Keputusan

Dan mau tak mau dilema itu ia rasakan. Meski sebenarnya ia sudah yakin dengan keputusannya, namun kekecewaan ibu tetap memnjadi pemicu goyahnya keputusan bulat yang sudah ia buat. Ibunya memang tak terang-terangan mengatakan jika ia telah kecewa, namun Amra bisa dengan mudah menangkap raut itu dari wajah sang ibu. Hingga setiap malam ia merasa sulit untuk memejamkan mata.

Anak kedua pak Joko juga ternyata sudah mengetahui tentang dirinya, meski mereka tak pernah bertemu. Memang diam-diam dia memperhatikan Amra dari jauh, dan dia sudah sangat tertarik pada gadis ayu nan lembut itu. Sebenarnya putra kedua pak Joko ini bukanlah orang biasa, selain ia sudah meraih sukses di usianya yang masih muda, dia juga berperangai baik dan santun. Wajahnya juga tampan, kulitnya kuning langsat, alisnya tebal, hidungnya juga mancung. Posturnya tinggi semampai. Otaknya juga pintar. Dia juga termasuk seorang yang sholih, tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Namun manusia tak pernah sesempurna itu, bukan? Pasti ada kekurangan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata.

Dibalik semua kesempurnaan itu, anak kedua pak Joko ini termasuk seorang yang ambisius, jika ia sudah menginginkan seauatu ia akan mengejarnya sampai dapat. Hal ini terkadang menjadikan dirinya sulit untuk mengontrol diri.

Amra berjalan-jalan di pematang sawah di dekat rumahnya. Berharap pikirannya jernih setelah menikamati semilir angin sore. Sejauh mata memandang, warna hijau kekuningan padi menjadi suguhan sejuk untuk mata. Amra menghela dan menghentikan langkahnya. Meski terlihat menikmati suasana, sebenarnya Amra sedang berpikir keras, berusaha membulatkan kembali keputusannya dan memberi pengertian kepada sang ibu agar tak terlalu mengecewakannya.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, beberapa anak tengah bermain layang-layang. Angin sore ini mendukung untuk menerbangkan layang-layang. Seorang pria dewasa tampak menemani mereka bermain. Dari wajahnya, ia terlihat begitu menikmatinya. Hingga tiba-tiba angin bertiup cukup kencang dan membuat layang-layang itu menjadi tak beraturan, salah satu dari layang-layang mereka terputus dan terbang bebas kearah Amra. Lelaki dewasa itu lantas berteriak

"Mbak awasss!!!!"

Mendengar teriakan itu, Amra menoleh keasal suara. Dan bersaman dengan itu, layang-layang yang telah terbang bebas itu mendarat tepat di dahinya, membuat Amra menunduk karena terkejut. Lelaki dewasa itu segera menghampiri Amra, memastikan jika gadis itu baik-baik saja

"Kamu tidak apa-apa?" Amra hanya menggeleng dan mengambil layang-layang yang akhirnya mendarat di kakinya itu

"Beneran?"

"Iya.." Amra tersenyum simpul berusaha meyakinkan jika ia baik-baik saja, namun kemudiam ia menunduk merasa canggung. Diam-diam lelaki itu memperhatikannya, yah.... Dialah putra kedua pak Joko namun Amra tak mengetahui fakta itu, berada di dekat Amra seperti ini, membuat api cinta di dalam dadanya menyala. Benar, pria ini telah jatuh hati pada Amra mulai pertama kali ia melihatnya dan rasa kagumnya bertambah berkali-kali lipat saat ia melihat Amra mengajar mengaji di surau beberapa minggu yang lalu, ia juga tak menyangka sang ayah mengenal siapa orang tua Amra

"Tunggu sebentar!" Ujar pria itu kemudian beranjak. Dan saat itulah Amra mengangkat kepalanya, kemudian memperhatikan pria itu dari jauh.

Dia sedang membeli sesuatu di kios sang ibu, dan Amra kembali menunduk saat dia datang kembali. Tanpa mengatakan apapun, lelaki itu menyodorkan sebuah plester padanya, Amra sedikit terkejut, kemudian memandang lelaki itu kembali

"Aku tidak apa-apa" ujarnya

"Kening kamu luka..." Reflek Amra menyentuh keningnya, dan tepat saat itu ia merasakan perih, tanpa mau menolak seseorang yang ingin herbuat baik, Amra menerima plaster itu

"Terimakasih..." Ujarnya masih saja betah menunduk, hati siapa yang tak menginginkan seorang perempuan sholihah seperti ini?

