Bab 4: Telaga Tersembunyi

Senja di perkebunan Tallava tak selalu seindah nyanyiannya. Di balik semarak panen dan barisan anggur yang ranum, masih tersembunyi semak duri yang menusuk diam-diam.

Di dekat aliran sungai kecil, tempat para pekerja mencuci pakaian, suasana mendadak tegang. Selembar pakaian milik salah satu pekerja lelaki, hanyut terbawa arus semalam. Malangnya, yang dicurigai adalah seorang gadis berambut merah yang baru saja kembali dari absen kerja.

“Lihat, kan! Ini semua gara-gara gadis terkutuk ini! Tidak bisakah kau mencuci dengan benar, Mestiz?”

Suara tajam itu milik Mardel, seorang pekerja tua dengan wajah keras dan lidah yang lebih tajam dari pisau dapur.

Di hadapannya berdiri Sissel, tubuhnya gemetar, tangannya memeluk diri, rambut merahnya tergerai kusut diterpa angin sore. Ia tidak menangis, tidak membalas, hanya menunduk seperti batu kecil yang tersesat di tengah derasnya sungai.

“Kami sudah bilang,” sambung elf wanita lain bernama Elfa, “jangan serahkan tugas pada dia. Rambut merahnya itu kutukan. Tentu saja bajunya ikut dikutuk!”

Tawa dingin pecah di antara mereka.

Sissel mengepalkan jemari, namun tetap diam. Ia sudah terlalu sering mengalami ini. Terlalu lelah untuk melawan. Sebutan Mestiz yang ia dengar selalu menyakitkan.

Suara lain muncul dari belakang mereka.

“Siapa yang menyuruh Sissel mencuci pakaianmu?”

Semua kepala menoleh. Sion berdiri di pinggir jalan setapak, rambut hitamnya diikat rapi, dan keranjang kayu tergantung di pundaknya. Matanya tajam seperti bilah pedang yang baru diasah, dan bayangan tubuhnya membentang panjang di atas rerumputan sore.

Mardel terbatuk, “Tentu saja karena dia pekerja—”

“Dia bekerja di dapur,” potong Sion dingin. “Tugas mencuci adalah tanggung jawab masing-masing. Kecuali jika kau seorang bangsawan yang harus dilayani.”

Kata-katanya membungkam semua yang ada di sana. Elfa melirik Mardel, tidak ada yang berani bicara.

Sion melangkah mendekat ke arah Sissel. “Kalau bajumu hanyut, carilah sendiri. Jangan tuduh orang lain karena malas dan ceroboh!”

Tatapannya beralih pada Sissel, yang masih berdiri membisu.

“Kau juga,” katanya pelan tapi tegas. “Jangan diam saja kalau difitnah! Diammu bukan kesabaran. Itu undangan bagi mereka untuk lebih ingin menyakitimu.”

Sissel perlahan menatapnya, mata merahnya basah oleh air mata yang tertahan. Tapi bibirnya tak berkata-kata.

Sion menoleh pada pekerja lainnya. “Selesaikan pekerjaan kalian. Buah anggur tidak memetik dirinya sendiri!”

Tanpa protes, satu per satu mereka mundur, menghilang ke antara barisan tanaman dan semak sungai.

Setelah keheningan kembali menyelimuti, Sion memandang langit yang mulai cerah.

“Ayo ikut aku,” katanya pada Sissel.

Sissel mengerutkan dahi. “Ke mana?”

“Melihat sesuatu yang hanya keluar setahun sekali,” ajaknya.

Hutan Acalopsia bagian timur tak seramai bagian lainnya. Ranting pohon menyusun kanopi alami yang menyaring cahaya seperti kaca patri di kuil tua. Aroma getah dan lumut menyatu dengan bau embun yang masih menggantung. Tanpa suara selain desir angin dan bunyi kaki rusa atau kelinci yang sesekali melintas.

Sion melangkah lebih dulu, langkahnya cepat tapi ringan. Sissel mengikuti di belakangnya, sesekali menyibak semak yang merintangi jalan.

“Kenapa kau membawaku ke sini?” Tanya Sissel, suaranya belum sepenuhnya pulih dari luka.

“Karena aku tahu rasa sakit yang tidak bisa kau jelaskan,” jawab Sion tanpa menoleh. “Dan kadang, hanya alam yang bisa menenangkan luka yang tak tampak.”

Akhirnya mereka tiba di sebuah celah di antara dua tebing rendah. Di bawahnya, tersembunyi sebuah telaga jernih berkilau. Airnya berwarna biru kehijauan, dan di sekelilingnya tumbuh bunga-bunga liar berwarna putih dan ungu. Di tengah kejernihan air, berdiri seekor makhluk agung.

