Melewati jalan pulang

Siang itu, matahari Jakarta menyinari jalanan dengan lembut. Alisya menghentikan mobilnya perlahan di depan rumah sederhana dua lantai yang sudah akrab di hati—rumah masa kecilnya yang kini menjadi pusat pengelolaan Butik Serba Murah. Di jok belakang, Rasya tertidur sambil memeluk boneka dinosaurus kesayangannya.

“Bunda , udah sampai?” gumam Rasya pelan saat Alisya membuka pintu mobil.

“Iya, Sayang. Yuk, bangun... Mau ketemu Nenek, kan?” jawab Alisya sambil tersenyum dan membantunya turun.

Saat melewati pagar kayu yang tidak terkunci, aroma masakan rumahan langsung menyambut. Di teras, Bu Ratna duduk santai mengenakan daster batik pastel. Di sampingnya, Tante Nila—adik dari ibu Alisya—sedang bercanda dengan cucunya, seorang bocah kecil seumuran Rasya yang tengah asyik bermain mobil-mobilan.

“Nenekkkk!” seru Rasya riang, langsung berlari ke arah Bu Ratna.

“Eh, Rasya datang!” Bu Ratna tersenyum lebar, memeluk cucunya dengan penuh cinta. “Duh, makin ganteng aja kamu. Udah kayak Rendi.”

“Assalamualaikum, Bu,” ucap Alisya menyusul dari belakang.

“Waalaikumsalam, anak Ibu. Kaget Ibu, tumben banget main ke sini,” sambut Bu Ratna hangat, memeluk anak semata wayangnya.

“Rasya kangen nenek katanya,” sahut Alisya sambil mengusap kepala putranya.

“Dan aku kangen sama cucuku yang bawel ini,” timpal Tante Nila sambil tertawa, lalu menoleh pada Alisya. “Lis, kamu makin cantik aja deh, Rendi paling bisa buat bahagia kamu , mana Rendi Ga ikut ?"

Alisya tertawa kecil. “ Iya Ayah nya Rasya gak ikut Tan, tapi kerjaannya lagi padat banget. Lagi ada proyek restoran baru di Bandung.”

“Oh iya, denger-denger proyek keluarga ya? Hebat juga tuh Rendi. Tapi kamu jangan terlalu capek , ya. Ibu rumah tangga itu juga kerja berat, loh,” ujar Tante Nila sambil mengelus rambut cucunya yang sedang bermain bersama Rasya.

Mereka masuk ke ruang tamu yang sekaligus ruang kerja butik. Di meja panjang, tumpukan katalog kain, buku stok, dan laptop terbuka—menunjukkan bahwa Bu Ratna tetap aktif, meski kini bisnisnya sudah memiliki banyak cabang.

“Gimana butik, Bu?” tanya Alisya sambil duduk.

“Lancar, alhamdulillah. Tapi Ibu paling betah kerja di rumah ini. Mau sehebat apapun cabangnya, hati Ibu tetap di sini.”

Di sudut ruangan, Rasya dan cucu Tante Nila sedang bermain tawa-tawa kecil. Mereka terlihat cepat akrab, tertawa saat salah satu mobil mainan terjatuh.

“Kok lucu banget sih mereka, padahal baru ketemu,” gumam Alisya sambil tersenyum.

“Nah, itu namanya darah keluarga,” celetuk Tante Nila. “Si Nara itu anaknya Intan, kamu inget kan? Dulu yang suka main sama kamu terus "

“Oh iya! Ya ampun, Intan ternyata punya anak segede ini , seumuran lagi"

“Waktu lari cepat, Lis. Tau-tau kita udah panggilan ‘Nenek’ sekarang,” jawab Tante Nila sambil tertawa pelan.

Alisya terdiam sejenak, lalu menatap ibunya yang tengah mengamati dua bocah bermain. Ada damai yang meresap dalam keheningan singkat itu. Rumah itu, dan semua perempuan yang tinggal dan tumbuh di dalamnya, adalah akar kekuatan hidupnya.

......................

Tak lama kemudian, ponsel Alisya berdering—sebuah panggilan video dari Rendi. Ia segera mengangkatnya. Wajah suaminya muncul di layar, dikelilingi hamparan hijau lapangan golf yang teduh.

"Assalamu’alaikum," sapa Rendi dengan senyum yang menenangkan.

"Wa’alaikumsalam, Sayang... Kamu di mana itu?" tanya Alisya, sedikit heran melihat latar belakang yang asing.

Rendi mengarahkan kameranya ke sekeliling. Angin berembus pelan, menambah damai suasana di balik layar.

"Lagi di lapangan golf, Sayang. Alhamdulillah, pekerjaan udah beres. pekerjaan sama Bunga juga udah diberesin semua," jelasnya tenang. "Tadinya mau langsung pulang, tapi Ayah ngajak ketemuan dulu sama temannya. Kebetulan Teman nya ayahnya Bunga juga ."

