2. Tukang Ojek Misterius

Pria itu diam sejenak. Lalu, entah mengapa, ia berkata, “Saya juga sendiri, Bu. Sudah sangat lama saya sendiri. Bahkan, saya tak pernah merasakan bagaimana itu hidup memiliki keluarga. Bagi saya, menikah hanyalah sesuatu yang merepotkan."

Ratna menoleh, agak kaget. “Oh, benar kah? Saya pikir Bapak ngojol begini untuk membiayai kebutuhan keluarga."

“Bukan. Ya, saya ngojek gini hanya untuk melawan sepi saja. Siapa tau dapat penumpang yang unik kan?" Ia melirik Ratna sejenak. "Seperti Ibu ini."

Pria itu bersandar pada kursi susun yang berbahan besi itu. Sejenak ia mengusap paha beberapa kali, lalu terulas senyum tipis di bibirnya.

"Dulu saya berpikir, perempuan hanya akan menghambat hidup saya. Hanya bisa menghabiskan uang. Membuat drama bermacam setiap harinya.” Lalu dia terkekeh menatap mata Ratna.

"Saya baru sadar, ternyata semua yang saya pikir kan itu salah, setelah rambut mulai memutih ini. Di saat semua orang menganggap saya tak menarik lagi."

"Hari ini, saya bertemu dengan Ibu. Seorang wanita tangguh, meskipun usia bisa dibilang sudah tak muda lagi. Bahkan begitu terbuka menolong orang yang tak ibu kena."

Ratna mengerjap setelah itu ia menunduk karena ada rasa canggung ditatap oleh pria beruban itu.

“Nama saya Robin,” ujarnya lagi, menyodorkan tangan.

“Ratna,” jawabnya pelan, sedikit gelagapan menerima uluran tangan itu.

"Ibu ..." Perawat menghampiri Ratna.

"Bagaimana keadaan anak tadi, Sus?"

"Sekarang, dia sudah mulai sadar. Kami telah memberikan beberap suntikan. Kami akan memberikan resep obat. Jadi, kami harap segera ditebus ke apotek yang berada di sana." Perawat menunjuk lokasi dan menyerahkan resep obat yang harus diambil.

Ratna sedikit tertegun melihat kertas yang berisi rangkaian obat bagi siswa yang diselamatkannya tadi. Sesaat ia baru sadar, uang tunai yang dimiliki telah diberikan semua ke Amora.

Meski gugup, ia akhirnya menerima resep tersebut dan segera membuka dompet lusuh yang ia pegang. "Aaahh ...." Hanya helaan napas panjang yang keluar tanpa sengaja. Di sana, tukang ojek bernama Robin itu seakan membaca sesuatu, yang tak terucap oleh bibir Ratna.

Robin bangkit dan menarik secarik kertas yang membawa beban di pikiran Ratna. "Ini, biar saya yang urus," ucapnya berjalan cepat menuju apotek.

"Kamu urus saja anak tadi. Setelah selesai, saya akan mengantar kalian pulang."

Beberapa waktu kemudian, Ratna telah berada di rumah siswa SD tadi ke langsung menyerahkan kepada orang tua nya. Lalu ia merogoh kembali dompet usangnya. Di sana, Ratna hanya menemukan satu lembar uang nominal sepuluh ribu.

"Pak, ongkos saya tadi berapa?" tanya Ratna sedikit sungkan.

Sejenak, pria itu menoleh ke atas. "Murah kok, Bu."

"Berapa, Pak?"

"Satu juta saja," ucapnya dengan santai.

"Apa? Jangan bercanda, Pak! Itu namanya, Bapak sedang memeras saya."

Lalu meledak lah tawa Robin.

...

Ratna membuka rolling door warung kopinya dengan napas yang masih terasa berat. Hari itu matahari bersinar agak malas, seperti hatinya. Ia menyalakan kompor, merebus air, dan mulai menyusun stoples kue kering sisa kemarin.

Namun mata dan pikirannya, tak lepas dari pria yang duduk semenjak tadi yang tiada henti mengeluarkan cengiran, bersandar santai di salah satu kursi, di antara meja dekat jendela.

Laki-laki yang bernama Robin itu menyilang kaki memerhatikan Ratna yang langsung sibuk di dapurnya. Setelah itu, ia memperhatikan desain warung sederhana ini dengan seksama.

