Gemericik air hujan terdengar hingga ke dalam rumah. Rumah kecil dan kuno itupun tentu tak kedap suara. Sejak pagi tadi hujan terus mengguyur dusun Sido Mulyo, meski sempat reda, namun hanya sebentar saja. Hingga malam ini, hujan masih tenang menyirami tanah subur dusun Sido Mulyo. Bisa dipastikan jalanan akan berlumpur tebal esok hari. Tak hanya suara hujan di luar, suara tetes air yang mengenai ember pun terdengar di tengah kesunyian malam di pedasaan. Hal itu mampu membuat Amra tak bisa memejamkan kedua matanya.
Bukan karena suara itu, tapi lebih pada keadaan yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyaman. Ia adalah putri semata wayang keluarganya, tak ada yang lain yang mungkin bisa membahagiakan sang ibu di dunia ini. Meski tentu materi bukan segalanya, tapi tak bisa dipungkiri, jika materi juga dibutuhkan dalam dunia ini. Bagaimana bisa ia membiarkan keadaan seperti ini terus berlarut-larut? Pertanyaan itu yang terus terngiang dalam benaknya. Meski tak berkata, meski tetap berhias senyum, sang ibu tentu risau melihat kondisi rumah tua yang memiliki banyak titik bocor ketika hujan itu. Bukankah rumah ini sudah terhitung sebagai rumah yang tak layak huni?
Amra bangun ke posisi duduk dan beralih menuju jendela. Ia pandang hujan dari sana. Rasa dingin yang menggigit tulang tak membuatnya ingin cepat-cepat bergelung dalam selimut. Pikirannya tiba-tiba penuh sekarang. Tentang apa yang akan ia lakukan untuk membuat ibunya merasa tenang dihari tuanya. Apa yang bisa ia lakukan? Amra menghela dan memeluk tubuhnya sendiri, kemudian menunduk.
Melanjutkan hidup di "dunia" yang sempit ini, akan sulit membuatnya maju. Tak seharusnya ia berada di dalam zona nyaman ini terus, bukan? Jika ia ingin membawa perubahan, bukankah seharusnya Amra berani mengambil keputusan luar biasa? Tak hanya terkungkung dalam keterbelakangan? Amra kembali menatap hujan, yang seakan tetesan demi tetesan air langit itu akan membantunya membuat keputusan
"Haruskah aku pergi bekerja ke kota?" Gumamnya dalam sunyi.
Mungkin itu bukan ide yang buruk, tapi bagaimana dengan sang ibu jika dia pergi merantau? Tentu sang ibu akan sendirian! Dan lagipula, apakah ibunya itu akan mengizinkan anak gadisnya pergi jauh dari rumah? Tentu ini akan menjadi pertimbangan berat bagi ibunya. Amra kembali menghela
"Aku harus ngomong sama ibuk besok..." Putusnya, untuk membicarakan tentang idenya itu, ia harus pergi tidur sebelum terlambat pergi ke pasar besok.
*****
Berbeda dengan kemarin, langit pagi ini tampak begitu cerah. Burung-burung pun bernyanyi dengan begitu semangat. Hangatnya mentari seakan mengganti rasa dingin satu hari kemarin. Anak-anak berlarian, bermain dengan ceria karena hari ini Minggu. Jalanan berlumpur tak membuat warga dusun malas untuk beraktifitas, ini sudah biasa bagi mereka. Begitupun dengan Amra, disaat sang ibu sedang membuka kedai, ia berpamit pergi ke pasar untuk belanja sayuran.
Ia masih belum mengutarakan keinginannya pergi merantau. Sebenarnya, subuh tadi ia sempat berbincang dengan sang ibu, namun.... Lidahnya selalu tak sampai untuk mengatakan niat hatinya. Akhirnya ia tunda, mungkin nanti ketika ia dan sang ibu siap. Untuk hal ini Amra rasa pasti sulit mendapat restu dari ibunya, terlebih belum ada pekerjaan pasti untuknya.
Amra berjalan sedikit gontai sembari membawa tas anyaman yang biasa ia bawa ke pasar. Pikirannya terus menerka-nerka, apakah ia boleh pergi atau tidak?
Hingga akhirnya ia kembali ke rumah saat matahari sedikit meninggi. Perkiraan jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi.
"Assalamualaikum..."
Seperti biasa sang ibu akan menyambut kedatangan putrinya itu dengan senyuman. Namun kali ini, Amra bisa melihat wajah sang ibu jauh lebih sumringah dari biasanya. Amra meletakkan belanjaan di dalam rumah dan menghampiri sang ibu yang sedang membersihkan toge yang akan dimasak hari ini di teras rumah. Tanpa ada rasa curiga atas sikap sang ibu itu, Amra duduk di sebelahnya untuk membantu
"Buk..."
"Nduk...."
