Bunga dan Benang Merah itu

Bandung pagi itu disambut semilir angin yang lembut. Rendi turun dari mobil dinas dengan langkah ringan, matanya langsung tertuju ke bangunan kaca minimalis dua lantai yang akan menjadi restoran baru proyek milik keluarga besar mereka.

Di depan pintu kaca, seorang perempuan berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya serius tapi terlihat segar meski belum lewat pukul delapan. Rambutnya terurai rapi, blazer warna soft beige membingkai tubuhnya yang profesional.

“Selamat pagi, Pak Rendi,” sapa Bunga sambil tersenyum sopan.

Rendi sedikit terkejut melihatnya sudah berada di lokasi. “Pagi, Bunga. Kamu udah dari tadi?”

“Dari jam setengah tujuh, Pak. Saya lanjutkan administrasi yang belum selesai semalam, dan Alhamdulillah tinggal tanda tangan untuk kontrak supplier sama izin teknis dapur,” jawabnya cekatan.

Rendi mengangguk, kagum. Ia belum sempat mengucapkan pujian saat matanya menyapu meja kerja yang penuh berkas—tertata, rapi, dengan post-it warna-warni sebagai penanda.

“Saya pikir ini baru bisa kelar tiga atau empat hari ke depan,” gumamnya.

Bunga tersenyum kecil. “Kemarin saya lembur, Pak. Beberapa data saya minta lebih awal ke bagian keuangan dan legal, jadi tinggal proses finalisasi. Saya pikir kalau bisa dipercepat, kenapa harus ditunda?”

Jawaban itu membuat Rendi menatapnya lebih lama, bukan karena rupa, tapi karena profesionalisme dan inisiatif yang jarang ia temukan di usia kerja muda seperti Bunga.

“Kamu luar biasa,” ucapnya tanpa basa-basi.

Bunga tertawa kecil, tidak malu-malu, hanya menyambut pujian dengan santai. “Terima kasih, Pak. Saya hanya bantu sebaik mungkin.”

Mereka lalu duduk bersama di ruang meeting kecil di lantai dua. Dokumen demi dokumen dibuka, ditandatangani, diperiksa ulang. Semuanya berlangsung cepat dan efektif. Rendi beberapa kali menatap jam tangannya, tak percaya semua bisa rampung sebelum makan siang.

Sesekali mereka berbincang ringan, tentang kuliner khas Bandung yang rencananya akan disajikan di restoran, tentang interior yang sudah hampir selesai, dan tentang peresmian yang kini bisa dimajukan dua hari lebih awal.

“Kalau semua kerja secepat dan serapi ini, saya bisa pulang lebih cepat hari ini,” ujarnya sambil tersenyum.

Bunga membalas dengan anggukan. “Itu kabar baik, Pak. Istri dan anak pasti senang.”

Rendi mengangguk pelan, memikirkan Alisya dan Rasya di rumah. “Iya… Mereka yang paling saya rindukan kalau kerja di luar kota.”

Belum sempat Rendi membereskan berkas-berkas di meja, ponselnya bergetar. Nama Ayah tertera di layar. Ia segera mengangkat.

“Halo, Yah.”

“Rendi, kamu masih di lokasi restoran?” suara berat Ayahnya terdengar jelas dan tegas, seperti biasa.

“Masih, Yah. Ini barusan selesai semua. Tinggal tanda tangan akhir.”

“Bagus. Kalau begitu langsung meluncur ke lapangan golf di Dago. Ayah ada janji ketemu Pak Hendra—kamu pasti belum terlalu kenal, dia itu sahabat Ayah waktu sama-sama mulai bisnis dua puluh tahun lalu.”

“Oh iya, yang punya jaringan kuliner itu?”

“Benar. Dan dia juga Ayahnya Bunga.”

Rendi sempat terdiam, menoleh sekilas ke arah Bunga yang masih membereskan dokumen dengan cekatan di sudut meja. Ia tak menyangka, di balik sosok muda dan pekerja keras itu, ada koneksi yang ternyata begitu dekat dengan keluarganya.

“Baik, Yah. Saya segera ke sana.”

“Bagus. Bawa Bunga sekalian. Dia sudah bantu banyak, dan Pak Hendra ingin kamu mengenalnya lebih dari sekadar sebagai staf. Ini juga soal kepercayaan.”

Telepon ditutup. Rendi meraih jaketnya dan menghampiri Bunga.

“Bunga,” panggilnya ringan.

Bunga mengangkat kepala. “Iya, Pak?”

“Kita harus ke lapangan golf di Dago sekarang. Ayah saya sedang bertemu dengan Pak Hendra… katanya Ayahmu.”

