4. Varendra Mahardika

Leon bangkit dan meraih pergelangan tangan Ghea. Lembut. Tapi tegas.

Dan tiba-tiba, ibu jarinya menyentuh bibir Ghea. Satu gerakan kecil, intim, membuat udara di sekitar mereka menghilang. Tatapannya menusuk, liar, dan memabukkan. Lalu tanpa peringatan, dia mengusap sudut bibir wanita itu dan… menjilatinya.

Tubuh Ghea membeku.

“Logikamu boleh bohong, Ghea. Tapi tubuhmu waktu itu… matamu… cara kamu gemetar di pelukanku—itu semua nggak bisa bohong.”

Ghea mengerjap. Kata-kata itu tak cuma mengguncangnya. Mereka menusuk, mencabik sisa-sisa kendali yang berusaha ia pertahankan.

“Kamu harus berhenti,” bisiknya, nyaris memohon. “Aku istri orang, Leon…”

Leon menatap matanya, lekat. Tak ada ejekan di sana. Hanya tatapan lelaki yang melihat retakan yang selama ini Ghea sembunyikan dari semua orang.

“Tapi kamu kesepian. Disakiti. Dikhianati. Dan kamu butuh seseorang yang… hadir. Yang benar-benar lihat kamu.”

Ghea tersentak. Jantungnya mencelos.

"Bagaimana dia bisa tahu?

Bagaimana bisa seakurat itu?

Apa dia... menyelidiki aku?"

Ghea menarik napas berat. Kepalanya berdenyut, pikirannya penuh sesak. Dinding-dinding yang ia bangun dengan susah payah mulai retak. Suaranya bergetar saat ia berusaha menahan badai dalam dirinya.

“Aku harus pergi…” ucapnya cepat, nyaris tak terdengar.

Ia menepis tangan Leon dan melangkah cepat meninggalkan meja. Napasnya pendek. Panik. Tapi sebelum ia benar-benar menjauh, suara Leon kembali terdengar—pelan, namun menghantam seperti peluru.

“Berapa lama kamu mau bertahan di pernikahan kosong, Ghea? Sampai kamu nggak punya apa-apa lagi dari dirimu sendiri?”

Langkah Ghea terhenti. Seketika.

"Apa maksudnya?

Dari mana dia tahu bahwa ini... pernikahan kosong?

Apa David sudah lama mengkhianatiku? Dan aku... selama ini terlalu buta untuk melihatnya?"

Ia menggenggam tasnya erat, begitu kuat hingga kukunya menancap ke kulit. Matanya memanas, tapi ia tak menoleh. Ia tahu, jika ia menoleh... ia akan jatuh. Ia akan roboh.

"Leon... siapa kamu sebenarnya?"

"Apa kamu bagian dari jebakan? Atau kamu satu-satunya yang benar-benar melihatku?"

Dan saat ia berjalan pergi, langkahnya kaku namun cepat, Leon hanya berdiri di sana, menatap punggungnya seperti pria yang tahu:

wanita itu belum selesai dengannya.

Bibirnya bergerak, nyaris tak terdengar.

“Kamu pikir aku cuma bayang-bayang, Ghea? Tunggu sampai kamu sadar… aku adalah realita yang selama ini kamu inginkan.”

 

Di Butik - Kamar Mandi

Ghea menatap pantulan dirinya di cermin.

Wajah yang biasa ia kenali sekarang tampak asing. Ada sembab di sana. Ada mata lelah yang tak ia sadari selama ini.

“Kapan terakhir kali kami tertawa berdua?”

“Kapan terakhir kali David menyentuhku... bukan hanya karena kewajiban?”

“Kapan kami benar-benar jadi suami-istri, bukan sekadar rekan bisnis yang tinggal serumah?”

Tangannya menggenggam wastafel erat.

Ia mencoba menarik napas panjang, tapi sesak itu tak hilang.

Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan.

Ia tidak ingin menangis... lagi.

Akhirnya ia menyerah. Ia tahu dirinya tidak akan bisa menyelesaikan apapun hari ini.

Ia mengemasi barang-barangnya dan pulang lebih awal.

 

Sesampainya di rumah, Ghea naik ke kamar. Ia duduk di ranjang, mencoba mengingat sesuatu—apapun.

Tapi yang muncul justru pertanyaan pahit.

"Apa benar selama ini aku terlalu sibuk?"

"Apa karena aku terlalu nyaman dengan kesibukan, hingga tak sadar semuanya berubah?"

Ia membuka laci meja kerja David—bukan untuk mengintip, tapi sekadar ingin merasa dekat lagi dengan suaminya.

Namun di antara kertas-kertas kerja, ia menemukan amplop putih mencolok.

