingga saat berbelok di sebuah tikungan...
Bruk!
Tubuhnya mental seketika ke belakang dan jatuh terduduk. "Owawawaw bok*ng comelku... Sakit..."
"Ups! Sorry!" ucap pria di hadapannya. Jelas tubuh pria tinggi dan tegap mengalahkan tenaga Zara yang menubruknya.
"Bisa nggak sih elo hati-hati!" Zara berseru.
Pandangan pria itu menyipit, memperhatikan wajah Zara dari balik topi. "Ray?" Dia heran sambil mengulurkan tangan membantu Zara berdiri. "Elo ngapain di sini?"
Tapi begitu menyentuh tangan Zara, ekspresinya berubah. Telapak tangan itu... kecil dan halus. Bukan seperti tangan cowok.
"Elo Rayyanza, kan? Tapi… kok bisa nyusut begini? Apa yang terjadi sama tubuh lo?"
Zara panik. "Ma—maaf!"
Dia mencoba kabur. Dan tanpa sengaja tubuh Zara malah terhantam ke dadanya. Kontak yang terlalu dekat membuat pria itu membeku.
Kaget.
Saat ia merasa asing ketika menyentuh bahu yang terasa kecil. Bahu yang tak seharusnya dimiliki oleh seseorang bernama Rayyanza.
"Siapa dia sebenarnya?" pria itu menatap ke arah Zara yang telah kabur. Hanya satu hal yang ia yakini saat ini. Insiden kecil itu... mungkin akan mengubah seluruh takdirnya.
[POV] Zara
Benturan pertama, dan dunia bergeser sedikit.
Aku berlari dan tikungan sempit seolah memanggilku
untuk berpetualang tanpa alasan. Tubuhku tiba-tiba terhempas ke belakang seperti layang-layang putus tali. Dan bumi menyambutku dengan keras.
Aku terjatuh.
Seketika pria itu mengulurkan tangan. Dan aku yang bodoh ini menyambut uluran itu. Lupa kalau kulitku tak bisa bohong. Tangan ini... Jauh dari tangan Ray. Darahku seolah melompat ke ubun-ubun.
Panik.
Refleks mau kabur. Tapi justru... Tubuhku malah m nabrak dadanya. Detak jantungku seperti genderang perang. Sementara dia? Membeku. Seperti patung hidup yang baru sadar: Bahu yang disentuhnya ini... bukan milik laki-laki.
Dan saat aku kabur, aku tahu, pandangannya masih tertinggal di punggungku. Dia belum tahu siapa aku. Tapi aku yakin… aku baru saja menyentuh masa depan. Yang lebih menakutkan dari ketahuan menyamar, adalah kemungkinan bahwa...
...aku baru saja bertabrakan dengan takdirku sendiri.
Danish kewalahan mengejar targetnya.
"Kamvr*t, gue sampe ngos-ngosan." Keringat membasahi pelipisnya, tapi ia tetap memaksa kaki terus berlari. "Kenapa jadi kejar-kejaran gini sih?! Bar itu kayaknya jadi markas jud* online mereka."
Di belakangnya, suara langkah lain terdengar semakin mendekat. Ray muncul dari balik pagar dengan satu tarikan napas panjang, dan dunia seolah melambat.
Kakinya menjejak ujung pagar, lalu tubuhnya melayang dalam lengkungan anggun. Seperti bayangan yang menari di antara beton dan langit senja. Kausnya berkibar tertiup angin, rambutnya sedikit terangkat, dan mata tajamnya tak lepas dari jalur yang akan dituju.
"Ray!" Danish berseru. "Gue nafas dulu yaa!!"
Ray hanya melempar dua jarinya.
Saat tumitnya menyentuh dinding rendah di depannya, ia memutar tubuh, meluncur ke bawah dengan presisi parkour yang nyaris sunyi. Satu tangan menyentuh tanah untuk menjaga keseimbangan.
Sebelum tubuhnya kembali memantul, melewati tumpukan kayu, menyelinap di antara dua tembok sempit, dan akhirnya mendarat dengan lutut sedikit menekuk di balik bayang-bayang gedung. Seolah tubuhnya tahu ke mana harus bergerak tanpa perlu berpikir.
Caattt!
Ray mensleding kaki Bandhi. Stop!
Kenalan dulu.
