Bab 3: Seorang Mestiz

Di balik rerimbunan pohon dan semak liar, mengalir lah sungai Murravia di kaki bukit selatan perkebunan Tallava. Sungai itu tak hanya menjadi sumber air bagi ladang anggur, tetapi juga menjadi tempat para pekerja membersihkan tubuh setelah seharian dilumuri debu dan peluh.

Hari itu, angin berembus lembut dari utara, membawa aroma kemangi liar dan tetesan embun terakhir dari dedaunan. Cahaya bulan mengintip di sela ranting pohon seperti tirai keemasan yang menggantung di udara. Di area telaga yang cukup dalam, memancar cahaya dari dalam air.

Sion.

Tubuhnya meluncur di bawah permukaan air, ototnya lentur, gerakannya anggun. Di bawah air, ia merasa bebas—tak terikat oleh nama, kasta, sejarah, atau kebohongan yang membalut hidupnya. Air sungai baginya seperti pelukan ibu: dingin, jujur, dan menyamarkan segalanya. Suara dunia di atas tak mampu menembus kedalaman itu. Hanya denting sunyi dan gelembung napasnya yang melayang seperti mimpi.

Kesunyian tiba-tiba terusik ketika ia melihat bayangan—tak biasa, tak bergerak. Rambut merah terbuka lepas, terurai seperti aliran darah dalam air. Tubuh seorang wanita perlahan tenggelam, lengan terentang, wajah mendongak ke atas, mata terpejam seolah sedang tertidur dalam mimpi panjang yang tak pernah dimaksudkan untuk bangun.

Sion terkejut.

Tanpa pikir panjang, ia menendang dasar sungai dan berenang ke arah tubuh itu. Tangannya yang kuat menggenggam bahu sang wanita, menariknya ke atas air dengan cepat. Mereka menembus permukaan hingga menimbulkan gelombang besar di atas air.

Sion menyibakkan rambut dari wajah wanita itu dan mendapati kulit pucatnya telah membiru, bibirnya gemetar di antara sadar dan tidak.

Perlahan Sion mengangkat tubuh itu ke atas batu besar. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak liar. Ia menekan perlahan dada wanita itu, memaksa air keluar dari paru-parunya.

Beberapa detik berlalu.

Lalu batuk.

Disusul suara serak yang tidak ia duga.

Sion panik, bergegas ia mengambil botol ramuannya dan mengoleskan ramuan ke seluruh badannya. Ia kembali memasangkan rambut palsu menutupi rambut aslinya. Cahaya elf yang terpancar darinya kembali redup tersembunyi.

“Kenapa… kau menyelamatkanku?” Suaranya pelan tapi tajam seperti duri mawar. Mata yang baru saja terbuka menatap Sion dengan kemarahan yang membuat air sungai pun tampak bergolak.

Sion terdiam sejenak, menatap tajam wanita di depannya. “Kenapa? Memangnya kamu ingin mati?” Tanyanya heran.

Kalau saja bukan untuk alasan kemanusiaan, ia juga tidak mau berurusan dengan elf lain apalagi saat penyamarannya terbuka. Hampir saja ia membuka penyamarannya hanya untuk menolong wanita yang tidak tahu terima kasih itu.

Wanita itu mendorong tubuh Sion menjauh. “Ya, aku memang ingin mati. Itu tujuanku. Dan kau baru saja menggagalkannya,” katanya dengan nada kesal.

Sion bangkit, merapikan rambutnya yang basah, rahangnya mengeras. “Mati dengan cara bunuh diri? Apa semua Kaum Mestiz memang sebodoh dirimu?”

Wanita itu membulatkan mata menatap tajam dengan raut kesal atas kata-kata yang Sion ucapkan.

“Elf yang mati karena bunuh diri tak akan menemui kedamaian. Mereka akan tetap hidup kekal abadi sebagai Orc sampai ujung pedang elf membinasakannya. Atau kau memang ingin hidup kekal abadi sebegai Orc?”

Wanita itu mengernyitkan dahi. “Itu hanya dongeng untuk menakuti anak-anak,” ujarnya.