Tanpa sadar, tangannya gemetar saat membukanya.

Slip pembayaran.

Logo developer mewah.

Unit apartemen di kawasan elit.

Atas nama Tessa Sabila.

Lunas.

Tunai.

Ghea membeku.

Jantungnya berdetak tak karuan, tapi tubuhnya tak bergerak.

Tangannya mencengkeram slip itu erat.

"Dia membelikan pelakor itu apartemen? Apartemen mewah?!"

"Dan aku di rumah ini... masih berpikir aku bisa memperbaiki semuanya?"

Kertas itu jatuh dari tangannya.

Tangis yang ia tahan sejak pagi akhirnya pecah tanpa bisa dihentikan.

“Bodoh. Aku bodoh."

"Aku yang diam-diam belajar cara membuat masakan kesukaannya."

"Aku yang tetap menunggunya pulang meski tahu ia pulang larut."

"Aku yang rela pura-pura tak tahu dia berkhianat... demi tetap bisa menyebut rumah ini rumah tangga.”

“Tapi dia?"

"Dia memberi rumah pada wanita lain…”

"Aku bukan cuma patah."

"Aku hancur. Habis."

"Tapi tetap saja, aku masih ingin tahu…"

"Apa yang salah dariku?”

Ghea menunduk, air mata membasahi gaunnya.

Namun di sela tangis, ia menggigit bibir bawahnya—keras.

“Tidak… tidak… aku tak boleh terus begini."

"Aku gak boleh lemah. Aku harus bangkit dan berjuang.”

Ia menyeka air matanya dengan telapak tangan gemetar.

Matanya sembab, tapi sorotnya mulai berubah.

Ada nyala kecil di sana.

Nyala yang selama ini tertimbun rasa percaya... dan dikhianati.

 

Gedung Mahardika Group menjulang kokoh di tengah ibu kota, bangunan kaca raksasa dengan desain modern dan aura kekuasaan yang mencekam. Sebuah mobil hitam legam berhenti tepat di pintu masuk utama.

Dari dalamnya, keluar seorang pria berjas abu gelap, masker hitam menutupi separuh wajahnya, rambut hitam gelap sebahu tergerai seperti bayangan malam. Langkahnya tegap, berirama tenang, namun menyimpan tekanan yang membuat siapa pun menahan napas saat ia lewat.

Varendra Mahardika.

CEO paling muda dan paling tertutup di negara ini. Ia tak pernah tampil di media, tak pernah memberikan wawancara, tak satu pun wanita yang bisa mendekat lebih dari satu meter darinya. Dunia hanya mengenalnya dari rumor—bahwa suaranya dalam seperti gemuruh, bahwa ia menolak semua sentuhan manusia, dan bahwa ia menatap seolah mampu melihat isi pikiranmu.

Di belakang masker itu, tak ada senyum. Tak ada ampun.

Semua pegawai berdiri dan menunduk saat ia melintas. Seperti angin dingin dari utara, kehadirannya menghempas dengan tekanan tak kasatmata. Rafael, sang asisten pribadi, berdiri paling depan, iPad di tangan, jas rapi, wajah kaku seperti prajurit siap mati.

“Selamat pagi, Tuan Mahardika,” sapa Rafael singkat.

Varendra tak menjawab. Hanya anggukan pelan sebelum melangkah masuk.

“Proposal kerja sama dari Arta Karya Interior baru saja masuk ke sistem kita,” lapor Rafael, mencoba menyamakan langkah.

Ia menelan ludah sebelum melanjutkan, “Perusahaan itu dipimpin oleh David Harliwan.”

Langkah Varendra mendadak terhenti.

Tak ada suara. Tapi udara di sekeliling seolah membeku.

Sepasang mata di balik masker itu menatap lurus ke depan—dingin, tajam, menusuk.

“David Harliwan,” gumamnya rendah. Suaranya berat dan datar. “Suami dari Ghea Amarathana?”

“Iya, Tuan,” jawab Rafael hati-hati.

Ia tak berani menambahkan apa-apa, meski dalam hati kalimat itu nyaris meluncur:

"Suami dari wanita yang diam-diam fotonya selalu Tuan pandangi."

Lalu… Varendra tertawa. Pendek. Pelan.

Dingin seperti ujung pisau es.

“Pria brengsek itu,” desisnya. “Leon akan menemuinya.”

Leon. Lagi?

Rafael menoleh sekilas. Ia sudah terlalu sering mendengar nama itu.

Seseorang yang tak tercatat dalam struktur perusahaan. Tak punya ruangan. Tak pernah hadir di rapat direksi. Tapi tiap kali ada klien penting—terutama wanita—Varendra hanya berkata:

"Leon yang akan menemuinya."