Rayyanza Ai Kalandra, 19 tahun. Mahasiswa akhir jalur fast track di jurusan Matematika. Dikenal sebagai sosok cerdas, karena berhasil lompat kelas sebanyak tiga kali di sekolah formalnya. Tegas dan sangat disiplin.
Zara Ai Kalandra, 19 tahun. Mahasiswi semester satu jurusan Desain Komunikasi Visual. Sangat berbeda dengan Ray, Zara cenderung lebih suka tenggelam dalam dunia kecil yang ia ciptakan. Menikmati hidup daripada mengejar prestasi seperti kembarannya.
Ray mensleding kaki Bandhi tepat ketika pria itu menoleh untuk melihat ke belakang sambil berbicara di telepon.
Bruk!
Bandhi terjatuh keras, ponselnya terlepas dari genggaman dan menggelinding di trotoar. Dengan cepat, Ray mengambil ponsel itu.
Pandangannya terhenti. Mata saling menatap antara Ray dan temannya itu. Dan detik berikutnya, udara seolah menegang.
"Bandhi! Gue akan ambil ponsel lo."
Deru motor mulai terdengar. Ternyata, Bandhi berlari sambil menelepon geng motornya. Enam orang pria bertampang keras dengan jaket kulit dan emblem yang tidak asing mulai bersiaga.
Mesin motor meraung pelan, keras dan terasa mengancam. Tatapan mereka menusuk, mengukur Ray yang memakai masker dari ujung kepala hingga kaki.
“Sial,” umpatnya. "Bandhi berhasil memanggil teman-temannya."
Sementara itu, Zara mencibir kesal.
Dia tertinggal jauh dari Ray dan Danish yang sudah lebih dulu menghilang di tikungan gang sempit.
"Ugh! Abang Ray payah! Nggak nungguin aku sama sekali!"
Sambil berlari dia mengeluarkan sepasang sarung tangan hitamnya dari saku celana. Alat wajib kalau dia mau bergerak melompat dan salto. Bukan parkour ala Ray, tapi gaya khas cheerleader yang luwes dan penuh energi.
Dia mempercepat langkah, lalu melakukan round-off mulus di atas trotoar. Satu dorongan kaki, Zara berputar di udara dengan salto back tuck yang nyaris sempurna, lalu mendarat dan kembali berlari.
Satu tangan menyeimbangkan diri, satu lagi siap mendorong ke depan. Ia melompat lagi, lalu menapak, melontarkan dirinya dengan lompatan lebar, lebih cepat dari sekadar berlari biasa.
Hingga topi hitam itu terlepas, ia malah melepas ciput buff yang menutupi rambutnya. Kini, Rambut panjang Zara terurai bebas dan berayun indah mengikuti gerakan tubuhnya.
Misi penyamaran: gagal total
Di sisi jalan, Zara melihat eorang gadis kecil mungkin usia sepuluh tahun sedang menangisi sepeda mininya yang ringsek masuk selokan.
“Ada apa?” tanya Zara mendekat dan jongkok di hadapannya.
“A-a-aku jatuh… dan sepedaku masuk selokan…” Suara gadis itu gemetar tak bisa berbuat apa-apa.
Zara menghela napas perlahan. Tak perlu jadi pahlawan untuk tahu rasa takut. Ia mengulurkan tangan, menyeka air mata anak itu dengan sisi sarung tangannya.
“Namamu siapa?”
“Alya…”
“Gini, Alya. Aku Zara. Aku akan bantuin sepedamu lalu kita bersihin bersama. Gimana? Biar nanti kamu bisa pulang dengan tenang. Kamu bisa kayuh lagi kan sepedanya?”
Alya mengangguk.
Dengan tangan yang biasa menggenggam semangat dan semarak, kali ini Zara menggenggam simpati. Ia menolong gadis itu sampai bisa kembali pulang.
“Makasih, Kak Zara…”
Senyum malu-malu itu seperti bunga mekar di tengah lorong sempit.
Zara membalas senyum itu sambil mengacak rambut Alya. “Lain kali jangan ngebut di jalan sempit. Ini bukan arena balapan, oke?”
Alya mengangguk cepat. Gadis itu kembali mengayuh sepedanya.
"Abang Ray! Tungguuuu!!"
Dan di saat Zara melompat...
"Bang Danish, awaaaasss!!" serunya.
