"Nduk, tidak perlu bawa apa-apa. Cukup beberapa baju saja kan. Nanti untuk buku-bukunya kita paketkan saja."
"Iya Bu, ternyata tadi aku dapat kabar kalau lusa harus ke kampus dan ke RSMH. Jadi besok harus terbang ke Jakarta. Tadi aku sudah cari tiket, alhamdulillahnya ada. Jadi tidak terlalu terburu-buru."
Dewi tersenyum. Rencana besok dia dan Aisya ingin jalan-jalan dulu karena tadi siang gagal, ternyata juga besok pun tidak bisa karena sang putri harus berangkat.
Tidak masalah sebenarnya bagi Dewi. Ia akan bisa melakukan itu jika sudah kembali ke Jakarta nanti berkumpul dengan keluarga besarnya.
Sebenarnya Dewi pun sudah tidak sabar. Tapi dia harus sabar karena harus menyelesaikan kewajibannya lebih dulu.
"Buk, Ibu yakin tidak apa-apa? Soal yang tadi?"
Wajah khawatir dari Aisya terlihat jelas. Bagaimana tidak khawatir, jika benar semua perkiraan mereka, ia bisa membayangkan betapa sakitnya hati ibunya itu.
"Ibu ndak apa-apa, sayang. Sudah sejak lama Ibu sendiri. Dan mengetahui tentang tadi walau belum pasti, sudah bukan hal yang baru bagi Ibu. Tadi ibu hanya syok aja, tapi selebihnya hanya seperti, ya sudahlah, memang bukan hal yang aneh jika memang begitu."
Tidak ada yang akan tampak baik-baik saja setelah melihat sesuatu yang menyakitkan. Namun Aisya juga tidak mau mendesak Dewi. Setiap hati dan perasaan butuh waktu sendiri untuk merasakan segala hal dan berdamai dengannya.
"Kalau Ibu ngomong gitu aku bisa apa hehehe. Tapi kalau ada apa-apa langsung bilang ke aku ya Bu. Jangan dirasain sendiri."
"Iya sayangnya Ibu yang bawel."
Dewi mengusap lembut kepala putrinya. Hatinya serasa diiris-iris sekarang. Meskipun apa yang dilihatnya tadi hanya sebentar namun Hendra yang begitu menyayangi putrinya itu membuat Dewi merasa sakit ketika melihat ke arah Aisya.
Anak hasil pernikahannya dengan Hendra namun Hendra sama sekali tidak mengetahuinya.
Memang benar dia yang memilih diam dan Dewi mengakui bahwa dia salah karena tidak mau bicara. Tapi apa yang perlu dibicarakan lagi jika memang pria itu sudah tidak ingin bersama. Rasanya pun hanya akan jadi percuma.
"Maaf ya Nak, kamu tidak pernah merasakan hangatnya sentuhan Ayah."
"Bu, aku tidak perlu itu. Aku tidak membutuhkan seorang Ayah. Selagi masih ada Ibu aku yakin hidupku baik-baik saja. Lagi pula aku punya Pakde Rama dan juga Eyang Hardi. Aku punya Bang Kai, Kak Akhza dan Mas Abra, mereka semua adalah sosok laki-laki yang hebat dibanding dengan satu predikat itu saja. Bu, ibu tidak perlu berpikir tentang itu. Sungguh aku baik-baik saja."
Dewi tahu betul tentang putrinya. Jika Aisya berkata bahwa dirinya baik-baik saja maka itu sungguh baik-baik saja. Ekspresi wajah Aisya juga menunjukkan akan hal itu sehingga Dewi merasa tenang.
Malam ini Aisya ingin tidur dengan ibunya. Dia memeluk Dewi sepanjang malam, dan saat dipertengahan malam, gadis itu terbangun.
"Dasar pria brengsek."
Aisya mengambil ponselnya, dia menghubungi seseorang, meskipun ini ada di waktu yang tidak tepat, namun dia tidak bisa menunggu hingga esok.
"Abang, semoga belum tidur,"harapnya. Awalnya Aisya mengirimi kakak sepupunya itu sebuah pesan. Ia berharap langsung dibalas. Dan ternyata malah dirinya langsung di telpon.
"Ada apa Ais?"
"Bang aku bisa minta tolong, carikan informasi tentang mantan suami Ibu."
"Hendra Kusuma? Ada apa Ais, kok tiba-tiba? Tante Dewi tahu?"
Jelas tidak, dia tidak mau ibunya tahu tentang apa yang dia lakukan ini. Dia hanya ingin mengetahui tentang kebenarannya saja.
"Ndak Bang, Ibu ndak tahu. Aku sendiri yang ingin. Selama ini Ibu selalu melarang aku untuk aku mencari tahu tentang pria itu. Tapi kemarin sore aku melihat dia bersama dua wanita, yang satu mungkin seusia Ibu dan yang satu seusiaku."
Degh!