Mata Bunga sedikit membesar, tak menyangka kabar itu datang dari Rendi. “Oh... iya, Pak. Saya tahu beliau ada jadwal hari ini, tapi tidak menyangka saya diminta ikut.”

Rendi tersenyum. “Kamu sudah kerja keras, jadi ini juga bentuk penghargaan. Siapkan berkas yang perlu dibawa. Kita berangkat sekarang.”

Bunga segera mengangguk dan bergegas. Dalam hati, ia merasa ini bukan sekadar pertemuan profesional biasa—tapi mungkin awal dari kepercayaan yang lebih dalam antar dua keluarga besar.

Di dalam mobil menuju Dago, Rendi terdiam sesaat memandangi jalanan. Ia tahu, urusan bisnis kadang tidak sesederhana antara atasan dan bawahan. Dan hari ini, segalanya terasa mulai menyatu dalam satu benang merah: kepercayaan, keluarga, dan masa depan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

...****************...

Lapangan golf di Dago pagi itu tampak hijau menyegarkan. Kabut tipis sudah mengangkat, menyisakan hawa sejuk yang membuat percakapan jadi lebih hangat.

Rendi dan Bunga melangkah menuju salah satu gazebo terbuka di pinggir lapangan. Di sana, dua pria paruh baya sudah duduk santai dengan cangkir teh di tangan. Ayah Rendi—(Pak Wiratma)—berpakaian golf rapi, sementara di sampingnya duduk Pak Hendra, lelaki dengan perawakan tenang dan sorot mata yang tajam, tapi ramah.

“Rendi, sini duduk,” sapa Pak Wiratma sambil tersenyum.

“Selamat pagi, Om Hendra,” ucap Rendi sambil menjabat tangan Pak Hendra.

“Pagi, Rendi. Sudah lama nggak lihat kamu. Terakhir waktu kamu masih kuliah, ya?”

Rendi mengangguk sopan, “Iya, Om. Senang bisa ketemu lagi.”

Pak Hendra tersenyum, lalu melirik ke arah Bunga. “Dan ini tentu saja anak saya yang sekarang lebih sering ketemu kamu di lapangan daripada sama saya sendiri.”

Bunga tertawa kecil. “Maaf, Ayah. Fokus kerja dulu.”

Obrolan pun mulai mengalir santai. Pak Wiratma mulai membuka pembicaraan tentang proyek yang tengah dikerjakan perusahaan miliknya.

“Kamu tahu, Hen, restoran di Bandung ini jadi bagian kecil dari tiga proyek besar yang kami bangun tahun ini. Dua gedung kantor di Jakarta, satu lagi resor di Yogyakarta. Tapi restoran ini yang paling bikin saya pribadi semangat… karena buat keluarga,” ujar Pak Wiratma (Ayah Rendi) sambil menatap Rendi sekilas.

Pak Hendra mengangguk. “Dan hasilnya bagus. Saya lihat progresnya rapi, cepat. Kombinasi bagus—tim dari kamu, sama tim anak saya.”

Pak Wiratma tertawa ringan. “Iya, itu saya juga nggak nyangka. Ternyata anak kita bisa saling dorong kerja cepat.”

Setelah beberapa gurauan ringan, obrolan mulai menyentuh sisi personal. Pak Hendra meletakkan cangkir tehnya dan memandang Bunga.

“Bunga ini… kadang bikin saya khawatir juga. Anak perempuan, kerja keras banget, kadang lupa istirahat.”

“Dia bantu banyak, Om, baru kemarin saya setujui jadi sekretaris pribadi" sahut Rendi cepat. “Saya sendiri takjub, padahal saya pikir administrasi itu baru kelar empat hari ke depan, tapi dia bikin rampung dalam dua hari , "

Pak Hendra tersenyum bangga, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Bunga memang keras kepala… sejak kecil. Apalagi setelah ibunya pergi.”

Suasana mendadak hening sejenak. Bunga hanya menunduk, tetap tersenyum tenang.

“Ibunya nggak meninggal,” lanjut Pak Hendra pelan, seolah menjawab pertanyaan tak terucap. “Dia memilih hidup lain. Pergi saat Bunga masih SD. Sejak itu dia nggak pernah minta dimanja. Selalu bilang: ‘Aku mau jadi orang yang Ayah banggakan.’”

Pak Wiratma menepuk pelan pundak sahabatnya. “Dan sekarang kamu bisa bangga, Hen.”

“Bisa. Tapi saya juga tahu, dia butuh lingkungan yang sehat dan orang-orang yang bisa lihat dia bukan cuma dari nama keluarga. Tapi dari dirinya sendiri.”

Rendi menatap Bunga sekilas, lalu kembali memandang kedua ayah itu. Dalam hatinya, ia bisa merasakan ada nilai yang sama tumbuh dalam dirinya—tentang kerja keras, kesetiaan pada keluarga, dan menghargai orang lewat tindakan, bukan label.

