~Membenci bisa berarti mencintai~
Hasa masih tertawa dalam gendongan Peter, Melisa hanya memandang mereka kesal. Peter balik menatap padanya lalu membisikkan sesuatu di telinga Hasa sepupunya. Hasa kembali membalas bisikan Peter dengan menutup mulutnya agar Melisa tidak mendengarnya.
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Melisa dalam hati.
Tidak lama Peter menghampiri Melisa menarik tangan gadis itu pergi tanpa mendapatkan izin darinya. "Hei! Lepaskan aku, kau mau bawa aku kemana!" ronta Melisa marah-marah.
Peter hanya diam lalu tersenyum, mereka bertiga keluar dari bandara mencari taksi khusus yang sudah berjajar rapi di sana.
"Hasa, Daddy masih di dalam. Kita tidak bisa meninggalkan Daddy begitu saja tanpa meminta izin," bujuk Melisa pada Hasa mengingatkan bahwa ayahnya Angga masih mengurus masalah dengan kepala penjaga keamanan bandara tadi.
Namun Hasa hanya diam langsung menarik Melisa masuk ke dalam taksi diikuti dengan Peter. "Jalan Pak," pinta Peter pada Pak Sopir taksi. Mobil berwarna kuning itu pun melaju keluar dari bandara membelah jalan raya.
"Hasa!" panggil Melisa sedikit meninggi, kini kesabarannya sudah habis. Hasa mencium pipi Melisa sekilas.
"Bisa Kak Meli diam, kita akan pulang. Tadi Ayah sudah menyuruh Kak Peter untuk menjemput kita karena Ayah masih lama mengurusi masalah itu," jelas Hasa memainkan dasi kupu-kupunya. Melisa tidak bertanya lagi ia mengikuti sepupunya.
Peter melihat gadis yang duduk di sebelah Hasa, dia tersenyum karena melihat gadis itu begitu menurut pada Hasa kecilnya. "Kita belum berkenalan," kata Peter terlebih dahulu yang dibalasi deheman kecil dari Melisa.
"Aku Peter Hayden, kau bisa memanggilku Peter," tambah Peter lagi.
Melisa melirik sekilas ke arah pria itu, ia dapat melihat Peter mengulurkan tangan. "Maaf tanganku kotor," tolak Melisa membalas perlakuan Peter tadi.
Peter hanya tersenyum menarik kembali tangannya. "Ah sekarang cuaca memang buruk," keluh Peter menutupi rasa bersalahnya.
Hasa tiba-tiba menarik lengan Peter saat anak itu menyadari taksi telah melewati taman kota dan bangunan parlemen balai kota. Peter yang menyadari kode dari Hasa segera menyuruh Pak Sopir untuk berhenti.
"Kenapa berhenti? Kalian mau kemana?" Tanya Melisa bingung saat kedua orang itu menuruni taksi meski mereka belum sampai di tempat tujuan.
"Pak tolong hantarkan Nona ini ke alamat yang saya berikan tadi dengan selamat," ucap Peter membayar ongkos taksi.
Pak Sopir itu mengangguk mengerti. "Hasa! Peter!" Teriak Melisa dari dalam taksi dengan kepalanya yang menyembul dari daun jendela, ia melihat sepupunya melambai padanya dan pria itu tersenyum manis ke arahnya.
"Hati-hati di jalan Kak! Kami akan bersenang-senang dulu!" Teriak Hasa melambai-lambaikan tangannya antusias.
Melisa hanya dapat tersenyum kecut. "Nona tolong jangan mengeluarkan kepala Anda, itu berbahaya." Pinta Sang Sopir mengingatkan penumpangnya. Melisa kembali diam duduk manis seperti sebelumnya.
Setelah lebih dari dua puluh menit melakukan perjalanan Melisa belum juga sampai di rumah Paman dan Bibinya. Ia sudah merasa lelah dan ingin segera istirahat, tapi acaranya itu sepertinya akan tertunda saat mengetahui ban taksi yang ia tumpangi bocor.
"Ini membutuhkan waktu lama Nona, apa Anda tidak apa-apa menunggu?" Melisa mengangguk lalu melihat sekeliling area jalan, matanya menangkap sebuah kedai kopi di sana.
"Saya akan menunggu di kedai sana Pak, nanti Bapak bisa memberitahu saya jika bannya sudah diganti." Sang Sopir mengerti dan segera memulai pekerjaannya.
Melisa memesan kopi susu panas lalu menyeruputnya sembari melihat-lihat pemandangan Ottawa yang tampak indah di sore hari.
Sinar matahari terlihat dari ufuk barat, para pejalan kaki berjalan di sepanjang trotoar sembari menggoda burung merpati yang singgah sesaat di bahu jalan.
