usaha membela Mentari

Mentari dan Mafia

*Mengandung beberapa adengan sadis

Part 5

#Mentari

#Addovo

Sebulan sudah berlalu, Mentari sudah mulai terbiasa dengan suasana rumah ini. Siksaan masih sering Mentari terima. Seperti siang itu, dia hanya terlewatkan mengelap remote TV yang dirasa juga tidak berdebu.

Bagi, remote itu langsung dilemparkan kearah Mentari hingga mengenai kepalanya. Sakit, tetapi tidak berani menangis. Hanya telapak tangan yang ia usap-usap di titik sakit.

"Kau lupa, apa saja yang harus kau bersihkan?" tanya Addovo.

Dengan santai dia menyeruput jus apel yang sudah tersedia.

"Maaf, Tuan. Saya tidak konsentrasi. Saya sedang rindu ibu," Air mata Mentari mengalir.

Dia tidak bisa menahannya lagi. Sakit disiksa fisik masih bisa dia tahan, tetapi sakit disiksa rindu terutama kepada orang tua itu sangat berat.

"Tuan, bolehkah saya menelepon ibu sebentar saja?" tanya Mentari mengiba.

"Tidak boleh!" bantah Addovo.

"Oh, baiklah."

Mentari izin meninggalkan kamar karena menurut dia, kerjaannya sudah selesai. Addovo juga ikut keluar kamar. Dengan tangan berada di dalam kiri dan kanan saku celana, ia berjalan dengan penuh percaya diri di depan Mentari.

Beberapa anak buahnya sudah berjejer rapi menunggu kedatangannya. Wajah-wajah tegang mereka terlihat jelas. Mentari tidak mau tahu apa yang terjadi, bukan urusannya. Dia berlalu menuju gudang meletkan semua perlengkapan kerjanya.

Selama di sini, dia tidak pernah menedapatkan bahan makanan dari negaranya. Sebulan tanpa nasi itu berat.

"Ros, kapan lagi jadwal belanja bulanan?" tanya Mentari.

"Seminggu lagi, ada apa?" tanya Ros seolah tidak suka.

"Boleh saya, minta dibelikan beras? Saya tidak sanggup jika makan tanpa nasi," pinta Mentari ragu.

Ros, ketua pelayan di rumah ini, hanya meliriknya sinis. Wanita ini aslinya juga berasal dari satu negara dengan Mentari, tetapi entah kenapa tidak ada rasa simpati kepada Mentari. Entah apa yang mendasarinya bersikap begitu. Atau mungkin Ros, juga sandraan Addovo sama seperti dia?

***

Dor! Suara tembakan menggema di ruang tengah. Seorang anak buah Addova ditempek pada bagian bahu kanannya.

"Jangan ada kata gagal! Aku paling tidak suka mendengar itu," bentak Addovo.

"Maaf, Tuan," ucapnya sambil menahan sakit.

Dia gagal menangkap anak buah dari lawan bisnis Addovo. Hal inilah yang membuat Addovo menjadi murkah. Prinsip hidupnya yang tidak bisa dikalahkan hancur oleh anak buahnya sendiri.

Mentari yang mendengar suara tembakan tersebut berlari ke sumber suara. Dia berlari mendekati korban yang telah terduduk di lantai.

"Kenapa kamu membiarkan dia kesakitan, Tuan?" tanya Mentari kepada Addovo.

"Sudah kau diam saja! Atau kau mau seperti itu?" jawab Addovo.

Seorang anak buah, Addovo membimbing korban duduk di sofa. Lalu ia mengerluarkan alat kecil terbuat dari besi, dari dalam kotak steril. Alat itu seperti pingset. Hanya menggunakan alat sederhana itu dia mengeluarkan peluru yang bersarang di bahu korban. Sakit? Pasti sangat sakit.

Terlihat korban menggigit sebuah kain dengan kuatnya. Menahan sakit agar tidak mengeluarkan suara jeritan.

"Tuan, kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja?" tanya Mentari.

Addovo hanya melirik tidak, tidak menjawab sepatah kata pun.

'Dasar pria kejam tidak punya hati,' maki Mentari dalam hatinya.

"Jangan memaki saya!" sindir Addovo.

Mata Mentari langsung terbelalak, mana mungkin Addovo juga bisa mengetahui isi hati seseorang. Apa mungkin dia keturunan dukun?

"Dari mana Tuan tahu?" tanya Mentari heran.

"Ekspresi wajah," jawab Addovo singkat.

Addovo masih saja dengan sikap tenangnya. Memutar-mutar pistol di jari telunjuknya.

"Malam ini aku tidak pulang ke rumah, jangan pernah kau berulah bahkan berusaha kabur! Paham?" Moncong pistol sudah nempel di kening Mentari.

"Pa-paham, Tuan. Paham," jawab Mentari terbatah.