Bruk!!
Dia menabrak seseorang dari belakang. Tubuhnya menghantam Danish yang sedang jongkok ngos-ngosan sambil memegangi lututnya.
Danish terjerembab ke depan. Zara ikut jatuh di atas punggungnya. "Wadidaw, pendaratan mulus. Sorry banget Bang Danish!" cengir Zara.
Danish merintih, wajahnya nyungsep ke aspal. "Udah jatuh, ketiban Zara pula..." gerutunya.
Dari kejauhan, Ray membelalak. Dia yang masih bersiaga menghadapi Bandhi dan para anggota geng motor, kini dibuat frustrasi dengan kemunculan Zara yang malah bercanda dengan Danish di tengah bahaya.
[POV] Ray
"Kadang, aku berharap Zara tahu bahwa mengikuti bukan selalu bentuk sayang."
Setiap aku berjalan cepat, melangkah ke depan. Menatap seriusnya dunia aku tak ingin menoleh ke belakang, tapi detak jantungku tahu…
...Zara pasti mengekor.
Selalu begitu.
“Abang Ray! Tungguin!”
Kalimat yang sudah beribu kali dia ucapkan sejak kecil. Dia selalu muncul. Seolah aku adalah dunia dan dia adalah bayangan yang tak ingin tertinggal satu detik pun.
Tapi aku bukan anak kecil lagi. Dan dia juga bukan gadis kecil yang harus kupapah tiap jatuh. Karna sekarang, setiap langkahku punya tujuan. Bukan main-main. Aku takut kita jadi saling, suka. Sedangkan Zara?
Dia tetap sama. Lincah, keras kepala, selalu ingin membuktikan bahwa dia cukup hebat untuk ikut. Aku tahu dia akan tetap nekat walau kukatakan seribu kali untuk 'pulang.'
Aku lelah.
Cukup merepotkan karena aku selalu ia jadikan sebagai tujuan hidupnya. Dia harus tahu, bahwa menjadi kembar tidak berarti harus sama. Bahwa mengikuti terus menerus, bisa menghapus siapa dirinya sendiri.
Dan aku, mencintainya lebih dari siapa pun. Cinta sebagai seorang saudara. Cinta sebagai keluarga. Cinta yang bukan berarti harus terus digandeng. Justru... agar yang dicintai tahu, bahwa dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Zara...
apa kau tahu?
Di setiap langkah cepatku yang tak menoleh ke belakang, ada harapan diam-diam dalam hatiku... “Tumbuhlah, adikku. Jadi dirimu sendiri. Bukan bayanganku.”
Aku berharap, "Aku ingin suatu saat kamu menemukan arah tujuanmu sendiri. Sebuah jalan yang kau pilih bukan karena aku melangkah ke sana, tapi karena hatimu tahu ke mana kamu ingin pergi."
Namun di balik harapan itu, terus terang aku bertanya pada diriku sendiri: "Mampukah aku melepasmu?"
Mampukah aku merelakan hari di mana kau tak lagi mengejarku? Hari di mana suaramu tak lagi memanggil, "Abang, tungguin aku..."
Aku takut, bukan karena kau akan pergi terlalu jauh,
tapi karena aku tak lagi menjadi alasan bagimu untuk bertahan.
Tapi jika itu yang membuatmu tumbuh, jika itu yang membuatmu jadi dirimu sendiri, maka biarlah aku belajar… belajar melepasmu dengan doa, bukan dengan tali. Karena cinta sejati, kadang tak lagi menggenggam, tapi mengizinkan sayap untuk terbang.
"Astaga. Disuruh tunggu di halte malah muncul di tengah zona merah begini. Ini adik gue emang perlu dilempar ke Mars atau ke Pluto kali ya," batin Ray.
Bandhi menyipitkan mata, mengira-ngira siapa sebenarnya wajah dibalik masker itu, "Lo siapa? Kembalikan ponsel gue atau... geng gue bakal habisin lo."
Namun, sebelum Ray sempat bicara, suara nyaring memotong situasi:
"Abang Raaaay! Zara berhasil nyusul kamu! Yahhai~ abang Danish jadi kudanya," Zara melambai girang, seolah sedang piknik, bukan dalam situasi nyaris digebukin geng motor.
Ray menepuk jidat keras-keras.