Setelah lebih dari dua jam menunggu, Sang Sopir melambai padanya mengabarkan kalau taksinya sudah siap. Melisa segera membayar pesanannya dengan beberapa uang dolar yang masih ia pegang.
Baru beberapa langkah kakinya menapaki jalan raya berniat menyeberang seorang pria menabrak dirinya hingga ia terjatuh.
"Kalau jalan hati-hati!" gerutu Melisa, belum sempat ia berdiri ada orang bertubuh besar lagi yang menabraknya, dia seorang polisi.
"Kau tidak bisa lagi berlari, sekarang ikut aku ke kantor polisi." Kata Pak Polisi mencekal tangan pria tampan dengan jaket panjang sampai selutut. "Walaupun kau anak seorang Jaksa, aku tetap tidak akan melepaskanmu." Serunya lagi mengambil borgol di saku seragamnya.
Tidak lama seorang pria berjas hitam datang menyusul kedua orang itu, "Tuan Muda, Anda membuat masalah lagi?" tanyanya dengan napas tersengal-sengal.
Orang yang dipanggil Tuan Muda itu hanya menatap datar dan dingin tanpa ekspresi. "Tuan dan Nyonya sudah pulang, Anda disuruh kembali." Ujarnya lagi.
"Tidak bisa, Niel harus dibawa ke kantor polisi karena dia sudah mencuri." Tukas Pak Polisi tidak terima. Pria berjas itu membela Tuan Mudanya. "Tuan Muda Niel adalah orang terpandang, bagaimana bisa dia mencuri? Bahkan ia tidak kekurangan apa pun!" Belanya.
Orang yang sedang menjadi topik pembicaraan hanya bungkam tidak membenarkan atau menyangkal. Ia justru berjalan ke arah Melisa menghampiri gadis itu.
"Maaf," katanya. Melisa masih membersihkan sisa debu di jaketnya, "Mau menyeberang?" tawarnya, Melisa mengangguk.
Pria itu langsung menggandeng tangannya membantunya menghentikan laju kendaraan roda empat yang hendak melintas meski rambu peringatan pejalan kaki yang akan lewat menyala.
Melisa menatap punggung pria itu yang lebar, rambutnya hitam legam seperti malam. Matanya dingin tapi entah kenapa saat ia melihat ada rasa hangat yang ia pancarkan.
"Terimakasih," ucap Melisa ketika mereka sudah sampai di seberang jalan. Niel hanya mengangguk, ia melihat jaket putih perempuan itu yang kotor karena kesalahannya tadi.
Melisa membeku saat tiba-tiba Niel menanggalkan jaket hitam panjang miliknya dan menaruhnya di kedua bahunya. "Saat malam hari udara akan semakin dingin," katanya. "Aku pergi dulu, kau tidak perlu mengembalikan jaketku." Imbuh Niel lagi.
Melisa masih mematung ia sempat terhipnotis oleh tatapan dingin nan teduh pria itu. Saat ia sadar Niel sudah menjauh berjalan sedikit cepat sementara dua orang yang berdebat tadi tampak terburu-buru menyeberang jalan menyusul pria itu.
"Tuan Muda Niel..!! Tunggu saya..!" teriak pria berjas yang Melisa duga adalah orang suruhan orang tuanya karena ia sempat menyinggung sebutan "Tuan" dan "Nyonya" tadi.
Sementara Pak Polisi bersungut-sungut, "Niel aku tidak akan melepaskanmu. Nyonya Mona akan membayar semuanya!" teriaknya terdengar menggebu-gebu dan marah, Pak Polisi itu berniat menyeberang juga tapi ia lupa memencet tombol lalu lintas hingga membuat para pengendara mobil meneriakinya.
__________
Malam harinya Melisa sampai di rumah, ia melihat sepupunya Hasa tengah berdiri dengan satu kaki yang menumpu lantai, sementara kakinya yang lain ditekuk dan kedua tangannya menjewer telinganya. "Ucapkan Maaf pada Kak Meli," pinta perempuan yang Melisa tahu adalah Bibinya Keisha.
Melisa yang baru saja tiba terkejut saat mereka semua melihat ke arahnya. "Kak Meli maafkan aku," kata Hasa dengan memelas. Sekarang Melisa merasa kasihan dengan anak itu, telinganya memerah menandakan kalau ia telah lama menjewer daun telinganya.
"Hasa katakan dengan tulus," pinta Keisha lagi. Putranya ini memang terlampau nakal, Hasa kembali meminta maaf membuat Melisa tidak tega. "Tidak apa-apa Bi, Hasa hanya bercanda tadi." Melisa mencoba merayu Bibinya.