Kamera Rendi bergerak pelan, memperlihatkan Pak Wiratma dan Pak Hendra yang tengah duduk berbincang serius di pinggir lapangan. Di sebelah mereka, Bunga tampak duduk diam di dekat ayahnya, sesekali menatap layar ponsel Rendi dengan sekilas pandang.

"Aku senang bisa pulang lebih awal. Rasanya udah kangen banget sama kamu dan Rasya," lanjut Rendi, kali ini suaranya lebih lembut.

Alisya pun memperlihatkan layar video call yang menampilkan wajah ibunya. Ia mengarahkan kamera ke arah Rendi.

“Ibu, ini Rendi,” ucap Alisya pelan.

Mata sang ibu langsung tertuju ke layar. “Rendi sehat ya?” sapanya hangat.

Rendi tersenyum, menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk hormat. “Ibu sehat? Maaf, Rendi belum sempat ke rumah lagi…”

“Gapapa, Ren,” jawab sang ibu singkat, lalu melambaikan tangan ke layar.

Tak lama kemudian, Rendi berpamitan dan menutup panggilan video itu, kembali bergabung dengan obrolan di meja. Alisya menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas dengan senyum lembut di wajahnya.

......................

Pak Hendra sempat memperhatikan Rendi saat ia menelepon. Ada rasa kagum dalam hatinya—sederhana, tapi tulus. Ia terkesan melihat Rendi yang menyempatkan diri memberi kabar kepada istrinya.

Ketika Rendi duduk kembali, Pak Hendra pun membuka percakapan.

“Istrimu kerja, Ren?” tanyanya dengan nada santai.

“Istri saya di rumah, Pak. Mengurus saya dan Rasya,” jawab Rendi sambil terkekeh ringan.

Pak Wiratma yang duduk di seberangnya menurunkan kakinya dari sandaran, mengambil gelas es teh di meja, dan meminumnya sambil menyeringai kecil.

“Padahal, dulu sebelum nikah, istri saya punya pekerjaan. Tapi sejak Rasya di kandungan, saya minta dia berhenti. Biar fokus di rumah,” tambah Rendi, sesekali melirik ke arah ayahnya.

Pak Hendra tersenyum kecil. “Oh, saya kira masih kerja. Nanti kalau Bunga ke Jakarta, nitip ya… sama istrimu!” godanya sambil tertawa ringan.

“Ayah, ih…” Bunga menunduk, pipinya memerah. Ia tersipu malu, disambut tawa ringan dari Pak Wiratma.

Pak Wiratma kemudian menimpali, “Bunga sudah ada tempat tinggal di Jakarta belum? Kalau belum, sementara tinggal di rumah Rendi aja.”

Rendi yang sedang minum tersedak pelan, terkejut. Bagaimanapun, Bunga adalah wanita asing baginya.

Namun sebelum ia menjawab, Bunga langsung merespons dengan manja, “Nggak usah, Pak. Terima kasih. Kan kita punya apartemen di Jakarta. Iya, Yah?”

Pak Hendra mengangguk mantap. Pak Wiratma pun ikut mengangguk, mengerti maksud Bunga .

...****************...

Menjelang sore, Rendi memutuskan untuk berpamitan. Hari itu cukup panjang, dan meskipun suasana di lapangan golf terasa santai, pikirannya mulai kembali tertuju pada tanggung jawab di Jakarta. Ia masih harus meninjau sejumlah laporan dan menyerahkan beberapa berkas penting kepada direktur sementara yang ditunjuk ayahnya. Sebagai Kepala Bagian Konstruksi, ia tak bisa lama-lama meninggalkan kantor.

Saat Rendi menyampaikan maksudnya untuk pamit, Pak Hendra menahan langkahnya sejenak.

“Ren,” ujarnya sambil menoleh ke arah putrinya, “sekalian saja Bunga ikut bersamamu ke Jakarta. Dia harus mulai berbenah di apartemennya. Lebih baik berangkat sekarang supaya bisa persiapan lebih awal.”

Rendi menatap Pak Hendra sejenak, lalu beralih pada Bunga yang tampak sedikit terkejut, namun tidak menolak. Ia mengangguk pelan.

“Baik, Pak. Nggak masalah. Kita berangkat bersama.”

Bunga tersenyum tipis, menerima keputusan itu tanpa banyak kata. Baginya, ini memang saat yang tepat untuk memulai langkah baru.

Mereka lalu berpamitan kepada Pak Wiratma yang sedang duduk santai di sisi lapangan, menikmati teh dingin sambil memandang hijaunya rerumputan.

“Kami pamit dulu, Pak,” ucap Rendi sambil menjabat tangan beliau.

Pak Wiratma mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati di jalan, ya. Dan kamu, Bunga, jangan bikin repot Rendi.”

Bunga hanya tertawa kecil, menunduk malu. Rendi sekilas tersenyum, lalu mereka berpindah ke arah Pak Hendra.

“Terima kasih untuk hari ini, Pak,” ujar Rendi dengan sopan.