“Tidak.” Nada Sion kini lebih rendah. “Itu kutukan. Sama seperti warna rambutmu itu,” sindirnya.

Wanita itu memandang ke air. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin atau karena kata-kata itu menusuk relung hatinya yang rapuh.

“Siapa namamu?” Tanya Sion.

Wanita itu tak langsung menjawab. Ia memeluk lututnya, menatap lurus ke sungai.

“Sissel,” jawabnya lirih.

Sion menoleh.

Wanita itu melanjutkan ucapannya dengan nada getir. “Semua yang ada dalam diriku tak lebih dari sebuah kutukan. Kenapa mati pun sulit untuk dilakukan? Adakah elf yang bisa memilih untuk tidak dilahirkan sebagai Mestiz? Apa salahku sampai semua orang membenci dan mengutukku?”

Sion memperhatikan rambut merahnya yang basah dan menempel di wajah wanita itu. Warna yang dianggap noda oleh negeri ini, meski sebenarnya warna itu tampak seperti api yang terus melawan salju.

“Ayahku... Krov. Dulu dia adalah salah seorang prajurit di istana. Nasibnya juga sama mirisnya denganku, terus dihina, diusir dari istana, hanya karena dicintai seorang putri raja.” Matanya menatap kosong. “Putri raja itu bernama Meida.”

Sion seketika membeku.

Meida.

Nama itu seperti guruh yang tiba-tiba menggema di dadanya. Meida adalah adik perempuan ayahnya. Putri Raja Lowin yang memilih meninggalkan istana demi cinta. Demi hidup bersama prajurit biasa. Demi sebuah kehidupan yang bebas dan bahagia.

Sion menatap Sissel. Jadi, gadis yang duduk di hadapannya—yang barusan mencoba mengakhiri hidupnya—adalah sepupunya.

Ia tidak menunjukkan keterkejutannya. Belum saatnya. Mata Sissel terlalu merah oleh luka untuk memahami kenyataan yang lebih dalam dari itu.

Sion bertanya pelan, “Apa yang membuatmu sangat ingin mati?”

Sissel menghela napas. “Setiap hari aku bekerja di ladang, di dapur, di gudang. Selalu ada hinaan, tatapan jijik, juga tangan-tangan yang mencoba menyentuhku dengan alasan yang hina. Mereka bilang, aku iblis berambut darah. Aku lahir dari dosa. Kutukan akan menimpa siapa pun yang dekat denganku.”

Ia menatap Sion, air mata akhirnya mengalir. “Aku lelah. Aku terlalu lelah.”

Sion menatapnya dalam-dalam. Dalam dirinya, amarah tumbuh seperti bara yang dipadamkan paksa. Ia tahu rasa itu. Rasa ditolak, rasa dianggap salah hanya karena siapa dirimu, bukan karena apa yang kau lakukan. Ia hidup dengan perasaan itu setiap hari.

“Bukan hanya kau yang merasakannya,” ucap Sion perlahan.

Sissel menatapnya sembari mengusap air mata. “Apa maksudmu?”

Sion tersenyum samar. “Aku sama sepertimu. Aku tahu rasanya hidup sebagai kalangan bawah, direndahkan, dan setiap hari ingin menyerah. Mereka terlihat bahagia ketika melihat yang mereka hina menderita. Jika kita menyerah sekarang, berarti mereka menang.”

“Tapi kau bukan mestiz,” timpal Sissel.

Sion kembali tersenyum. Andai saja wanita di sampingnya tahu, siapa sejati dirinya, mungkin wanita itu akan berbalik kasihan padanya. Masih lebih beruntung Kaum Mestiz bisa hidup bebas, sementara dirinya harus terus bersembunyi dari cahaya agar bisa hidup.

“Kau pikir elf biasa juga punya banyak pilihan?” Tanyanya.

“Kami hanya bisa bekerja seperti budak sepanjang waktu demi bertahan hidup. Lalu kami akan mati begitu 100 tahun terlewati. Sirna tanpa tersisa dan tidak akan ada yang mengenangnya.”

Sissel kembali mengusap matanya. Lama mereka diam. Hanya angin sungai dan nyanyian burung liar yang berbicara. Perasaannya menjadi lebih tenang merenungi ucapan lelaki itu.