Addovo berdiri, lalu menepuk-nepuk pipi Mentari. Dia berjalan menuju ruang makan. Ruangan yang dipenuhi ornamen kayu. Produk dalam negeri asal Mentari yang di ekspor ke Eropa.

***

Sebelum meninggalkan rumah, Addovo menemui Mentari yang sedang duduk di bangku taman. Semilir angin pagi mengibas rambut panjang Mentari yang hitam tergerai. Setelah membersihkan kamar Addovo, dia akan bebas dari kerjaan lainnya.

Air mata mengalir di sudut mata. Begitu lara hatinya menanggung semua ini. Sebenatar lagi bulan Ramadhan, ingin rasanya berkumpul bersama keluarganya, tetapi jangankan untuk berkumpul. Sekedar berbicara di telepon saja sekarang haknya tidak ada.

Sebuah ponsel jatuh tepat di atas pangkuan Mentari. Ternyata Addovo yang melemparnya.

"Telepon Sekarang keluarga kau! Katakan kau baik-baik saja. Sekarang!" bentak Addovo.

Mentari yang terkejut langsung mengambil ponsel tersebut. Melirik jam di ponsel menunjukkan pukul sebelas siang. Berarti di negaranya sekarang pukul enam pagi. Orang tuanya sudah bangun.

Tidak lama, panggilan suara itu tersambung. Rasa rindu kini sudah bisa disalurkan walau hanya dengan perantara signal ponsel.

"Kamu kerja apa di sana, Nak?" tanya ibu.

"Kenapa, Bu?" jawab Mentari bingung.

"Kamu begitu banyak mengirim uang kepada Ibu, apa kamu dapat kerjaan yang bagus sekarang?" jelas ibu.

Mentari melirik ke arah Addovo yang duduk di sebelahnya. Addovo hanya menaikkan alisnya. Iya juga memberi tanda untuk mengakhiri sambungan telepon tersebut.

Setelah meminta maaf karena sebentar lagi akan memasuki puasa. Sambungan telepon dimatikan. Ponsel ditarik kembali dari tangan Mentari.

"Maaf, Tuan. Kenapa mengirim uang sebanyak itu? Mentari mencoba bertanya.

"Aki sudah membeli kau sebagai budakku."

Jawaban Addovo sangat menyakitkan. Dia memberi ponsel yang lain kepada Mentari. Ponsel ini hanya Addovo yang mengetahui nomornya.

"Setiap aku menelepon harus kau angkat jam berapa pun!" perintah Addovo.

"Tuan mau kemana?" tanya Mentari.

Dia langsung menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Takut salah bertanya lagi.

"Ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan," jawab Addovo lembut.

Mendengar itu mentari seakan tidak percaya, baru pertama dia mendengar Addovo berkata lembut.

"Aku pergi dulu." Addovo berdiri.

Saat akan meninggalkan tempat, dia mengusap puncak kepala Mentari. Giano yang sudah berdiri di depan pintu bingung melihat sikap Addovo saat ini. Namun dia berusaha seolah-olah tidak melihatnya.

***

Malam hari, semua terasa tenang. Mentari dapat tertidur pulas, tanpa ada rasa takut, bisa saja Addovo datang untuk memarahinya. Saat akan memejamkan mata, ponsel pemberian Addovo berdering.

"Ya, Allah. Manusia satu ini, ada atau nggak ada dia, sama saja nggak bisa bikin orang tenang sedikit pun." racau Mentari.

Pada layar ponsel muncul foto Addovo, ternyata sudah di aturnya semua. Tombol hijau pada layar digeser Mentari ke atas.

"Hallo, ada apa, Tuan?"

"Kau jangan berulah, CCTV selalu memantau!"

"Iya, Tuan Baik,"

Telepon langsung dimatikan dari seberang sana. Mentari meneruskan tidurnya yang sempat tertunda.

***

Di sebuah casino terbesar terjadi pertandingan dua orang raja judi. Entah apa yang mereka jadikan taruhannya. Terlihat pertamdingan itu berjalan tegang. Kamera di setiap ruangan itu aktif menghadap ke meja yang menjadi arena mereka.

Anak buah dari dua kubu berdiri di belakang pimimpin mereka masing-masing.

"Balckjack!" teriak Addovo.

Ya, dia memenagkan judi malam ini. Satu daerah baru menjadi kuasaan dia. Pihak lawan keluar dengan kesal, sambil menghamburkan seluruh kartu di atas meja, dia meninggalkan ruangan tersebut. Addovo masih duduk di kursinya sambil tertawa penuh kemenagan.

Aroma beralkohol menyeruak di ruangan, saat para waitres sexy memasuki ruangan, mereka membawa bermacam merk minuman mahal dan berbahaya. King of Spirits Absinthe dituangkan waitres ke gelas cocktail yang akan diberikan kepada Addovo.