"Oiya... Perkenalkan, namaku Hafidz...." ukar pria yang mengaku sebagai Hafidz itu, membuat Amra kembali harus memandangnya

"Amra..." Dengan sopan Amra menyatukan kedua tangannya di dada dan menyebutkan namanya sembari tersenyum. Hafidz juga tersenyum

"Ok... Senang berkenalan denganmu..."

"Iya... Emm.. maaf, aku harus pulang..." Pamit Amra tak ingin berlama-lama berduaan dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya. Hafidz mengangguk dan memberi jalan.

Langit kemerah-merahan menandakan jika petang telah menjelang. Bersama sang ibu, Amra menutup kios. Setelah cukup lama berpikir tadi, akhirnya Amra menemukan keputusan untuk kebimbangan hatinya ini. Ia telah yakin seyakin-yakinnya dengan keputusan yang akan ia ambil ini. Sepulang dari mengajar ngaji nanti, ia akan mengutarakan isi hatinya pada sang ibu. Mungkin alasan yang akan ia utarakan ini bisa membuat hati sang ibu tenang, nantinya.

"Kamu tahu siapa anak muda tadi?"

"Anak muda?" Amra balik bertanya dan mengerutkan kening

"Anak muda yang memberikan plaster itu padamu!" Sang ibu menunjuk ke arah kening Amra

"Mas Hafidz?" Ibu tersenyum dan mengangguk

"Kenapa buk? Ah... Amra baru mengenalnya tadi kok buk..." Ujar Amra tiba-tiba khawatir

"Bukan itu, dia adalah anak kedua pak Joko...."

"Apa?" Sang ibu hanya mengangguk sebagai jawaban, bibirnya masih menyunggingkan senyuman

"Ibuk.... Amra kan sudah bilang tidak mau bertemu..." Kini Amra sedikit merajuk, mengira pertemuan ini adalah rencana sang ibu dan ia merasa terjebak

"Nduk.. ibu ini tidak akan mempertemukan putri ibu dengan seorang pria di jalanan seperti itu! Mungkin ini yang namanya jodoh, pertemuan kalian ini murni karena kebetulan! Ibuk juga ndak tahu kalau anak kota seperti dia bakalan mau ke tempat seperti itu...." Amra menghela merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk pada ibunya

"Maafkan Amra buk...." Gumamnya

"Kemarin, waktu kamu lagi ke rumahnya bu Tuti, pak Joko kesini lagi, menanyakan kelanjutan dari pernyataannya beberapa minggu yang lalu....! Dia bilang, nak Hafidz sudah rela meminggalkan pekerjaannya demi menunggu jawaban pasti dari kamu nduk! Ibuk tidak akan memaksa, tapi bukankah ketika ada pria baik yang berniat untuk mengkhitbah akan sayang jika ditolak? Nak Hafidz juga orangnya ganteng, pinter dan sudah mapan lagi..!" Kali ini Amra menghela kembali, namun bukan karena apa, ini karena ia lelah....

Amra menghentikan pekerjaannya dan duduk disalah satu kursi dari bambu di depan kios. Terdiam disana sembari memandang langit jingga dengan pandangan nanar. Sepertinya apa yang akan ia katakan untuk nanti malam, akan ia utarakan saat ini. Amra masih berdiam diri sampai sang ibu juga duduk di sebelahnya

"Buk...." Ucapnya lembut

"Boleh Amra jujur sama ibuk?" Tanyanya sembari memandang sang ibu dalam, sang ibu memandangnya heran

"Sekali lagi Amra minta maaf buk, bukannya Amra tidak mau patuh sama ibuk. Tapi.... Tidak ada getaran sama sekali dihati Amra untuk mas Hafidz meski secara tidak sengaja kami bertemu.... Memang benar, mungkin karena pada awalnya Amra tidak mengetahuinya. Tapi buk, rasa cinta tidak akan pernah bisa berbohong. Amra tidak ingin membohongi diri Amra sendiri buk...." Jelas Amra dengan lembut, khas tutur sapanya. Ibu memegang tangan putrinya itu erat

"Apakah sudah ada orang lain dihati kamu nduk?" Amra menunduk. Amra tak tahu apakah ini masih pantas disebut sebagai pilihan, setelah sekian lama cintanya terpendam

"Dia seorang pria yang baik buk, dia begitu peduli pada sesama.... Tapi Amra tidak tahu, apakah harapan ini masih ada dan pantas untuk Amra harapkan? Rasa ini kian lama kian menguat, Amra sudah tidak lagi mendengar kabar tentangnya, Amra juga sudah tidak mencari tahu dimana dan bagaimana dia saat ini, tapi entah mengapa perasaan ini masih terpupuk dan bertumbuh lebih besar.... Ibuk, sebenarnya selain itu, Amra ingin pergi ke kota dan mengadu nasib disana buk, Amra ingin menggapai cita-cita Amra..."