Di seberang sana, kakak sepupu Aisya langsung paham. Berkali-kali Kai menawarkan kepada Dewi untuk mencari tahu keberadaan Hendra namun Dewi selalu tidak mau. Bukan tanpa alasan Dewi tidak ingin tahu tentang pria itu. Hatinya cukup sakit tiba-tiba ditinggalkan, dan baginya yang pergi biarlah pergi.
Bukan hanya Kai saja yang bicara demikian, Rama dan Hardi yang merupakan kakak juga ayah dari Dewi pun menawarkan hal yang sama. Tapi Dewi menolak.
"Biarkan saja, sejak saat itu dia meninggalkan aku maka hubungan kami pun berakhir." Seperti itulah jawaban Dewi.
Agaknya Dewi sedikit lupa bahwa anaknya adalah perempuan, yang membutuhkan ayahnya ketika nanti menikah.
"Oke Ais, Abang akan bantu cari. Kamu kapan ke sini nya?"
"Besok aku naik pesawat pukul 10, Bang. Ah iya Bang, untuk info ini aku mohon jangan kasih tahu siapapun ya."
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya. Tenang aja, ini akan aman."
"Terimakasih banyak Bang."
Aisya mengakhiri panggilannya. Dia lega bisa mengatakan keinginannya kepada sang kakak sepupu. Selanjutnya dia sudah tidak sabar untuk mengetahui hasilnya. Meskipun sebenarnya dia sudah bisa menduga hasilnya akan seperti apa, tapi Aisya tetap ingin tahu lebih validnya seperti apa.
Malam berlalu dengan cepat, hari yang ditunggu oleh Aisya akhirnya datang juga. Wanita muda itu sedari pagi sudah sangat sibuk menyiapkan tentang keberangkatannya menuju Jakarta.
Dan, dia juga memasak untuk sarapan. Aisya ingin memasak untuk Dewi sebelum dia ke Jakarta.
"Waaah makasih ya sayang, masakan Ais selalu juara di hati Ibu."
"Aah Ibu, kan jadi malau. Masakan aku ndak ada apa-apanya kalau di banding sama masakan Ibu."
Keduanya makan dengan hikmat. Pukul 07.30 mereka segera pergi ke bandara. Dewi kali ini menggunakan mobilnya sendiri untuk mengantar putrinya.
Semua barang penting yang dibutuhkan sudah dimasukkan ke koper dan siap dibawa. Total ada 2 koper besar dan satu duffle bag yang ukurannya besar juga dimasukkan ke mobil.
"Besok Ibu akan mengirim buku-buku kamu."
"Iya Bu, terimakasih banyak cintanya aku."
Aisya memeluk erat Dewi. Mereka berbincang sembari menunggu waktu boarding past. Dewi dan Aisya memutuskan datang lebih awal agar lebih tenang sambil menunggu waktu keberangkatan.
"Ais, Ibu mau beli minuman dulu. Kamu mau ndak?"
"Ais aja Bu yang beli, Ibu tunggu sini."
Merasa haus dan lupa membawa botol minumnya membuat Dewi ingin membeli minuman. Aisya yang menawarkan diri ditolak oleh Dewi. Lagi pula tempat membeli minuman itu tidak jauh dan Dewi merasa kalau tidak ada salahnya berjalan-jalan.
"Ibu aja, dari tadi duduk pantat Ibu berasa pegel hehhe."
Aisya paham, dia mengangguk. Dewi pun melenggang pergi. Karena tujuannya untuk membeli minum, Dewi pun fokus menuju ke sebuh market yang ada di bandara tersebut. Dia tidak melihat ke sana kemari.
Dua botol air mineral diambilnya dan ia segera menuju ke kasir. Setelah selesai dengan tujuannya ia pun segera meninggalkan tempat tersebut. Namun saat hendak keluar, siapa sangka dirinya akan berpapasan dengan seseorang yang kemarin dia lihat.
"Tunggu, kamu Dewi kan?"
"Maaf Anda salah orang."
"Tidak, aku tidak mungkin salah. Dewi, bagaimana kabarmu?"
Jeng jeng jeng
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Uba Muhammad Al-varo
lagi serius baca TBC jadi nggak sabar menunggu up-nya kembali 🙏💪💪💪
si Hendra laki2 pecundang, sikapnya biasa saja ketemu Dewi,dikira Hendra nikah sebentar terus menceraikan Dewi tanpa sebab nggak sakit, ditunggu penyesalan terdalammu Hendra /Hammer//Hammer//Hammer//Hammer//Hammer/
2025-05-27
2
Rahma Inayah
bener pura pura aja GK kenal ..nah pas dia liat Ais mirip sama dia spt buah pinang di bela dua tp persi perempuan apa yg Hendra rasakan
2025-05-27
2
Eni Istiarsi
kok kesannya kayak nggak ada nyeselnya ninggalin istri begitu saja. berpuluh tahun kemudian ketemu dan dengan entengnya nanya,"kamu Dewi kan"?
2025-05-27
1