Senja di Bandung , Damai di rumah

Alisya, satu-satunya putri dari seorang ibu yang berpendidikan menempuh pendidikan hingga lulus dari jurusan Manajemen. Namun, di tengah pilihan karier yang terbuka lebar, ia memilih jalan yang berbeda. Ia memutuskan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga sepenuh waktu—sebuah pilihan yang mungkin tak semua orang pahami, tetapi ia jalani dengan tulus.

Pagi itu, setelah suami dan anak semata wayangnya, Rasya, berangkat, Alisya mulai membereskan meja makan yang masih menyisakan jejak sarapan tergesa. Piring-piring kotor dikumpulkan ke bak cuci, sementara beberapa baju kotor di ruang tamu segera ia masukkan ke dalam mesin cuci. Rumah mungil mereka yang sempat riuh mulai kembali hening, menyisakan suara mesin dan sesekali angin yang menyusup dari jendela.

Tak ada keluhan dari bibir Alisya. Baginya, ini adalah bentuk cinta yang bisa ia berikan—menjaga rumah tetap hangat dan teratur.

Menjelang siang, ia bersiap menjemput Rasya dari sekolah. Ia mengenakan gamis sederhana dan hijab berwarna lembut, wajahnya dirias tipis. Meski tak banyak bertemu orang setiap hari, Alisya percaya bahwa merawat diri adalah bagian rasa hormat terhadap kehidupan yang ia jalani

Setelah menjemput Rasya, mereka mampir sebentar ke pusat perbelanjaan. Rasya ingin membeli alat tulis bar , sambil menggandeng tangan kecil anak nya , Alisya mengarah ke Toko alat tulis di lorong dekat eskalator ia mendengar seseorang memanggil .

"Alisya? Wah, kamu masih cantik banget!" sapa Maya sambil memeluknya hangat.

Rina menambahkan, "Kita kira kamu kerja di kantor juga. Nggak pernah nongol di LinkedIn."

Alisya tersenyum. "Aku di rumah. Ngurus Rasya, rumah, dan... suami."

Citra mengangkat alis. "Hebat ya, pilih jalur yang jarang dipilih. Kita juga Udah nikah anak juga Ada masih sibuk kejar target, kadang lupa sarapan. Tapi kamu... kelihatan damai banget."

Alisya tertawa kecil. Ada nada getir yang samar, namun ia tetap tenang. "Setiap pilihan ada konsekuensinya. Kalian hebat di jalur kalian, aku juga berusaha jadi hebat di jalurku."

Mereka sempat mengobrol sebentar dan berbagi kontak satu sama lain sebelum berpamitan. Rasya sudah mulai terlihat gelisah, ingin pulang dan membuka alat tulis barunya.

Di perjalanan pulang, Alisya sempat termenung. Ada bagian dari dirinya yang rindu dunia kerja—rapat pagi, deadline, pencapaian. Tapi ia tahu, setiap hari ia sedang menanam sesuatu. Mungkin tak berbentuk angka atau grafik, tapi ia sedang menanam kasih, kesabaran, dan nilai dalam kehidupan anaknya.

Sementara itu, di Bandung...

Udara Bandung menjelang sore terasa sejuk, sedikit berkabut, dengan aroma tanah basah usai gerimis singkat. Rendi berdiri di teras sebuah kafe semi-outdoor, memandang salah satu properti yang sedang ia pertimbangkan untuk dijadikan bagian dari lini bisnis restorannya. Ia mencatat sesuatu di ponsel, lalu masuk ke dalam melihat interior. Waktu kerjanya padat, namun semua ia jalani demi impian keluarga kecilnya.

Setelah mengunjungi dua venue lagi, ponselnya berdering. Nama “Ayah” tertera di layar. Rendi menghela napas sebentar sebelum mengangkat.

“Iya, Yah?”