Dengan satu kali teguk, minuman berkadar alkohol sampai tujuh puluh persen itu sudah habis ditelan Addovo. Para wanita sudah mulai merayu anak buah Addovo. Hanya wanita bernyali besar yang berani menggoda Addovo. Namun jika dia sudah memilih, wanita tersebut harus mau dan memberi pelayanan terbaik.

Sialnya, malam ini tidak ada satu wanita yang Addovo pilih, dia hanya sibuk meneguk minumannya hingga sepuluh gelas. Dia kesal, kenapa di saat bahagia begini hanya Mentari yang dia pikirkan. Terasa ada yang kurang karena malam ini tidak memarahi Mentari.

Addovo berdiri, meninggalkan ruangan itu. Keluar casino tanpa pengawal. Mereka sudah sibuk dengan para wanitanya. Dengan kepala yang sedikit berat, dia menyetir mobil sendiri menuju ke diamannya. Seperti berhalusinasi, dia hanya ingin segera pulang.

***

Pintu kamar mentari ada yang membuka, iya tidak menyadari itu karena sudah tertidur pulas. Bahagianya tanpa dibentak-bentak addovo malam ini.

Seorang pria memasuki kamarnya, ia mulai mendekati tempat tidur Mentari. Tangan kekarnya mulai meraba pipi, turun ke leher Mentari. Nafasnya sangat liar menahan nafsu melihat tubuh Mentari yang tertutup piayama panjang.

Merasakan ada sesuatu, Mentari terbangun. Dia berteriak minta tolong. Pria yang akan memperkosanya itu bukan Addovo melainkan anak buah Addovo yang bertugas menjaga Mentari agar tidak melarikan diri.

Mentari berhasil menendang pria itu hingga terjatuh, secepatnya ia turun dari tempat tidur dan berlari keluar kamar.

Berteriak meminta tolong di rumah sebesar ini, tidak ada yang mendengar. Entah tidak mendengar atau sekedar tidak ingin ikut campur.

Pria itu kembali mengejar Mentari hingga kelantai bawah. Dia berhasil menarik kaki Mentari, hingga membuat Mentari terjerebab di lantai. Mentari tetap berusaha meronta dengan menendang-nendang kakinya.

Pria itu pun kembali tertendang perutnya, Mentari bangkit dan berlari ke arah pintu depan. Bak pahlawan saat itu pula Addovo tiba di rumah dan membuka pintu depan.

Dia melihat anak buahnya sedang mengajar Mentari.

"Tuan, tolong saya, Tuan," mohon Mentari.

Lalu iya bersembunyi di balik punggung Addovo.

"Wanita ini mencoba kabur," ucap pria itu.

"Bohong Tuan, saya tidak mau kabur. Dia berusaha memperkosa saya." Mentari membela dirinya.

Addovo menatap Mentari tajam. Dia menarik Mentari ke sebuah ruangan di sudut bangunan ini, ruang kedap suara. Mentari didorong masuk ke dalam, lalu dia mengunci pintu dari luar. Teriakkan Mentari tidak akan terdegar keluar, begitu juga suara dari luar tidak akan terdengar ke dalam.

Ruangan ini cukup rapi, dengan buku-buku tertata di raknya. Mentari mencoba menenagkan diri dengan melihat-lihat koleksi buku. Hingga matanya tertuju pada satu map tipis. Ia menarik map tersebut, sepertinya ruangan ini selalu dibersihkan karena tidak ada debu yang berterbangan saat map itu ditarik.

Map itu berisi surat keterangan kelahiran dari sebuah rumah sakit atas nama Addovo. Dilihat dari tanggal lahirnya, ternyata Addovo seminggu lagi akan berulang tahun ke-36 tahun.

"Ibu, doain Mentari ya, Bu!" ucap Mentari lirih.

Di luar ruangan, Addovo memanggil pria tadi. Saat pria itu sudah datang, satu pukulan mendarat di hidungnya.

"Jangan bodohi saya! Saya paling benci dikhianati. Kau aku suruh menjaga wanita itu, bukan memperkosanya."

Addovo memerintah anak buahnya yang lain untuk memasukan pria itu ke sarang hewan peliaraannya. Ucapan pemohonan pria tersebut tidak lagi dipedulikannya.

Seekor singa sudah mengaum saat pintu kandangnya dibuka. Pria itu didorong kedalamnya. Menantikan ajalnya direnggut hewan peliharaan Addovo.

Terpopuler

Comments

Nurma sari Sari

Nurma sari Sari

mentari sok jadi pahlawan dan berani, saat adovo menembak lengan anak buahny

2022-11-29

0

Kanza Teodora

Kanza Teodora

buaya dikadalin mana mempan😂😂

2022-02-18

1

💫Sun love 💫

💫Sun love 💫

addovo dikadalin... jadi santapan singa kan....

2022-01-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!