Pak Hendra menepuk pelan pundak Rendi. “Jaga diri. Dan bantu Bunga beradaptasi. Dia belum tahu kerasnya Jakarta.”

Rendi mengangguk. “Insyaallah, Pak.”

Dengan langkah ringan namun pasti, keduanya berjalan menuju mobil yang terparkir di sisi lapangan. Sinar matahari mulai merendah, mewarnai langit sore dengan semburat jingga yang lembut. Suasana hening sesaat, hanya terdengar desir angin dan bunyi sepatu mereka menyentuh rerumputan.

Mobil pun melaju pelan, meninggalkan lapangan golf dan membawa mereka menuju kota—menuju awal dari cerita baru yang belum mereka tahu ke mana akan bermuara.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

bacanya dek dek an

2025-07-21

0

lihat semua
Episodes
1 3 jiwa satu rumah satu cinta
2 Senja di Bandung , Damai di rumah
3 Cinta yang pulang tepat waktu
4 Bunga dan Benang Merah itu
5 Melewati jalan pulang
6 Pelukan di ujung hari
7 jendela dan doa
8 Hangat nya sebuah Awal
9 Rumah kita di Pagi hari
10 Batas antara Rumah dan tugas
11 langkah Pertama di Hari terakhir.
12 Dia ada , Rendi
13 Se Hangat sambutan , Setegas batasan
14 Jamuan hangat .
15 Dalam diam yang saling mengerti
16 Jarak yang tak bernama
17 Suara yang tidak pernah sama
18 Jejak yang tak seharusnya
19 Satu malam , tiga luka
20 Pagi yang tak biasa
21 Pulang Yang patah
22 Mencoba menjadi ada
23 yang tak pernah penuh
24 Musim yang tak pernah bertemu
25 Selimut Senja
26 Mentari Hangat
27 Satu Nama , Dua Luka
28 Kembali ke Cerita lama
29 Ketakutan atau Terluka ?
30 Pergi atau bertahan
31 Keluarga ? Harapan ?
32 Tanpa Jejak
33 Warisan Luka
34 ibu dan anak perempuan nya
35 Bunga dan Harapan
36 Bukan tentang Kita
37 luka dan cinta
38 Keputusan
39 Rumah Yang Bukan Milikku
40 Sebelum Langkah terakhir
41 Awal dan Akhir ?
42 Pamit
43 Surat Pengadilan
44 Pelan , Aku Pergi .
45 Di Sengaja .
46 Kebenaran yang Terungkap
47 Obat Alisya
48 Sunyi , Sepi
49 Keputusan Terakhir
50 Pulang dan Cinta
51 Ayah , namamu sudah lama hilang
52 Hiburan.
53 Rasya Rindu Ayah
54 Tidak Ada Ibu 2
55 Bab 55
56 Bab 56
57 BAB 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 65
66 BAB 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 BAB 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 BAB 85
86 BAB 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
Episodes

Updated 89 Episodes

1
3 jiwa satu rumah satu cinta
2
Senja di Bandung , Damai di rumah
3
Cinta yang pulang tepat waktu
4
Bunga dan Benang Merah itu
5
Melewati jalan pulang
6
Pelukan di ujung hari
7
jendela dan doa
8
Hangat nya sebuah Awal
9
Rumah kita di Pagi hari
10
Batas antara Rumah dan tugas
11
langkah Pertama di Hari terakhir.
12
Dia ada , Rendi
13
Se Hangat sambutan , Setegas batasan
14
Jamuan hangat .
15
Dalam diam yang saling mengerti
16
Jarak yang tak bernama
17
Suara yang tidak pernah sama
18
Jejak yang tak seharusnya
19
Satu malam , tiga luka
20
Pagi yang tak biasa
21
Pulang Yang patah
22
Mencoba menjadi ada
23
yang tak pernah penuh
24
Musim yang tak pernah bertemu
25
Selimut Senja
26
Mentari Hangat
27
Satu Nama , Dua Luka
28
Kembali ke Cerita lama
29
Ketakutan atau Terluka ?
30
Pergi atau bertahan
31
Keluarga ? Harapan ?
32
Tanpa Jejak
33
Warisan Luka
34
ibu dan anak perempuan nya
35
Bunga dan Harapan
36
Bukan tentang Kita
37
luka dan cinta
38
Keputusan
39
Rumah Yang Bukan Milikku
40
Sebelum Langkah terakhir
41
Awal dan Akhir ?
42
Pamit
43
Surat Pengadilan
44
Pelan , Aku Pergi .
45
Di Sengaja .
46
Kebenaran yang Terungkap
47
Obat Alisya
48
Sunyi , Sepi
49
Keputusan Terakhir
50
Pulang dan Cinta
51
Ayah , namamu sudah lama hilang
52
Hiburan.
53
Rasya Rindu Ayah
54
Tidak Ada Ibu 2
55
Bab 55
56
Bab 56
57
BAB 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
65
66
BAB 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
BAB 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
BAB 85
86
BAB 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!