Keisha tanpa sengaja mendengar kejadian yang terjadi di bandara tadi lewat Jemy saat Angga menelponnya meminta bantuan. Sekarang suaminya itu bahkan belum pulang padahal malam semakin larut.
"Istirahatlah Meli, Bibi sudah membersihkan kamar untukmu. Setelah itu makanlah, Bibi akan menunggu Pamanmu terlebih dahulu." Tutur Keisha halus pada keponakannya.
Hasa masih berdiri dengan satu kaki, "Ibu," katanya pelan mencari titik lemah ibunya. Keisha menarik napas dalam, ia sebenarnya tidak tega harus menghukum putranya.
"Ini yang terakhir, jangan repotkan Kak Meli dan Ayah lagi." Putus Keisha pada akhirnya yang dibalasi anggukan dari Hasa. "Duduk," perintahnya masih terdengar datar. Keisha mengambil kotak obat mengoleskan salep di telinga putranya. "Ibu jangan marah ya," ucap Hasa lirih ia memeluk Keisha erat.
Oh Keisha benar-benar tidak bisa marah lebih lama pada putranya ini, "Saat Ayah pulang, minta maaf juga pada Ayah." Pintanya yang dibalas anggukan antusias dari Hasa.
_______
Di sisi lain Peter baru memasuki gerbang rumah, bukan gerbang besi hanya tembok lapuk yang sudah tua mengelilingi rumahnya.
Seperti biasa ia akan dapat melihat sosok perempuan yang duduk di lantai tanpa alas kaki dan menatap ke arah jalan dengan tatapan kosong. Dia adalah Ibunya Mayna.
"Ibu, aku pulang." Katanya terdengar sebahagia mungkin, ia tersenyum lebar sembari melambai-lambaikan tangannya.
"Aku merindukanmu Ibu," tuturnya sembari memeluk tubuh Mayna yang kurus. Peter mengecek kaki ibunya lalu tangannya takut perempuan itu mencelakai dirinya saat ia tidak ada di rumah.
"Syukurlah hari ini Ibu berperilaku baik," puji Peter sembari menciumi tangan wanita paruh baya itu. Mayna masih diam seperti biasa, ia tidak akan menjawab membiarkan Peter bercerita panjang lebar. "Mari masuk udara sudah dingin," ucapnya menuntun Mayna.
Peter mendudukkan Mayna di meja makan mereka yang minimalis, hanya ada dua kursi kayu biasa dan meja kotak berukuran kecil. Ia mulai menyalakan tungku perapian agar udara sedikit hangat.
"Malam ini kita makan dengan sup kentang, aku membelinya tadi sebelum pulang." Peter menyalakan kompor memasak air dan mulai meracik bumbu.
"Ibu tahu? Hari ini pertunjukanku sukses karena Hasa membantuku, dia menari dan berdansa untuk menarik para pengunjung." Peter memotong kentang menjadi dadu. "Adikku itu memang pandai," ucapnya memuji Hasa.
Sambil menunggu masakannya matang, Peter mengambil air dari teko yang ia bakar di perapian tadi. Ia menuangkannya ke dalam mangkok besar berbahan plastik dan menaruh handuk bersih. "Setelah makan aku akan memainkan piano untuk Ibu, agar Ibu bisa tidur nyenyak." Peter membasuh kaki, tangan, dan wajah ibunya.
Mayna mulai melihat ke arah putranya saat ia mendengar kata piano. "Ayahmu?" Tanyanya kecil, Peter sudah terbiasa dengan ini ibunya akan selalu menanyakan keberadaan ayahnya yang sudah belasan tahun lamanya tidak pulang ke rumah.
"Ayah akan pulang, aku akan mencarinya. Ibu jangan khawatir." Ucapnya membuat Mayna mengangguk. Dalam hati Peter ingin bilang kalau pria itu tidak akan pernah datang. Tapi mau bagaimana lagi kondisi ibunya akan semakin buruk.
"Supnya sudah matang, sekarang kita makan dulu." Peter mulai mengambil sup kentang bercampur makaroni itu, lalu memasukkannya ke dalam mangkok dengan perlahan ia meniupi sup panas itu sebelum menyuapkannya kepada Mayna.
TERIMAKASIH ATAS SEGALA DUKUNGANNYA.
HARMONI CINTA MELISA INI AKAN LEBIH COMPLICATED DARIPADA MY OLD WIFE DAN CERITANYA JUGA AKAN LEBIH LAMA..
SEMOGA KALIAN TIDAK BOSAN MEMBACANYA.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Atalya Kristina
👍👍👍
2021-04-02
0
Masaria Hia
sedih dgn kondisi Peter dan ibunya
2020-12-31
0
@azma@
next
2020-12-27
0