Ibu Amra melepas pegangan tangannya dan memandang putrinya itu kaget. Tentu saja, karena selama ini ia tak pernah berpikiran Amra akan pergi jauh dari rumah untuk mengadu nasib di tempat asing. Tak tahu harus mengatakan apa, sang ibu menunduk dengan sedih, sementara itu, Amra mengalihkan pandangannya pada sang ibu saat tak mendapat jawaban. Melihat ekspresi sang ibu, mendadak ia merasa ragu akan keputusannya ini. Tak mau mendesak, Amra memilih untuk masuk ke dalam kamarnya dan merenungkan kembali keputusan yang sudah ia buat. Mempertimbangkan kembali kebaikan dan juga keburukannya.

Amra sudah mengira sejak awal jika ini akan sulit, karena itu, jika sang ibu berat untuk melepasnya ia akan memikirkan semuanya kembali. Mungkin saja ia akan melepas keinginan dan impiannya. Karena apapun yang terjadi, Amra tak ingin menomor duakan ibunya.

Keesokan harinya, langit tampak bersih tanpa noda sedikitpun. Cahaya matahari bersinar cukup terang. Kios ibu Amra cukup ramai, ada sekitar lima ibu-ibu yang sedang berbelanja untuk kebutuhan memasak disana. Amra mengeluarkan sepeda peninggalan ayahnya, kemudian berpamit untuk keluar sebentar. Setelah mengucapkan salam, ia kayuh sepeda itu perlahan menuju sebuah tempat.

Tempat yang selalu ia kunjungi ketika hatinya terasa gundah gulana seperti hari ini. Di tempat itu, ia bisa berpikir jernih. Setelah reaksi sang ibu kemarin, tidak ada pembicaraan lebih lanjut kembali, dan itu membuat hati Amra semakin sedih. Ia harus membahagiakan orang tua satu-satunya itu, namun ia juga ingin mengepakkan sayap impiannya ke langit. Sungguh kembali ia hadapkan pada pilihan yang membuatnya harus memutuskan yang terbaik.

Tak terasa kayuhan sepedanya berhenti disebuah pinggiran sungai. Amra memarkirkan sepedanya dan berjalan mendekati sungai yang dipenuhi bebatuan besar itu. Pemandangan disana cukup asri, suara aliran air yang menyentuh bebatuan itu terdengar menenangkan jiwa, melihat riak air disela batu-batu besar itu membuat siapapun yang merasa takjub. Aliran air, sungai, batu-batu besar seakan menjadi sebuah gambaran hidup.

Amra duduk disalah satu batu disana dan meletakkan kedua kakinya ke dalam air, tak peduli jika ujung roknya basah karena ia tak mengangkatnya sama sekali. Merenungkan apa yang tersuguh di depan kedua matanya. Seperti air itu, ia tetap mengalir meski batu-batu besar menghalangi, cela-cela kecil yang sempit akan menjadi jalan untuk mereka keluar dari hadangan batu besar itu. Bukankah sebagai manusia kita harus memiliki sifat air? Pantang menyerah dan terus melaju meski banyak sekali rintangan dalam hidup? Amra menghela dan menunduk sedih, haruskah ia menjadi air yang tak menyia-nyiakan celah kecil untuk mencari jalan? Meyakinkan ibunya kembali dan membuat sang ibu semakin sedih? Ini tak sama........ Amra menunduk sedih

"Jika kamu merasa ragu akan sesuatu, maka merenung itu akan membuatmu semakin menemui jalan buntu....." Amra tersentak mendengar suara lelaki itu, ia angkat kepalanya kembali dan menoleh mencari sumber suara, kerudungnya yang terbilang lebar itu tampak melambai-lambai tertiup angin. Dan ketika itu, ia melihat sosok lelaki yang ia kenal sebagai Hafidz berdiri tak jauh dari sepedanya terparkir, Amra segera menunduk setelah mengetahui itu

"Apa yang sedang kamu lakukan disini sendirian?"