Memang kehidupan elf biasa juga memilukan. Mereka tidak bisa panjang umur seperti para kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Dengan meminum sumber mata air mata suci sungai Zahuire Nemuire mereka bisa kekal abadi asalkan tidak dibunuh atau menginginkan sirna sendiri.

“Aku tidak tahu siapa dirimu,” bisik Sissel. “Tapi... Terima kasih.”

Sion bangkit dan mengulurkan tangan. “Kau bisa berdiri?”

Sissel memandang tangan itu, lalu meraihnya. Tubuhnya masih lemah, tapi langkahnya lebih tegak.

“Aku akan mengantarmu kembali ke pondokkan. Kau terlalu jauh pergi dari kelompokmu,” kata Sion.

Sissel tersenyum getir. “Sebenarnya lebih nyaman sendirian dibandingkan bersama yang lain. Kau sendiri kenapa menyendiri di sini?”

“Seperti yang kamu bilang, memang lebih nyaman sendirian. Itu alasanku ada di sini.”

Sissel tertawa kecil mendengar jawabannya. “Ah, ya … siapa namamu? Dari banyaknya pekerja, baru kali ini aku bertemu denganmu.”

“Sion.”

Terpopuler

Comments

vj'z tri

vj'z tri

sepupu yang tidak sengaja bertemu 🥰🥰🥰

2025-06-03

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Perkebunan Anggur Tallava
2 Bab 2: Cahaya Tersembunyi
3 Bab 3: Seorang Mestiz
4 Bab 4: Telaga Tersembunyi
5 Bab 5: Serangan Orc
6 Bab 6: Pesta Panen Tallava
7 Bab 7: Pangeran Nieville
8 Bab 8: Elf Mulia Zenithia
9 Bab 9: Pemuda yang Banyak Tahu
10 Bab 10: Serpihan Mimpi Kelam
11 Bab 11: Mitos Tentang Naga Es
12 Bab 12: Legenda Acalopsia
13 Bab 13: Perasaan yang Samar
14 Bab 14: Desa Tua Syrren
15 Bab 15: Permohonan dari Sang Pewaris
16 Bab 16: Lantunan Doa di Nevaria
17 Bab 17: Mimbo, Teman Masa Kecil
18 18: Aura Kecantikan Sissel
19 Bab 19: Doa dan Harapan Homuran
20 Bab 20:Kebakaran Ladang Fayye
21 Bab 21: Rayuan Putri Fayye
22 Bab 22: Kekuatan yang Tersembunyi
23 Bab 23: Perayaan Musim Semi di Syrren
24 Bab 24: Di Dalam Kesunyian Gua
25 Bab 25: Sihir Api Kecil
26 Bab 26: Pesta Perjamuan Istana
27 Bab 27: Isi Hati Zenithia
28 Ba 28: Rencana Kegelapan
29 Bab 29: Ambisi Seorang Nona Bangsawan
30 Bab 30: Anugerah Dari Langit
31 Bab 31: Antara Mantra dan Rasa
32 Bab 32: Cara Memakai Sihir
33 Bab 33: Kepergian Sion
34 Bab 34: Pasar Rakyat Kaelmoor
35 Bab 35: Rahasia Penginapan
36 Bab 36: Lorong Gudang Rahasia
37 Bab 37: Rahasia Tambang Garya
38 Bab 38: Serangan Rauk
39 Bab 39: Kegemparan di Barak Prajurit
40 Bab 40: Permintaan Raja
41 Bab 41: Komandan yang Terbuang
42 Bab 42: Pertolongan Uta
43 Bab 43: Hanyut di Sungai
44 Bab 44: Hilangnya Sissel
45 Bab 45: Selimut Hidup Pangeran
46 Bab 46: Penangkapan Sion
47 Bab 47: Perasaan yang Tumbuh
48 Bab 48: Pengharapan Zenithia
49 Bab 49: Sion Kembali ke Istana
50 Bab 50: Percakapan Antara Val dan Sion
51 Bab 51: Berlatih Sihir
52 Bab 52: Kehadiran Orc
53 Bab 53: Pesan Raja R'hu
54 Bab 54: Nasihat Pendeta Xiberius
55 Bab 55: Kecurigaan Val
56 Bab 56: Jejak di Gua Tersembunyi
57 Bab 57: Pilihan yang Sulit
58 Bab 58: Perjalanan Pulang
59 Bab 59: Pertemuan Kembali
60 Bab 60: Perdebatan Menunggang Kuda
61 Bab 61: Kedatangan Jenderal Fardaq
62 Bab 62: Malam Sunyi di Desa Syrren
63 Bab 63: Di Balik Tembok Istana
64 Bab 64: Jangan Libatkan Putriku
Episodes