Obrolan pun berlanjut, sesekali diselingi tawa dan cerita masa muda. Dan hari itu, Rendi tak hanya pulang dengan rasa lega karena proyek berjalan baik, tapi juga membawa pulang satu pelajaran penting: bahwa setiap orang membawa cerita—dan menghargai cerita itu adalah bagian dari menjadi manusia yang utuh.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

awal kehancuran rumah tangga, dimulai hubungan bisnis kedua org tua

2025-07-21

0

lihat semua
Episodes
1 3 jiwa satu rumah satu cinta
2 Senja di Bandung , Damai di rumah
3 Cinta yang pulang tepat waktu
4 Bunga dan Benang Merah itu
5 Melewati jalan pulang
6 Pelukan di ujung hari
7 jendela dan doa
8 Hangat nya sebuah Awal
9 Rumah kita di Pagi hari
10 Batas antara Rumah dan tugas
11 langkah Pertama di Hari terakhir.
12 Dia ada , Rendi
13 Se Hangat sambutan , Setegas batasan
14 Jamuan hangat .
15 Dalam diam yang saling mengerti
16 Jarak yang tak bernama
17 Suara yang tidak pernah sama
18 Jejak yang tak seharusnya
19 Satu malam , tiga luka
20 Pagi yang tak biasa
21 Pulang Yang patah
22 Mencoba menjadi ada
23 yang tak pernah penuh
24 Musim yang tak pernah bertemu
25 Selimut Senja
26 Mentari Hangat
27 Satu Nama , Dua Luka
28 Kembali ke Cerita lama
29 Ketakutan atau Terluka ?
30 Pergi atau bertahan
31 Keluarga ? Harapan ?
32 Tanpa Jejak
33 Warisan Luka
34 ibu dan anak perempuan nya
35 Bunga dan Harapan
36 Bukan tentang Kita
37 luka dan cinta
38 Keputusan
39 Rumah Yang Bukan Milikku
40 Sebelum Langkah terakhir
41 Awal dan Akhir ?
42 Pamit
43 Surat Pengadilan
44 Pelan , Aku Pergi .
45 Di Sengaja .
46 Kebenaran yang Terungkap
47 Obat Alisya
48 Sunyi , Sepi
49 Keputusan Terakhir
50 Pulang dan Cinta
51 Ayah , namamu sudah lama hilang
52 Hiburan.
53 Rasya Rindu Ayah
54 Tidak Ada Ibu 2
55 Bab 55
56 Bab 56
57 BAB 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 65
66 BAB 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 BAB 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 BAB 85
86 BAB 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
Episodes

Updated 89 Episodes

1
3 jiwa satu rumah satu cinta
2
Senja di Bandung , Damai di rumah
3
Cinta yang pulang tepat waktu
4
Bunga dan Benang Merah itu
5
Melewati jalan pulang
6
Pelukan di ujung hari
7
jendela dan doa
8
Hangat nya sebuah Awal
9
Rumah kita di Pagi hari
10
Batas antara Rumah dan tugas
11
langkah Pertama di Hari terakhir.
12
Dia ada , Rendi
13
Se Hangat sambutan , Setegas batasan
14
Jamuan hangat .
15
Dalam diam yang saling mengerti
16
Jarak yang tak bernama
17
Suara yang tidak pernah sama
18
Jejak yang tak seharusnya
19
Satu malam , tiga luka
20
Pagi yang tak biasa
21
Pulang Yang patah
22
Mencoba menjadi ada
23
yang tak pernah penuh
24
Musim yang tak pernah bertemu
25
Selimut Senja
26
Mentari Hangat
27
Satu Nama , Dua Luka
28
Kembali ke Cerita lama
29
Ketakutan atau Terluka ?
30
Pergi atau bertahan
31
Keluarga ? Harapan ?
32
Tanpa Jejak
33
Warisan Luka
34
ibu dan anak perempuan nya
35
Bunga dan Harapan
36
Bukan tentang Kita
37
luka dan cinta
38
Keputusan
39
Rumah Yang Bukan Milikku
40
Sebelum Langkah terakhir
41
Awal dan Akhir ?
42
Pamit
43
Surat Pengadilan
44
Pelan , Aku Pergi .
45
Di Sengaja .
46
Kebenaran yang Terungkap
47
Obat Alisya
48
Sunyi , Sepi
49
Keputusan Terakhir
50
Pulang dan Cinta
51
Ayah , namamu sudah lama hilang
52
Hiburan.
53
Rasya Rindu Ayah
54
Tidak Ada Ibu 2
55
Bab 55
56
Bab 56
57
BAB 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
65
66
BAB 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
BAB 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
BAB 85
86
BAB 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!