Dan kini, Leon akan dikirim untuk menemui... David.

Suami dari Ghea Amarathana.

Rafael mengangguk pelan, menurunkan pandangannya, menyembunyikan kerutan di dahinya.

“Tentu, Tuan. Akan saya atur jadwalnya.”

Ghea.

Rafael ingat betul foto itu. Bukan dari media sosial. Bukan dari media manapun.

Sebuah foto candid—seorang wanita duduk di teras kafe, menatap langit dengan senyum tipis.

Momen yang terlalu tenang… terlalu intim… untuk sekadar kekaguman dari jauh.

Ghea.

Wanita yang dikenal kalangan sosialita sebagai istri dari David Harliwan—arsitek berbakat yang kini menjabat CEO Arta Karya Interior.

Namun hanya sedikit yang tahu siapa dia sebenarnya: Ghea Amarathana, putri tunggal mendiang pemilik perusahaan tersebut. Warisan bisnis itu berpindah ke tangan David setelah ayahnya meninggal—bukan karena paksaan, tapi karena Ghea memang tak pernah tertarik menekuni dunia korporat.

Ia lebih suka menggambar sketsa gaun, memilih kain, mencocokkan warna, dan merancang pakaian. Ia mendirikan butik kecil, lalu menyerahkan pengelolaannya pada sahabatnya, Vika—karena ia sendiri tak pernah pandai berbisnis.

Merancang pakaian bukan pelarian—melainkan panggilan.

Ia tahu dirinya bukan pewaris yang ideal untuk duduk di kursi pimpinan.

Tapi sebagai perancang busana, Ghea tahu persis siapa dirinya.

Saat mereka kembali berjalan, Rafael menatap punggung Varendra yang kembali melangkah. Tegas. Tak tergoyahkan.

Ada banyak hal yang tak ia mengerti dari pria ini.

Tapi satu hal kini terasa pasti:

Tak satu pun wanita bisa menembus benteng Varendra Mahardika.

Kecuali wanita itu… Ghea.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

Felycia R. Fernandez

Felycia R. Fernandez

ambil kembali semua harta mu Ghea...
jangan sisakan apapun untuk mokondo...
biar Jallang nya tau siapa yang punya perusahaan...
kamu sih terlalu percaya sama suami sampah mu...
gak kepikiran suatu saat akan ada badai karena kamu terlalu bucin dengan suami mu...
mengganggap semua nya akan baik baik saja...

2025-06-02

6

Anonim

Anonim

Ghea terlalu percaya pada suaminya saking cintanya sampai dibohongi habis-habisan baru tersadar sekarang.
Leon sepertinya sudah tahu siapa Ghea sebelum di tawarin untuk menghamilinya.
Leon ternyata CEO Mahardika Group dengan nama Varendra Mahardika.
Apakah Leon nantinya menolong Ghea untuk mengambil alih perusahaan yang sekarang di pegang David ?

2025-06-03

1

asih

asih

wkwkwkwk Saya curiga kalau Leon adlh Narendra mahardika DIA memainkan 2 peran disini kayaknya ,...
yah ghea walau kau tak pandai berbisnis jangan Mau di kibulin lah ma tuh tuh laki mokondo ambil semua hartamu bekukan semua akses perusahaan dr mokondo biar g bisa senang² lagi kalau pelru sunat Abi's tuh pisang