Bersamaan mereka saling memanggil. Amra mengurungkan niatnya untuk bicara dan membiarkan sang ibu menyampaikan terlebih dahulu. Ia tatap wajah ibunya sejenak sebagai sopan santun, tak pernah ia melihat wajah sang ibu secerah itu, mulailah ia merasa ada yang aneh dengan sang ibu
"Ada apa buk?"
"Tadi pak Joko kesini...."
Senyuman Amra menghilang, ia heran. Untuk apa pak Joko si kaya raya dari kampung sebelah itu ke rumahnya pagi-pagi? Mungkinkah sang ibu berhutang? Namun, tidak mungkin juga wajah sang ibu secerah itu jika berhubungan dengan hutang
"Ada apa buk?" Amra bertanya sembari mulai membantu ibu membersihkan toge diatas tempeh itu
"Dia bilang, tertarik padamu nduk...."
Bagai tersambar petir mendengar pernyataan itu, Amra menghentikan kegiatannya dan memandang sang ibu tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya. Namun bibirnya tak mampu untuk bertanya. Pak Joko sudah memiliki dua istri, apa ibunya rela jika ia menjadi istri ketiga? Setega itukah sang ibu?
"Anak keduanya yang ada di kota sedang mencari istri, dan pak Joko merasa tertarik padamu.... Ibu pikir, dari pada kamu luntang-lantung seperti ini, lebih baik kalau kamu menikah nduk....!" Imbuh sang ibu
Amra menghela, cukup lega, ternyata bukan pak Joko yang ingin menikahinya. Tapi rasanya berat untuk menikah? Meski usianya kini sudah menginjak seperempat abad, ia masih ingin menikmati masa mudanya dan menjelajah. Amra kembali memandang sang ibu lembut
"Amra masih belum siap buk...."
"Lho? Kamu kan sudah 25 tahun nduk? Ibuk dulu menikah saat ibuk umur 15 tahun...." Tutur sang ibu lembut
"Tapi Amra belum siap buk... Maaf, Amra masih ingin kerja..." Kepalanya menunduk, mengisyaratkan rasa bersalah karena menolak keinginan ibunya
"Lho? Pak Joko itu keluarga baik-baik lho nduk ! Apa gak sayang kalau ditolak? Ibuk ini kepingin kamu hidup enak...."
Itulah yang dipikirkan sang ibu, dengan menjadi menantu orang yang dermawan seperti pak Joko, mungkin hidup Amra akan membaik. Naluri seorang ibu yang tak menginginkan putrinya hidup susah. Amra menghela pelan dan lebih mendekat kepada sang ibu, kemudian meraih tangan kurus itu dengan lembut
"Bukannya Amra tidak mau patuh sama ibuk, Amra sungguh masih ingin sukses dan membahagiakan ibuk.... Jika Amra menikah, Amra akan berkeluarga sendiri dan akan jarang bersama ibuk... Maaf buk...."
Sang ibu menoleh padanya dan memandang putrinya itu sedikit kecewa. Namun apa yang bisa ia lakukan? Mengarungi biduk rumah tangga memang sulit, apa mau dikata jika yang bersangkutan masih tak siap?
"Dia pulang lho nduk! Kamu gak kepingin ketemu dulu? Setidaknya buat pertimbangan?" sang ibu masih mencoba peruntungannya membujuk Amra
"Sekali lagi maaf buk, jika hati Amra sudah tidak mantap, ada baiknya kami tidak usah bertemu, daripada nanti membuat luka! Lebih baik kami tidak usah kenal dulu buk..." Sang ibu menghela
"Baiklah... Ibuk tidak akan memaksa, tapi ada baiknya jika kamu pikir-pikir lagi..." Amra hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.
****
"....tapi ada baiknya jika kamu pikir-pikir lagi"
Entah sudah berapa kali Amra memikirkan hal ini. Menikah? Amra sama sekali tak pernah sampai berpikir untuk merajut kisah diatas pernikahan. Ia masih merasa terlalu muda untuk itu. Berita ini sungguh membuatnya merasa terbebani, pikiran untuk pergi merantau rasanya tak sebanding dengan semua ini.
Namun, melihat wajah kecewa sang ibu membuat hatinya terasa remuk. Selama ini ia selalu patuh pada ibunya, ini adalah pertama kalinya ia tak patuh. Ia sungguh masih ingin menikmati dunia luar, ia ingin memiliki banyak pengalaman. Tapi membicarakan keinginannya ini, rasanya kurang tepat untuk sekarang.
Sebenarnya, bukan hanya karena ia tak siap. Tapi karena cinta pertamanya lah yang membuat Amra merasa ragu untuk menikah sedini ini. Meski tak pernah mengungkap dan mencari tahu tentang dirinya, diam-diam Amra berharap dan berdoa agar rasa cintanya ini sampai pada sang cinta pertama. Amra masih sangat mengharapkannya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Caramelatte
semangat thor!
Salam dari "Belong to Esme"
2020-11-24
1