"Yaaa Allah…"
Bandhi mendecih. "Ray? Jadi lo Rayyanza? Kirain siapa. Ternyata cuma kawan seangkatan yang sok jadi pahlawan."
"Bandhi. Kalau lo masih mau wisuda, tinggalin perbuatan haram lo itu. Kalau enggak, ponsel ini sampai ke Prof. Rui. Gue enggak main-main."
Bisa gawat bagi Bandhi jika Ray tak mau mengembalikan ponselnya, karena didalamnya tidak sekedar bukti judol tapi ada yang lebih gelap.
Bandhi berusaha tetap tenang, "Ayolah... Jangan ikut campur, Ray. Ini hidup gue, bukan urusan lo. Mau gue lulus atau enggak kan terserah gue."
Saat itu, Zara tiba-tiba menerima telepon.
Dia buru-buru mengangkatnya.
"Iya? Assalamu’alaikum, Mama?"
Dari seberang, terdengar suara tegas nan khawatir. "Wa’alaikumussalaam wa rahmatullah, Zara! Ini sudah maghrib. Kenapa belum pulang, sayang?"
Zara melirik ke arah Ray yang masih berdiri di depan barisan geng motor. "Zara lagi sama Abang Ray, Ma. Tapi kayaknya... abang mau dikroyok sama geng motor, sih."
Hening di seberang.
"APA?! Zara, jangan bercanda begitu! Cepat pulang sebelum konco kakung menjemput kalian!"
Zara cengengesan. "Iya, Ma. Baik~"
Begitu menutup telepon, Zara melambaikan tangannya ke arah kakaknya sambil berseru,
"Bang Raaay! Kita disuruh pulang~!!!"
Ray benar-benar ingin menghilang ditelan bumi saat itu juga. "Habis sudah riwayat kita, Zara."
Sementara itu, Bandhi menurunkan nada suaranya, “Ray, kalo lo mau aman, serahin ponsel gue.”
Ray mencengkeram ponsel itu lebih erat. Itu bukan sekadar alat komunikasi, tapi barang bukti penting dalam kasus perjud*an online, karena di dalamnya terdapat informasi tentang aktivitas perjudian, transaksi, dan komunikasi dengan pelaku.
Ia menimbang cepat.
Menyerahkannya berarti mengorbankan kesempatan menegakkan keadilan. Tapi mempertahankannya berarti mengundang geng motor itu untuk menyerang mereka berdua. Apalagi, ada Zara. Ray tak mampu melibatkan adiknya dalam masalahnya.
“Ray, kita temen, bukan musuh. Gue nggak pengen nyakitin lo. Jadi jangan bodoh, jangan ikut campur,” kata Bandhi. "Jadi, serahin ponsel gue."
Dengan tatapan dingin, Ray melempar ponsel itu ke arah Bandhi. “Ambil.”
Bandhi menyambutnya dengan satu tangan, lalu menyeringai lebar. “Bagus.”
Tanpa banyak bicara, dia melompat membonceng motor salah satu anak buahnya. Tapi sebelum pergi, matanya sempat menoleh ke arah Zara. Menatap lama, seolah memindai wajah gadis itu hingga ke inti jiwanya.
“Gue baru tahu, jadi Ray punya saudara, ya? Cantik juga. Bisa gue pake nanti. Sebagai umpan... buat bales dendam,” gumam Bandhi.
Sorot mata Bandhi bukan mata orang yang selesai. Apalagi bibir yang menyeringai itu.
Ray tau, “Sial. Ini belum selesai. Bahkan, mungkin baru mulai,” Ray mengepalkan tangannya erat-erat.
Zara, yang masih polos dengan senyum lebarnya, tidak menyadari ketegangan itu sama sekali.
“Abang Ray, yuk kita pulangggg!”
Ray hanya bisa menggeleng kecil, lebih kepada nasibnya sendiri. Menghadapi hari esok yang bakal berubah drastis.
Bandhi dan gengnya melesat pergi, meninggalkan debu, kekhawatiran, dan sebuah janji tak terucap bahwa pertarungan berikutnya akan lebih berbahaya.
Keesokan paginya.
Pertengkaran pecah di dalam kamar Zara di rumah keluarga Kalandra. Papa Zayyan dan Mama Aira sudah berangkat kerja.