2025-06-02

2

lihat semua
Episodes
1 1. Kesepakatan Gila
2 2. Sedikit Harapan
3 3. Urusan Mendadak
4 4. Varendra Mahardika
5 5. Bukan bodoh
6 6. Topeng
7 7. Di Bawah Meja
8 8. Cemburu
9 9. Curiga
10 10. Tempat Pelarian
11 11. Hati Lebih Jujur
12 12. Ciuman di Ambang Batas
13 13. Ide
14 14. Membakar Hati
15 15. Terbaca
16 16. Hampir Putus Asa
17 17. Kompensasi
18 18. Antara Hati dan Logika
19 19. Antara Hasrat dan Logika
20 20. Pengkhianat Logika
21 21. Basah
22 22. Tak Ada Lagi Leon
23 23. Satu Ranjang
24 24. Menolak Sentuhan
25 25. Rencana
26 26. Godaan di Meja Makan
27 27. Syak Wasangka
28 28. Terlambat
29 29. Kartu
30 30. Syarat
31 31. Mencintai dalam Diam
32 32. Curiga
33 33. Takut
34 34. Dominasi Diam Seorang Berondong
35 35. Tanda Tanya
36 36. Tunjukkan Sedikit Penghargaan, Sayang!
37 37. Percaya Diri
38 38. Melogika
39 39. Bekapan
40 40. Kehilangan
41 41. Bukan Orang yang Sama
42 42. Muak
43 43. Lelah Mental
44 44. Enggan Mengaku
45 45. Tiga Langkah di Depan
46 46. Belajar di Tengah Godaan
47 47. Ajakan Berdansa
48 48. Kecewa
49 49. Panggung Sandiwara
50 50. Surat Perjanjian
51 51. Pelajaran Tambahan
52 52. Mengambil Alih
53 53. Saling Menyalahkan
54 54. Pengakuan
55 55. Kesempatan
56 56. Ancaman
57 57. Kagum
58 58. Wedding
59 59. Pertanyaan
60 60. Lelah
61 61. Keputusan
62 62. Efek Visual
63 63. Gara-gara Merger
64 64. Merger dan Bekas Cinta
65 65. Hampir Saja
66 66. Revisi dan Penangguhan
67 67. Pertanyaan yang Sempat Terlupakan
68 68. Rahasia Dibalik Cinta
69 69. Pengakuan
70 70. Tercabik
71 71. Iri
72 72. Tambahan
73 73. Umpan
74 74. Menuntut
75 75. Transformasi
76 76. Bukti
77 77. Bayangan Penjaga
78 78. Menanggung Sendiri
79 79. Hanya Jessi
80 80. Pembicaraan Empat Mata
81 81. Janji Hati
82 82. Hanya Ingin Tahu
83 83. Sampah
84 84. Mangsa
85 85. Game Over
86 86. Berubah
87 87. Dua Garis yang Terlewat
88 88. Panik
89 89. Dengan atau Tanpa Anak
90 90. Hangat
91 91. Kangen Ditengok
Episodes

Updated 91 Episodes

1
1. Kesepakatan Gila
2
2. Sedikit Harapan
3
3. Urusan Mendadak
4
4. Varendra Mahardika
5
5. Bukan bodoh
6
6. Topeng
7
7. Di Bawah Meja
8
8. Cemburu
9
9. Curiga
10
10. Tempat Pelarian
11
11. Hati Lebih Jujur
12
12. Ciuman di Ambang Batas
13
13. Ide
14
14. Membakar Hati
15
15. Terbaca
16
16. Hampir Putus Asa
17
17. Kompensasi
18
18. Antara Hati dan Logika
19
19. Antara Hasrat dan Logika
20
20. Pengkhianat Logika
21
21. Basah
22
22. Tak Ada Lagi Leon
23
23. Satu Ranjang
24
24. Menolak Sentuhan
25
25. Rencana
26
26. Godaan di Meja Makan
27
27. Syak Wasangka
28
28. Terlambat
29
29. Kartu
30
30. Syarat
31
31. Mencintai dalam Diam
32
32. Curiga
33
33. Takut
34
34. Dominasi Diam Seorang Berondong
35
35. Tanda Tanya
36
36. Tunjukkan Sedikit Penghargaan, Sayang!
37
37. Percaya Diri
38
38. Melogika
39
39. Bekapan
40
40. Kehilangan
41
41. Bukan Orang yang Sama
42
42. Muak
43
43. Lelah Mental
44
44. Enggan Mengaku
45
45. Tiga Langkah di Depan
46
46. Belajar di Tengah Godaan
47
47. Ajakan Berdansa
48
48. Kecewa
49
49. Panggung Sandiwara
50
50. Surat Perjanjian
51
51. Pelajaran Tambahan
52
52. Mengambil Alih
53
53. Saling Menyalahkan
54
54. Pengakuan
55
55. Kesempatan
56
56. Ancaman
57
57. Kagum
58
58. Wedding
59
59. Pertanyaan
60
60. Lelah
61
61. Keputusan
62
62. Efek Visual
63
63. Gara-gara Merger
64
64. Merger dan Bekas Cinta
65
65. Hampir Saja
66
66. Revisi dan Penangguhan
67
67. Pertanyaan yang Sempat Terlupakan
68
68. Rahasia Dibalik Cinta
69
69. Pengakuan
70
70. Tercabik
71
71. Iri
72
72. Tambahan
73
73. Umpan
74
74. Menuntut
75
75. Transformasi
76
76. Bukti
77
77. Bayangan Penjaga
78
78. Menanggung Sendiri
79
79. Hanya Jessi
80
80. Pembicaraan Empat Mata
81
81. Janji Hati
82
82. Hanya Ingin Tahu
83
83. Sampah
84
84. Mangsa
85
85. Game Over
86
86. Berubah
87
87. Dua Garis yang Terlewat
88
88. Panik
89
89. Dengan atau Tanpa Anak
90
90. Hangat
91
91. Kangen Ditengok

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!