Rusa putih.

Tubuhnya bersinar samar, seperti terbuat dari embun yang dibekukan oleh cahaya pagi. Tanduknya melengkung indah seperti mahkota, dan matanya… matanya bersinar keemasan, terlihat seperti hewan telah hidup seribu tahun lebih.

Sissel menutup mulutnya, terkejut. “Rusa putih…”

Baru kali ini ia melihat hewan yang ia kira hanya mitos belaka.

“Rusa Serenity, Makhluk suci Acalopsia,” bisik Sion. “Mereka hanya muncul saat peralihan musim, ketika bunga pertama mekar. Mereka juga hanya berani muncul saat malam hari.”

Rusa itu tidak kabur. Ia hanya memandang mereka, lalu menunduk sedikit seperti mengakui kehadiran mereka. Cahaya tubuhnya berpendar lembut, memantul di permukaan telaga.

Sissel melangkah mendekat ke tepi danau, lalu duduk di atas batu. Ia menarik napas panjang, untuk pertama kalinya sejak lama.

“Aku tidak pernah tahu tempat ini ada,” gumamnya.

“Tak banyak yang tahu,” kata Sion, berdiri di sampingnya. “Tempat ini seperti kita. Disembunyikan dari dunia, tapi tetap ada.”

Sissel menoleh padanya. “Kau bilang ‘seperti kita’?”

Sion tidak menjawab, hanya tersenyum samar. Tapi dalam hatinya, ia merasa baru saja menunjukkan potongan kecil dari siapa dirinya sebenarnya.

Waktu berjalan lambat di tempat seperti ini. Angin pun seolah berhenti agar tidak mengganggu kesucian yang mengendap di udara. Rusa-rusa itu tetap tenang memakan rerumputan di sekitar telaga. Sesekali mereka meminum air jernih dari telaga.

Kedamaian itu tiba-tiba terusik.

Teriakan dan suara gemuruh.

Jauh dari sisi barat, suara benturan logam dan jeritan menggema di antara lembah. Sion langsung menegakkan tubuh. Matanya menajam seperti elang. Seolah ia tahu apa yang tengah terjadi di sana.

Rusa-rusa yang tadinya tenang langsung berlarian dan kembali bersembunyi di antara Semak dan pepohonan.

“Itu… seperti suara perang.”

Sissel berdiri, panik. “Apa itu…? Siapa yang berperang?”

Sion menggenggam pergelangan tangannya. Sion mengajaknya berlari mendekat ke arah datangnya suara riuh itu. Setibanya di sebuah batu besar, ia meminta Sissel tetap di sana. “Kau tetap di sini! Sembunyi di balik batu ini, jangan keluar sampai aku kembali!” Perintahnya.

Sissel menolak, “Tapi—”

“Dengarkan aku. Jangan merepotkan aku!” Tegas Sion dengan tatapan mata serius.

“Disana pasti bahaya!” Ujar Sissel.

“Aku akan baik-baik saja. Berbeda jika mereka melihatmu, kau hanya akan membuatku kesulitan. Jadi, jangan membantah dan bersembunyilah dengan tenang!” Kata Sion.

Sissel tak berani membantah. Sepertinya situasi di sana benar-benar membahayakan. Ia sebenarnya juga mengkhawatirkan keselamatan Sion. Seharusnya mereka berdua bersembunyi bersama atau pergi berlari kembali ke perkebunan.

Sion mengeluarkan dua pedang kembar dari sarung punggungnya. Dengan langkah cepat ia berlari menghampiri keributan.

Dari balik batu, Sissel mengintip pertempuran yang terjadi di sana. Matanya membelalak saat menyaksikan seperti apa bentuk Orc yang selama ini didengarnya. Makhluk buruk rupa dengan tubuh berlumpur dan wajah seperti babi.

Selama hidup, tidak pernah sekalipun Sissel melihat Orc. Kata ayahnya, mereka hidup di wilayah pegunungan dan tidak akan berani turun ke permukiman kaum elf. Kini, di hadapannya ada puluhan Orc yang tengah bertarung mengeroyok Sion yang turun bergabung dalam pertempuran itu.

Terpopuler

Comments

vj'z tri

vj'z tri

skak gak tau ,orang kok bisa nya ngasih kerjaan nya ke anak bawang 😏😏😏😏

2025-06-03

0

vj'z tri

vj'z tri

makin seru loh ini ,,,aku bayangin lord of the rings 🤩🤩🤩🤩

2025-06-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!