Melisa panik ketika lampu tiba-tiba dimatikan, ia mengerjapkan matanya berulang kali sambil memegang lengan Bernard di sampingnya.
Kepala gadis itu menyusut mendekat ke arah Bernard, bocah itu justru tersenyum nakal dan mengusap lengan Melisa mencari kesempatan.
“Jangan takut Kakak Cantik, aku ada di sini,” ucap Bernard tampak senang dapat dipastikan anak itu sedang tersenyum lebar jika saja ada sedikit penerangan di sana.
“Untung Hasa tidak di sini, jika tidak? Mungkin aku sudah ditendang pantatku karena berani memegang lengan sepupunya,” Batin Bernard bocah itu sekarang sedang berkhayal menjadi pria dewasa.
Sungguh entah bagaimana sifatnya bisa sangat berkebalikan dengan Romi ayahnya yang cenderung takut pada wanita.
Saat cahaya lampu kembali menyala namun sedikit redup, Melisa melepas pegangannya membuat Bernard kecewa. Terdapat lingkaran cahaya putih yang menyorot ke atas panggung.
Melisa terkejut ketika mendapati Hasa di sana dengan pakaian khas Victoria, yakni baju putih berenda, rompi cokelat, dan celana beludru berwarna hitam selutut. Mulut anak kecil itu menggigit setangkai mawar berwarna merah darah.
“Bear,” panggil Melisa tapi bocah itu hanya melihat kedepan menggunakan kedua tangannya sebagai sandaran.
“Lihat saja Kak, bagaimana temanku itu beraksi.” Puji Bernard mencari tempat senyaman mungkin.
Melisa diam, ia melihat Hasa kecilnya mematung mendongak ke atas, bocah itu seperti sebuah patung yang indah di bawah sinar rembulan.
Tidak lama bunyi musik piano dimainkan, sebuah irama Waltz. Bersamaan dengan itu kaki Hasa mulai bergerak anak itu sedang berdansa Waltz.
Melisa terperangah melihat sepupunya bisa berdansa demikian lihainya, dan terutama untuk pria yang memegang papan tuts itu, Peter. Pria itu terlihat menawan memainkan nada-nada harmoni di sana.
Orang-orang mulai bertepuk ria saat kaki Hasa semakin cepat, biasanya tarian ini akan dimainkan berpasangan tapi kali ini Hasa sendirian. Namun, itu tidak butuh waktu lama karena seorang perempuan paruh baya ditarik Hasa ke panggung sebagai rekan dansanya.
Jika ayah dan ibunya tahu, entah apa yang akan ia lakukan pada Hasa nantinya. "Bear, sejak kapan Hasa mulai menari?" Tanya Melisa penasaran.
"Saat ia berusia 7 tahun, ia mengikuti kelas dansa tanpa sepengetahuan Paman Angga dan Bibi Keisha." Jawab Bernard menopang dagunya lalu tangannya menepuk mengikuti irama.
Melisa diam ia tidak bertanya lagi, tapi hatinya masih tidak puas dengan jawaban Bernard. "Untuk apa dia melakukan semua ini?" Tanya Melisa penuh selidik.
Bernard menatap Melisa acuh, "Kakak tidak perlu tahu, ini rahasia kami bertiga." Ujar Bernard membuat Melisa mengernyitkan dahinya.
Melisa melihat sepupunya Hasa yang tertawa ria di sana, sementara Peter tersenyum memainkan pianonya. "Apa Peter memang bisa bermain piano?" Kali ini Melisa bertanya dengan serius.
Bernard melirik sekilas, "kenapa masih tanya? Kakak kan bisa melihatnya sekarang." Tukas Bernard kesal. Melisa mendengus pasrah. "Jangan ceritakan ini pada Paman dan Bibi, Hasa akan marah kalau Kakak melakukannya," sambung Bernard lagi.
Setelah itu mereka kembali menyaksikan pertunjukan memperhatikan Hasa dan Peter di sana. Semua orang bertepuk tangan memberi selamat pada keduanya. Peter tersenyum memberi kode pada Hasa untuk turun karena ia akan bermain solo.
Nada-nada simphoni kembali terdengar mengalun indah dan syahdu memenuhi ruangan. Hasa kembali bergabung bersama Bernard dan Melisa mereka menyaksikan Peter di sana.
Lagu Untouchable Face karya dari Ani Difranco ia mainkan, permainan nada yang cukup sulit dan beberapa bagian yang diulang entah kenapa membuat hati Melisa berdesir.
