5. Bukan bodoh

KANTOR ARTA KARYA INTERIOR

Ruang kerja David dipenuhi cahaya matahari yang memantul dari dinding kaca. Sebuah notifikasi email menyala di layar laptopnya. Ia membacanya sekilas—dan senyumnya langsung mengembang tipis.

“Perwakilan Mahardika Grup ingin bertemu. Bersamamu dan istrimu,” bunyi pesan itu.

Dari sisi kanan ruangan, Tessa, sekretaris pribadi sekaligus wanita simpanannya, menyodorkan secangkir kopi sambil bersandar di meja kerja. Matanya menyipit, suaranya manja tapi tajam.

“Kenapa harus istrimu ikut juga, sih?”

David hanya tertawa pendek, lalu menarik pinggang Tessa dan mendudukkannya di pangkuannya.

“Kau tahu sendiri alasannya,” bisiknya, mencium leher Tessa perlahan. “Perusahaan ini atas nama Ghea. Aku cuma bertahan di pernikahan itu karena perusahaan.”

Tessa menatapnya penuh rasa tak puas.

“Sampai kapan?”

David meneguk kopinya sebelum menjawab. Tatapannya kosong sejenak, lalu menyeringai.

“Sampai aku bisa menguasai semuanya. Setelah itu... kita bebas.”

Butik belum buka. Ghea datang lebih awal dari biasanya. Vika, yang mengurus butik sepenuhnya, merasa heran melihat Ghea datang pagi-pagi.

Ghea menata scarf (syal) di etalase butik dengan rapi. Tangannya cekatan, namun matanya kosong dan berselimut awan gelisah. Senyumnya tampak lemah, seolah hanya tempelan untuk menyembunyikan badai dalam dadanya.

Vika meletakkan tasnya sambil mengamati Ghea seksama.

"Tumben kamu datang pagi-pagi?"

"Lagi pengen aja," jawab Ghea tanpa menoleh, suaranya datar namun terdengar jelas ketegangan di baliknya.

Vika menyipitkan mata, mengenal Ghea terlalu baik untuk tidak merasakan bahwa ada sesuatu yang salah.

“Kamu sakit?”

Ghea menggeleng sambil tersenyum. “Enggak, cuma kurang tidur aja.” Tapi matanya kosong.

Vika mengernyit kesal, melipat tangan di dada.

"Ghea... dari SMP kita bareng. Jangan coba-coba bohong sama aku pake senyum tipis kayak gitu. Beberapa hari ini kamu kelihatan gak baik-baik aja. Ada apa?"

"Enggak ada apa-apa, Vik." suaranya datar, terlalu datar untuk seseorang yang cuma kurang tidur.

Vika menghampiri Ghea, sorot matanya penuh tanya. Nada suaranya lebih lembut, tapi tetap tegas.

"Kamu kenapa? Ada masalah apa? Kamu bisa cerita apa aja ke aku. Rumah tangga? Atau apapun itu."

Ia tahu Ghea bukan tipe yang gampang bercerita. Tapi sorot matanya hari ini... terlalu dalam. Terlalu kosong.

Vika mengenal Ghea hampir seumur hidupnya, dan satu hal yang ia tahu pasti:

Ghea tak pernah punya masalah berarti, kecuali soal rumah tangga.

Soal momongan, misalnya. Sudah lima belas tahun menikah, Ghea belum juga dikaruniai anak. Tapi selama ini, Ghea tak pernah menunjukkan raut seputus asa ini hanya karena itu.

Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam. Lebih menyakitkan.

Apalagi, setahun terakhir Ghea sempat beberapa kali mengeluh. Tentang David yang mulai sering pulang larut malam, bahkan tak pulang. Alasan lembur, tugas luar kota yang mendadak, dan makin jarangnya mereka makan malam bersama.

Vika menatapnya dalam, dan tanpa ragu bertanya,

“Apa kamu lihat David sama perempuan lain? Dia selingkuh?”

Langsung. To the point. Tanpa basa-basi.

Bahu Ghea menegang. Bibirnya gemetar. Tapi ia tetap diam.

Vika mendekat, menggenggam pergelangan tangan Ghea. Lembut, tapi mantap.

“Kamu liat sendiri?”

Akhirnya Ghea mengangguk kecil. Seperti pengakuan kalah dalam perang yang bahkan tak pernah ia mulai.

Sebenarnya, Ghea ingin diam. Menyimpan luka itu rapat-rapat, menguburnya dalam-dalam di balik wajah tenangnya. Tapi menghadapi Vika… selalu berbeda.