"Aku nggak mau nyamar pakai wig ini, Ray!" teriak Zara, kesal. Melempar wig itu ke lantai.
"Ini demi keselamatan kamu, Zara."
"Nggak mau! Kenapa aku harus jadi cowok, sih? Aku ini cewek. Punya gaya sendiri! Nih, liat!" Zara menunjuk dirinya sendiri.
Rambut lurus terurai, make-up ala cosplayer: eye shadow pink turun ke pipi, lip gloss mengilap, kaos crop top lengan panjang, dan rok dibawah lutut.
"Oke-oke. Itu urusan kalo udah aman. Tapi sekarang, kamu tetap harus nyamar jadi cowok."
"Ya kali?! Masa gitu amat?!"
Ray mendekat, "Abang nggak mau kamu kenapa-kenapa Zara."
"Kenapa aku harus kenapa-kenapa? Emang siapa yang mau nyelakain aku?"
"Temen abang. Jelas?!"
Zara terdiam sejenak. "Maksudmu… yang kemarin itu?!"
"Iya. Kalau mereka tahu kamu adik aku, mereka bakal ngejar kamu. Tapi kalau mereka pikir kamu itu cowok... mereka bakal menjauh."
Zara membelalak. "Jadi... kalau mereka tahu aku bukan kamu, aku bisa… diculik?!"
"Abang nggak mau bayangin itu terjadi."
"ABAANG!! jangan nakut-nakutin Zara gitu, bisa nggak?! Aku bisa mimpi buruk nanti!" rengeknya sambil mengguling di karpet.
"Aku serius. Kalau kamu tetap mau masuk kampus dengan aman, kamu harus nurut. Tetap nyamar. Deal? Sebelum dunia ini aman buat kamu, aku akan pantau kamu di kampus dari jarak jauh. Tapi, tetap. Kamu nggak boleh deket-deket ke aku. Aku punya dunia sendiri dan kamu bikin duniamu sendiri. Ngerti?"
Tambahnya sambil memberikan paper bag besar berisi pakaian cowok seukuran tubuh Zara.
"Kenapa sih kamu selalu kasih aku aturaaaan?! Kenapa? Kenapa!?! Mama sama Papa aja nggak pernah begitu ke aku! Abang Ray Jahat!"
Ray menyipitkan mata, lalu menekan telunjuknya ke dahi adiknya. "Adik tengil. Justru karena Mama Papa nggak bisa jagain kamu tiap hari, mereka nyuruh aku yang jagain. Kamu pikir gampang jagain anak cewek?"
Zara cemberut, rengekannya semakin pecah. "Kenapaa... kenapaaa Zara harus terlahir cewek..." Suaranya mulai bergetar.
Ray mulai panik. "Zara... Zara, stop! Jangan nangis. Nanti Kakung sama Uti ke sini. Bisa nggak diem dulu?"
"Mmmmmooooo... HUAAAA! Aku nggak mau ke kampus kalo gini! Tinggalin aku sendiri! Aku mogok belajar!" teriaknya sambil menjatuhkan diri ke kasur, dramatis seperti tokoh telenovela.
"Ya udah. Terserah kamu."
Ray berbalik dan pergi, membiarkan adiknya berguling-guling sendirian di kamarnya.
Setelah situasi mereda, Zara kembali menjadi dirinya yang selalu merasa 'tak apalah, chill broo. Slay kali.' Ia menyeka air matanya cepat-cepat. Sedih? Iya.
Tapi, bukan Zara namanya kalau tidak bisa bangkit sendiri. Akhirnya, ia memilih menuruti kemauan sang kakak. Menyamar menjadi cowok.
"Oke juga sih... Ah! sial. Aku jadi nggak bisa dandan. Tapi emang mirip, sih... mirip abang Ray."
Ukuran pakaiannya pas dengan tubuh Zara. Pakaian-pakaian mahal brand favorit cowok. Kaos berkualitas, outer kemeja yang lengannya ditekuk rapi, celana panjang slim fit, dan sepatu baru yang masih harum dari kotaknya.
"Wawawao~ ada parfumnya jugaa! Hmmm... Gemesss ini wangi abang Ray... Co cuwiiittt~
Ia bercermin sebentar, mengamati wajahnya, "Ouuhh... Zara... Kamu jadi adik cowok sekarang. Mukyaaa~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!