Updated 64 Episodes

1
Bab 1: Perkebunan Anggur Tallava
2
Bab 2: Cahaya Tersembunyi
3
Bab 3: Seorang Mestiz
4
Bab 4: Telaga Tersembunyi
5
Bab 5: Serangan Orc
6
Bab 6: Pesta Panen Tallava
7
Bab 7: Pangeran Nieville
8
Bab 8: Elf Mulia Zenithia
9
Bab 9: Pemuda yang Banyak Tahu
10
Bab 10: Serpihan Mimpi Kelam
11
Bab 11: Mitos Tentang Naga Es
12
Bab 12: Legenda Acalopsia
13
Bab 13: Perasaan yang Samar
14
Bab 14: Desa Tua Syrren
15
Bab 15: Permohonan dari Sang Pewaris
16
Bab 16: Lantunan Doa di Nevaria
17
Bab 17: Mimbo, Teman Masa Kecil
18
18: Aura Kecantikan Sissel
19
Bab 19: Doa dan Harapan Homuran
20
Bab 20:Kebakaran Ladang Fayye
21
Bab 21: Rayuan Putri Fayye
22
Bab 22: Kekuatan yang Tersembunyi
23
Bab 23: Perayaan Musim Semi di Syrren
24
Bab 24: Di Dalam Kesunyian Gua
25
Bab 25: Sihir Api Kecil
26
Bab 26: Pesta Perjamuan Istana
27
Bab 27: Isi Hati Zenithia
28
Ba 28: Rencana Kegelapan
29
Bab 29: Ambisi Seorang Nona Bangsawan
30
Bab 30: Anugerah Dari Langit
31
Bab 31: Antara Mantra dan Rasa
32
Bab 32: Cara Memakai Sihir
33
Bab 33: Kepergian Sion
34
Bab 34: Pasar Rakyat Kaelmoor
35
Bab 35: Rahasia Penginapan
36
Bab 36: Lorong Gudang Rahasia
37
Bab 37: Rahasia Tambang Garya
38
Bab 38: Serangan Rauk
39
Bab 39: Kegemparan di Barak Prajurit
40
Bab 40: Permintaan Raja
41
Bab 41: Komandan yang Terbuang
42
Bab 42: Pertolongan Uta
43
Bab 43: Hanyut di Sungai
44
Bab 44: Hilangnya Sissel
45
Bab 45: Selimut Hidup Pangeran
46
Bab 46: Penangkapan Sion
47
Bab 47: Perasaan yang Tumbuh
48
Bab 48: Pengharapan Zenithia
49
Bab 49: Sion Kembali ke Istana
50
Bab 50: Percakapan Antara Val dan Sion
51
Bab 51: Berlatih Sihir
52
Bab 52: Kehadiran Orc
53
Bab 53: Pesan Raja R'hu
54
Bab 54: Nasihat Pendeta Xiberius
55
Bab 55: Kecurigaan Val
56
Bab 56: Jejak di Gua Tersembunyi
57
Bab 57: Pilihan yang Sulit
58
Bab 58: Perjalanan Pulang
59
Bab 59: Pertemuan Kembali
60
Bab 60: Perdebatan Menunggang Kuda
61
Bab 61: Kedatangan Jenderal Fardaq
62
Bab 62: Malam Sunyi di Desa Syrren
63
Bab 63: Di Balik Tembok Istana
64
Bab 64: Jangan Libatkan Putriku

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!