Vika bukan sekadar sahabat.

Jika David adalah suaminya—satu-satunya tempat Ghea bersandar dan menambatkan seluruh kepercayaan serta harapan emosionalnya,

maka Vika adalah seperti kakak—tempat Ghea pulang saat dunia terasa runtuh di sekelilingnya.

Dan ketika kepercayaannya pada David hancur, satu-satunya manusia yang tersisa—yang benar-benar peduli, yang tak akan menghakimi atau meninggalkannya—hanyalah Vika.

Ia tak punya siapa-siapa lagi.

Dan mungkin, karena itulah, mulutnya terbuka.

“Aku melihatnya,” bisik Ghea, nyaris tanpa suara. “Dia... bercinta dengan sekretarisnya. Di kantor.”

Sekejap, mata Vika melebar.

“WHAT?! Dasar bajingan! Buaya buntung! Gak punya akhlak!”

Vika membentak, suaranya melengking penuh amarah. Rahangnya mengeras, tangan kirinya terkepal erat, seolah menahan dorongan untuk melempar atau memukul sesuatu.

“Aku pengen banget ngehajar dia!” lanjutnya, nadanya rendah namun tajam.

Ia menarik napas panjang, matanya masih menyala, berusaha keras mengontrol luapan emosinya. Tapi suaranya tetap bergetar.

“Terus... kamu apain?”

Ghea hanya menggeleng pelan. Tak ada suara.

Vika mendelik. Matanya campur aduk antara kecewa, marah, dan sayang.

“GHEA! Kamu diem aja?! Kenapa gak kamu hajar tuh cewek?! Kenapa gak labrak David juga?! Kamu itu istri sah, Ghe! Bukan figuran dalam hidup dia! Apalagi perusahaan itu punya kamu! Buang jauh-jauh buaya darat kayak David!”

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Ghea. Tapi ia tetap tenang. Ia menunduk, menggenggam scarf yang belum selesai ia lipat. Suaranya lirih, tapi tegas:

“Karena aku bukan perempuan yang akan balas dengan cara brutal.”

Vika menggeleng keras, ekspresinya penuh amarah.

“Tapi mereka udah nginjak-nginjak harga diri kamu, Ghe!”

Ghea mengangkat wajahnya. Suaranya kini lebih jelas, penuh luka dan keyakinan.

“Aku pacaran sama David lima tahun sebelum menikah. Dan sekarang, udah lima belas tahun jadi istrinya. Dua puluh tahun, Vik. Dua dekade. Cinta dan kenangan selama itu... nggak bisa dihapus cuma karena satu malam yang paling menyakitkan dalam hidupku.”

Vika terdiam. Kata-kata Ghea seperti tamparan halus, tapi dalam.

“Aku pengen marah, aku pengen teriak. Tapi kalau aku lakukan itu, hasilnya apa?” Ghea menatap tajam sahabatnya. “Aku cuma akan terlihat lemah. Seolah aku nggak bisa jaga milikku, seolah laki-laki yang kucintai bisa direnggut begitu saja. Walau kenyataannya emang begitu... tapi aku gak mau nunjukinnya, Vik. Meski aku gak bisa bohongi hatiku—kalau aku masih cinta dia."

Ghea memalingkan wajah sejenak. Matanya berkaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. Lalu suaranya kembali, kali ini lebih tenang, tapi penuh luka.

“Kalau aku meledak karena emosi, David malah akan merasa aku butuh dia. Dia merasa di atas angin.”

Vika menunduk. Suaranya lirih namun penuh penekanan.

“Kamu manusia, Ghe... bukan robot. Kalau kamu terus nahan diri, kamu bakal tersiksa sendiri.”

“Aku tahu.” Ghea mengangguk, tenang namun getir. “Tapi aku harus kuat, harus tetap berdiri.”

Vika mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya menajam—penuh kemarahan, kecewa, dan keberanian yang tak bisa ia tahan lagi.

“Mending kau ceraikan aja buaya buntung itu.”

Ghea menghela napas. Bibirnya melengkung membentuk senyum pahit, mata menatap kosong sejenak.

"Ini bukan cinta monyet, Vik. Ini pernikahan. Bukan mainan.

Setiap hubungan pasti ada masalah. Dan kalau setiap masalah diselesaikan dengan cerai... berapa banyak rumah tangga yang akan hancur?”

Vika menarik napas dalam. Masih tak setuju, tapi mulai memahami.