"Maaf... Tapi kita...."

"Jangan khawatir! Kita tidak hanya berdua, aku sedang mengantar adik perempuanku mencuci baju, aku tidak tahu mengapa dia suka sekali mencuci baju di sungai?" Tawa renyah terdengar dari mulut lelaki bernama Hafidz itu, ia menyela ucapan Amra, seakan tahu jika gadis itu tak akan nyaman berduaan dengan seorang pria. Inilah salah satu hal yang membuat Hafidz jatuh hati padanya, Amra masih tak merubah posisinya, ia masih tetap menunduk dan membelakangi Hafidz, begitupun Hafidz yang sama sekali tak berpindah dari tempatnya berdiri

"Kalau kamu tidak percaya, lihatlah ke samping kananmu...!" Seru Hafidz,dan tanpa sadar Amra melirik ke sebelah kanan, benar! Pria itu tak berbohong, Syifa, anak keempat pak Joko sedang mencuci baju disana. Gadis remaja itupun tersenyum ramah padanya, Amra membalas senyuman itu tak kalah ramah.

Hafidz mendekat, namun masih ada jarak sekitar dua meter diantara mereka, Amra masih tetap membelakanginya. Tak ada perbincangan untuk beberapa saat

"Apa maksud kamu tadi?" Suara itu keluar dari mulut Amra, Hafidz tersenyum karena gadis itu buka suara terlebih dahulu

"Tentang?"

"Jika kamu merasa ragu akan sesuatu, merenung hanya akan membuatmu semakin menemui jalan buntu...." Amra mengulang kalimat pertama Hafidz

"Oh... Itu, entahlah! Aku hanya asal bicara!" Kali ini kembali terdengar tawa renyahnya

"Bukankah dengan merenung, kita lebih bisa menemukan jawaban atas keraguan? Aku bertanya karena aku ingin menyanggah pernyataan kamu itu, mungkin memang benar, tapi itu bukan merenung, melainkan melamun... Karena disaat kita melamun, tak akan ada jalan keluar untuk masalah yang kita hadapi....!" Amra tersenyum simpul dan beranjak bangun

"Aku harus pulang mas Hafidz, assalamualaikum...." "Dek Syifa, mbak duluan ya.... Assalamualaikum..."

"Waalaikumussalam mbak Amra..."

Hafidz hanya mampu memandang kepergian Amra dengan perasaan yang entah bagaimana ia akan menyebutnya. Yang pasti gadis yang kini telah hilang dari pandangannya itu telah mampu membuat jantungnya berdebar-debar. Namun apa daya? Ketertarikannya telah mendapat penolakan

"Mas....!!! Bantuin angkat ini dong!" Hafidz yang tadi tanpa sadar menunduk mengangkat kepalanya terkejut. Kemudian menghampiri sang adik.

Amra kembali ke rumah dengan keputusan baru yang ia buat dengan berat hati. Namun sebisa mungkin ia akan sampaikan ini dengan senyuman kepada sang ibu. Sesampai di rumah, kios sudah mulai sepi, Amra memarkirkan sepeda dan mendekati sang ibu yang sedang duduk santai di teras

"Assalamualaikum ibuk...." Ucapnya ceria dan duduk disebelah sang ibu

"Waalaikumussalam...."

"Ibuk... Amra minta maaf ya.." kening ibu mengerut saat Amra dengan tiba-tiba meminta maaf

"Ibuk pasti sedih saat Amra bilang akan pergi ke kota untuk mewujudkan impian... Tapi ibuk tenang saja, Amra tidak akan pergi kemana-kemana...." Ibu tersenyum dan menghela kemudian memandang putrinya itu lembut

"Nduk ... apa ibuk pernah melarang kamu?" Tanyanya lembut

"Apa?"

"Nduk.... Ibu mana yang tidak sedih ketika akan ditinggalkan putrinya pergi jauh, tentu ibuk sedih...! Tapi nduk mana tega ibuk menghalangimu, setelah ibuk pikir-pikir, kali ini ibuk akan biarkan kamu pergi. Mengadu nasib! Mengejar cita-cita, ibuk akan selalu doakan kamu....! Maafkan ibuk yang tidak bisa memberimu pendidikan yang layak..."

"Ibuk......" Amra menggenggam tangan sang ibu lembut dan menangis terharu

"Terimakasih ibuk...." kemudian memeluk wanita yang telah melahirkannya itu

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!