Pesan yang begitu dalam dari lagu itu seolah-olah tersampaikan. Melisa terpaku bibirnya bisu melihat sosok lelaki di sana. "Kenapa aku menangis? Apa yang membuatku bersedih?" Tanyanya dalam hati saat buliran air mata lolos begitu saja di pelupuk matanya.
Peter memejamkan matanya, ia mulai mengenang masa lalunya saat Ibunya masih sehat sedia kala. Senyum yang hangat dari wanita itu pudar saat penyakit itu menyerangnya.
Keindahan dari kasih sayang keluarga yang ia rasakan sudah mati tanpa tersisa sejak ayahnya meninggalkannya. "Akankah engkau kembali Ayah? Atau kau sudah lama meninggal dari dunia ini?" Tanyanya dalam hati.
Dengan ritme yang halus dan sedikit cepat Peter menekan tuts demi tuts mencari sedikit kebahagiaan yang ingin ia rasakan. Tapi ia tidak menemukannya. Semua sirna hanya menjadi kenangan yang tidak akan pernah kembali.
Air mata Melisa semakin tidak terbendung ia terisak, Bernard sampai kebingungan harus berbuat apa untuk menenangkan wanita itu.
"Kakak Cantik, kamu kenapa? Hasa!" Panggil Bernard menepuk bahu temannya, tapi Hasa pun sama anak kecil itu diam menutup matanya tanpa mengatakan apa pun.
"Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa berhenti menangis? Kenapa aku ingin memeluknya sekarang? Apa yang salah padaku?" Tanya Melisa berulang kali pada dirinya.
Melisa semakin tidak dapat mengontrol air matanya saat nada musik itu memasuki puncak mendekati akhir. Hati Melisa seolah-olah mengatakan kepadanya untuk berlari dan memeluk lelaki itu.
"Kak Meli..!!" Teriak Bernard keras saat tiba-tiba perempuan itu bangkit dari duduknya dan berlari ke arah panggung menghampiri Peter.
Hasa hanya diam, bibir anak itu terangkat. "Aku kira hanya aku yang dapat mendengar ceritamu Kak, aku salah. Kak Melisa pun dapat mendengarnya." ujar Hasa dalam hati.
Sementara Bernard terlihat panik menggoyang-goyang tubuh sahabatnya untuk mengambil tindakan. "Hasa! Hasa! Lakukan sesuatu!" Pinta Bernard cemas.
Namun terlambat, Melisa sudah berada di atas panggung, perempuan itu memeluk kepala Peter yang terhalang badan piano.
Melisa menangis, entah kenapa sekarang pikirannya kosong ia tidak merasakan apa pun saat ini. Hanya kesedihan tak berdasar dan jurang gelap yang ada dalam pikirannya.
"Aku bersamamu, aku bersamamu, kamu tidak sendiri." Ucapnya berulang kali mengusap kepala pria itu.
Peter terhenyak dari perasaannya yang terlalu dalam, ia merasakan sedikit rasa hangat yang menjalar di hatinya, sebuah api kecil dari kasih sayang.
Matanya terbuka, tangannya secara perlahan menjauh dari tuts-tuts pianonya. Ia meraih punggung perempuan itu bermaksud membalas pelukannya, tapi pikirannya kembali sadar bahwa itu semua akan percuma.
Jadi tangannya hanya kembali jatuh di samping tubuhnya membiarkan rasa hangat ini hilang memudar sedikit demi sedikit agar ia tidak semakin berharap dan menginginkan lebih.
"Aku tidak apa-apa, kau bisa pergi sekarang." Ucap Peter lirih membuat Melisa tersadar dan melepaskan pelukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
maura shi
uda q favorit dr dulu tp g pernah q intip nunggu tamat,tp sekali intip ada isinya mengharu biru sm kek season 1,trs nunggu kisah kakak beradik si kaisar&rayandra pula
uuuh q baru kali ini baca novel yg isinya perasaan yg dlm,konflik batin yg kuat bgt dlm karakter pemerannya
2021-02-25
0
Ainun Amt
ih keren bangeeet
2021-02-04
0
@azma@
meski q tau akan banyak bawang tpi krn rasa lopenya lebih banyak jdi te2p lannjoooot .... 👌🏻👌🏻👌🏻👌🏻👌🏻
semangat y Thor ... 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2020-12-27
0