“Jadi... kamu mau maafin parasit sialan itu?”

Ghea menunduk lagi. Suaranya nyaris pecah. Tapi tekadnya bulat.

“Aku berpikir, kalau masih bisa diperbaiki, aku harus mencoba. Mungkin aku belum jadi istri yang sempurna. Mungkin aku kurang perhatian, kurang peka... sampai dia cari yang lain.”

“Ghe...” Vika menatap Ghea dengan mata kecewa, gemas, dan iba. “Buat apa kamu lakuin itu? Dia udah khianatin kamu, lho. Apa kau... bodoh? Bulol?!”

Ghea menghela napas panjang, menatap sahabatnya dengan lembut tapi mantap.

“Bukan karena aku bodoh, Vik. Tapi karena aku ingin tahu... apa memang sudah tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Atau... aku cuma menyerah terlalu cepat.”

Vika menatap Ghea lama. Lalu menggeleng pelan. Ia tidak setuju, tapi juga tak bisa membantah.

“Jadi... kamu pikir masih bisa diselamatkan?”

...🔸🔸🔸...

..."Diam bukan karena tak mampu marah, tapi karena tahu harga diri lebih tinggi dari amarah."...

..."Diam bukan berarti kalah. Itu cara paling tenang untuk melawan, saat harga diri dipertaruhkan."...

..."Sahabat sejati adalah yang tetap tinggal saat yang lain pergi."...

..."Nana 17 Oktober"...

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

phity

phity

balas dgn elegan gea,...ambil smua hak kmu dlu lalu stelah itu hempaskan biar david tau klo kmu ad wanita terhormat dan punya hrga diri kmu bukan wanita bodoh yg bsa di manfaatkan. ayo kmu psti bsa beljar kan ambil alih perusahaan beljar lah ttg bisnis dr vika atupun leon,...setlh smua ats namamu kmbali termsuk apartemen tessa ingt itu uang perusahaan uang hak mu...ambil semuanya. klo kalian sdh 15 thun menikah lalu blum ad anak dan dokter blng tdk ad msalah dgn kandunganmu ya berarti david yg mandul...sy curiga sjk awal dia nikahin kmu krn perusshaan ayahmu

2025-06-03

5

Ais

Ais

bnr seh lebih baik mencoba dl memperbaiki tp klo sdh berkali kali menyaksikan kebrengsekan suami mokondo gn ya kasihlah pelajaran berharga yg bikin si mokondo sm jalangnya ngak akan lupa smp mereka merasa mati segan hidup apalg udah ngak mau pokoknya kasih pelajaran dl sblm dicerai sm ghea

2025-06-03

2

Anonim

Anonim

Ghea....big hug for you.
David mau rebut perusahaan warisan orang tuamu - sepertinya David punya rencana mau hidup bersama selingkuhnya. Ghea kenapa kau masih punya pikiran untuk mempertahankan pernikahan yang sudah tidak sehat. Sepertinya nanti Leon-lah penolongmu

2025-06-03

1

lihat semua
Episodes
1 1. Kesepakatan Gila
2 2. Sedikit Harapan
3 3. Urusan Mendadak
4 4. Varendra Mahardika
5 5. Bukan bodoh
6 6. Topeng
7 7. Di Bawah Meja
8 8. Cemburu
9 9. Curiga
10 10. Tempat Pelarian
11 11. Hati Lebih Jujur
12 12. Ciuman di Ambang Batas
13 13. Ide
14 14. Membakar Hati
15 15. Terbaca
16 16. Hampir Putus Asa
17 17. Kompensasi
18 18. Antara Hati dan Logika
19 19. Antara Hasrat dan Logika
20 20. Pengkhianat Logika
21 21. Basah
22 22. Tak Ada Lagi Leon
23 23. Satu Ranjang
24 24. Menolak Sentuhan
25 25. Rencana
26 26. Godaan di Meja Makan
27 27. Syak Wasangka
28 28. Terlambat
29 29. Kartu
30 30. Syarat
31 31. Mencintai dalam Diam
32 32. Curiga
33 33. Takut
34 34. Dominasi Diam Seorang Berondong
35 35. Tanda Tanya
36 36. Tunjukkan Sedikit Penghargaan, Sayang!
37 37. Percaya Diri
38 38. Melogika
39 39. Bekapan
40 40. Kehilangan
41 41. Bukan Orang yang Sama
42 42. Muak
43 43. Lelah Mental
44 44. Enggan Mengaku
45 45. Tiga Langkah di Depan
46 46. Belajar di Tengah Godaan
47 47. Ajakan Berdansa
48 48. Kecewa
49 49. Panggung Sandiwara
50 50. Surat Perjanjian
51 51. Pelajaran Tambahan
52 52. Mengambil Alih
53 53. Saling Menyalahkan
54 54. Pengakuan
55 55. Kesempatan
56 56. Ancaman
57 57. Kagum
58 58. Wedding
59 59. Pertanyaan
60 60. Lelah
61 61. Keputusan
62 62. Efek Visual
63 63. Gara-gara Merger
64 64. Merger dan Bekas Cinta
65 65. Hampir Saja
66 66. Revisi dan Penangguhan
67 67. Pertanyaan yang Sempat Terlupakan
68 68. Rahasia Dibalik Cinta
69 69. Pengakuan
70 70. Tercabik
71 71. Iri
72 72. Tambahan
73 73. Umpan
74 74. Menuntut
75 75. Transformasi
76 76. Bukti
77 77. Bayangan Penjaga
78 78. Menanggung Sendiri
79 79. Hanya Jessi
80 80. Pembicaraan Empat Mata
81 81. Janji Hati
82 82. Hanya Ingin Tahu
83 83. Sampah
84 84. Mangsa
85 85. Game Over
86 86. Berubah
87 87. Dua Garis yang Terlewat
88 88. Panik
89 89. Dengan atau Tanpa Anak
90 90. Hangat
91 91. Kangen Ditengok
Episodes