“Kamu di Bandung, kan? Sempatkan ke vila. Ada yang ingin Ayah bicarakan,” suara ayahnya terdengar tegas, seperti biasa.

Tanpa banyak bertanya, Rendi menurut. Sore itu juga ia mengemudi menuju vila keluarga yang terletak di dataran tinggi, sedikit tersembunyi di antara rimbun pohon pinus. Rumah tua bergaya kolonial itu masih tampak megah, dengan aura yang seolah menyimpan cerita lama.

Setibanya di sana, Ayahnya sudah menunggu di ruang tamu, duduk berdampingan dengan seorang wanita muda yang belum pernah Rendi lihat sebelumnya.

“Rendi,” sapa sang ayah. “Kenalkan, ini Bunga. Anak teman lama Ayah waktu masih aktif di dunia bisnis.”

Bunga berdiri, tersenyum ramah. Kulitnya cerah terawat, rambut panjang tergerai rapi di balik blazer krem yang menonjolkan kesan profesional. Wajahnya manis, dengan riasan tipis yang membuatnya tampak dewasa, meski jelas masih jauh lebih muda dari Rendi. Posturnya tegap, percaya diri, dan ada aura menawan yang seolah membuat ruangan sedikit lebih terang.

“Senang bisa bertemu langsung, Mas Rendi,” ucapnya sambil menjulurkan tangan. “Selama ini saya hanya dengar cerita tentang Bapak dan bisnis keluarga kalian.”

Rendi menjabat tangan itu sebentar, lalu menatap ke arah ayahnya.

“Ayah langsung saja,” lanjut sang pria tua. “Mulai Hari ini, Bunga akan jadi sekretaris pribadimu. Banyak urusan bisnis yang butuh tangan kanan yang bisa Ayah percaya.”

“Aku sudah punya tim sendiri,” ujar Rendi perlahan. “Sekretaris, admin, semuanya—”

“Ayah bilang ini soal kepercayaan. Mau tidak mau, kamu harus mau. Dia bukan cuma pintar, dia tahu cara kerja orang-orang kita. Ini bukan soal kinerja, ini soal kesinambungan.”

Bunga masih tersenyum, sopan, tanpa sedikit pun terganggu dengan ketegangan yang mulai mengendap di ruangan .

Rendi masih belum memberikan jawaban atas pernyataan ayahnya. Matanya menatap Bunga—diam-diam mencoba membaca maksud tersembunyi di balik wajah ramah gadis itu. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Nama Alisya tertera di layar. Video call.

Ia meminta izin sejenak, berdiri sedikit menjauh dari ruang tamu. Sementara ayahnya hanya mengangguk, dan Bunga tetap duduk tenang, memainkan cincin kecil di jarinya.

Layar ponsel menyala, memperlihatkan wajah Alisya yang polos tanpa riasan, hijabnya sedikit berantakan seperti habis bermain dengan Rasya. Dan di sampingnya, kepala kecil Rasya menyembul, matanya berbinar.

“Ayah di mana?” tanya Rasya langsung, polos.

“Kapan pulang?” sambungnya cepat, tanpa memberi jeda.

Rendi tersenyum, menahan letih yang mengendap sejak pagi. “Ayah pulangnya malam, sayang. Mau dibawain apa?”

Rasya berpaling, menatap bundanya, lalu berbisik kecil, malu-malu. Ia tak menjawab, malah berlari ke depan televisi, pura-pura sibuk mencari remote.

Alisya tertawa kecil melihat tingkah anak mereka, lalu menatap kembali ke layar. Wajahnya tanpa makeup, tapi tetap memiliki pesona yang selalu berhasil membuat dada Rendi terasa hangat. Ada sesuatu yang sederhana dan tulus dalam sorot mata istrinya—yang tak bisa digantikan.

“Sayang, aku pulang malam ya,” ucap Rendi pelan, matanya tak lepas dari layar.

Alisya mengangguk. “Iya, hati-hati ya. Tadi Rasya makan banyak, terus dia gambar kamu pegang robot. Nanti aku kirim fotonya.”