Tentu saja warung ini jauh dari kesan premium. Akan tetapi tempat ini menjadi tempat yang nyaman bagi kaum mendang mending, yang tetap ingin mencicipi nikmatnya kopi dengan aroma yang menenangkan ini.

Ratna menuang air panas ke dalam teko, aroma kopi langsung menyebar memenuhi udara. Ia melirik ke arah Robin sekilas, lalu kembali fokus menggiling beberapa biji kopi di penggiling manualnya. Tangannya bekerja, tapi pikirannya justru dipenuhi tanda tanya atas rasa heran pada orang yang baru ditemuinya ini.

“Warung ini udah lama ya, Bu?” tanya Robin, memecah keheningan.

“Lumayan. Saya membangunnya semenjak suami meninggal, sekitar sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ratna, menyajikan secangkir kopi hitam di hadapannya.

“Dulu saya hanya ibu rumah tangga. Tapi setelah suami saya meninggal, saya putuskan membuka warung ini. Lokasinya tak jauh dari rumah mendiang suami. Jadi, ya ... untuk memenuhi kebutuhan kami saat itu."

Robin mengangguk pelan. Ia meniup kopi panas itu sebelum menyeruputnya perlahan. “Pahitnya pas. Kayak hidup ya.”

Ratna tertawa kecil. “Kalau pahit doang, berarti belum ditambah gula.”

Robin masih duduk di kursi dekat jendela, menatap cangkir kopi yang kini tinggal separuh. Jemarinya mengetuk-ngetuk pelan meja kayu. Ratna tak banyak bicara. Ia sibuk membereskan stoples, tapi sesekali matanya mencuri pandang ke arah pria itu.

“Kopi ini…” ujar Robin tiba-tiba, suaranya datar, “...kayak yang saya cari dari dulu.”

Ratna tak menanggapi. Ia hanya menoleh singkat, lalu kembali menyusun kue kering yang hampir habis.

Robin berdiri perlahan, mengambil helm yang tadi ia taruh di bawah kursi. Tapi sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi ke arah Ratna.

“Kalau saya datang lagi, Ibu bakal ingat saya nggak?”

Ratna berhenti bergerak. “Kalau Bapak bawa helm yang sama, mungkin saya akan langsung ingat.”

Robin tersenyum tipis. Di saat Ratna sibuk kembali, ia menaruh selembar uang.

"Ini sudah saya bayar," ucapnya mulai melangkah membuka pintu.

"Tak usah bayar, Pak. Buat ganti ongkos dan hutang hari ini," soraknya mengejar.

Namun, Robin telah beranjak melangkah ringan menuju motornya, lalu melesat pergi tanpa menoleh lagi.

Lalu, Ratna menuju bangku Robin tadi. Di sana terdapat satu lembar uang berangka 100, bukan rupiah, tetapi euro.

**

Beberapa menit kemudian, motor itu berhenti di depan sebuah gedung tinggi, berlapis kaca, megah berdiri di tengah kota.

Plang besar bertuliskan:

R.H. Group

Robin melepas helmnya perlahan. Rambutnya yang mulai memutih berkilau diterpa cahaya sore. Ia menatap gedung itu, lalu melangkah masuk dengan langkah tegas. Penuh arah. Seperti seseorang yang menyimpan banyak hal di balik diamnya.

"Aduh, Bapak? Masih belum bosan jadi tukang ojeknya?" tanya Wirya, asisten pribadi Robin.

"Sekarang, tolong siapkan sebuah rumah kecil dan sederhana. Sepertinya sebentar lagi saya akan menikah."

"Wah, benar kah? Serius Bapak Robin Hadinata si bujangan legendaris, akan melepas masa lajangnya? Tapi, kenapa hanya dikasih rumah kecil, Pak?"

Terpopuler

Comments

Safira Aurora

Safira Aurora

hari ini, segini Ja dulu thor. soalnya lg kurang sehat. duh, penasaran gimna pertemuan dengan mantan suami pertama dan hanza

2025-05-29

1

Eva Karmita

Eva Karmita

mantap ni pak tua gercep ngak mau basa basi mau langsung halalin Bu Ratna ❤️❤️❤️

2025-05-24

1

MomyWa

MomyWa

walaaaaahh, penasaran nih..kenapa smpai nyembunyika. identitas

2025-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!