Updated 91 Episodes

1
1. Kesepakatan Gila
2
2. Sedikit Harapan
3
3. Urusan Mendadak
4
4. Varendra Mahardika
5
5. Bukan bodoh
6
6. Topeng
7
7. Di Bawah Meja
8
8. Cemburu
9
9. Curiga
10
10. Tempat Pelarian
11
11. Hati Lebih Jujur
12
12. Ciuman di Ambang Batas
13
13. Ide
14
14. Membakar Hati
15
15. Terbaca
16
16. Hampir Putus Asa
17
17. Kompensasi
18
18. Antara Hati dan Logika
19
19. Antara Hasrat dan Logika
20
20. Pengkhianat Logika
21
21. Basah
22
22. Tak Ada Lagi Leon
23
23. Satu Ranjang
24
24. Menolak Sentuhan
25
25. Rencana
26
26. Godaan di Meja Makan
27
27. Syak Wasangka
28
28. Terlambat
29
29. Kartu
30
30. Syarat
31
31. Mencintai dalam Diam
32
32. Curiga
33
33. Takut
34
34. Dominasi Diam Seorang Berondong
35
35. Tanda Tanya
36
36. Tunjukkan Sedikit Penghargaan, Sayang!
37
37. Percaya Diri
38
38. Melogika
39
39. Bekapan
40
40. Kehilangan
41
41. Bukan Orang yang Sama
42
42. Muak
43
43. Lelah Mental
44
44. Enggan Mengaku
45
45. Tiga Langkah di Depan
46
46. Belajar di Tengah Godaan
47
47. Ajakan Berdansa
48
48. Kecewa
49
49. Panggung Sandiwara
50
50. Surat Perjanjian
51
51. Pelajaran Tambahan
52
52. Mengambil Alih
53
53. Saling Menyalahkan
54
54. Pengakuan
55
55. Kesempatan
56
56. Ancaman
57
57. Kagum
58
58. Wedding
59
59. Pertanyaan
60
60. Lelah
61
61. Keputusan
62
62. Efek Visual
63
63. Gara-gara Merger
64
64. Merger dan Bekas Cinta
65
65. Hampir Saja
66
66. Revisi dan Penangguhan
67
67. Pertanyaan yang Sempat Terlupakan
68
68. Rahasia Dibalik Cinta
69
69. Pengakuan
70
70. Tercabik
71
71. Iri
72
72. Tambahan
73
73. Umpan
74
74. Menuntut
75
75. Transformasi
76
76. Bukti
77
77. Bayangan Penjaga
78
78. Menanggung Sendiri
79
79. Hanya Jessi
80
80. Pembicaraan Empat Mata
81
81. Janji Hati
82
82. Hanya Ingin Tahu
83
83. Sampah
84
84. Mangsa
85
85. Game Over
86
86. Berubah
87
87. Dua Garis yang Terlewat
88
88. Panik
89
89. Dengan atau Tanpa Anak
90
90. Hangat
91
91. Kangen Ditengok

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!