Rendi tersenyum kecil, namun hatinya terasa berat. Ia memindahkan panggilan menjadi panggilan suara. Suaranya menjadi lebih dalam, lebih serius.

“Lis, Ayah minta aku kerja bareng seseorang di sini. Anaknya teman lama... cewek, namanya Bunga. Katanya harus jadi sekretarisku.”

Di ujung telepon, suara Alisya terdiam sejenak. Lalu terdengar pelan, “Kamu setuju?”

“Aku belum jawab. Makanya... aku cerita ke kamu dulu.”

Ada jeda. Sebuah kesunyian yang meluruh perlahan lewat sinyal telepon. Lalu suara Alisya terdengar lagi, lembut, tak menyalahkan.

“Kamu yang tahu mana baiknya. Tapi aku percaya... kamu tahu batas dan pulangnya ke mana.”

Kalimat itu sederhana, tapi masuk tepat ke dada Rendi. Ia memejamkan mata sejenak, menenangkan suara-suara yang mulai berbisik di kepalanya.

“Terima kasih,” ucapnya pelan.

Di belakangnya, sang ayah memanggil lagi. Waktu untuk mengambil keputusan tinggal sebentar.

Rendi menggaruk-garuk kepalanya dengan gelisah, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Matanya melirik ke arah Bunga dan ayahnya yang sedang duduk tak jauh dari sana. Keduanya tampak larut dalam tawa dan obrolan hangat, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Sementara itu, Rendi berdiri kikuk, tak tahu harus berbuat apa—bagai tamu yang tak diundang dalam cerita yang bukan miliknya.

Terpopuler

Comments

Hanipah Fitri

Hanipah Fitri

awal mula prahara datang

2025-07-21

0

Hatus

Hatus

Mampir nih thor

2025-06-27

1

lihat semua
Episodes
1 3 jiwa satu rumah satu cinta
2 Senja di Bandung , Damai di rumah
3 Cinta yang pulang tepat waktu
4 Bunga dan Benang Merah itu
5 Melewati jalan pulang
6 Pelukan di ujung hari
7 jendela dan doa
8 Hangat nya sebuah Awal
9 Rumah kita di Pagi hari
10 Batas antara Rumah dan tugas
11 langkah Pertama di Hari terakhir.
12 Dia ada , Rendi
13 Se Hangat sambutan , Setegas batasan
14 Jamuan hangat .
15 Dalam diam yang saling mengerti
16 Jarak yang tak bernama
17 Suara yang tidak pernah sama
18 Jejak yang tak seharusnya
19 Satu malam , tiga luka
20 Pagi yang tak biasa
21 Pulang Yang patah
22 Mencoba menjadi ada
23 yang tak pernah penuh
24 Musim yang tak pernah bertemu
25 Selimut Senja
26 Mentari Hangat
27 Satu Nama , Dua Luka
28 Kembali ke Cerita lama
29 Ketakutan atau Terluka ?
30 Pergi atau bertahan
31 Keluarga ? Harapan ?
32 Tanpa Jejak
33 Warisan Luka
34 ibu dan anak perempuan nya
35 Bunga dan Harapan
36 Bukan tentang Kita
37 luka dan cinta
38 Keputusan
39 Rumah Yang Bukan Milikku
40 Sebelum Langkah terakhir
41 Awal dan Akhir ?
42 Pamit
43 Surat Pengadilan
44 Pelan , Aku Pergi .
45 Di Sengaja .
46 Kebenaran yang Terungkap
47 Obat Alisya
48 Sunyi , Sepi
49 Keputusan Terakhir
50 Pulang dan Cinta
51 Ayah , namamu sudah lama hilang
52 Hiburan.
53 Rasya Rindu Ayah
54 Tidak Ada Ibu 2
55 Bab 55
56 Bab 56
57 BAB 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 65
66 BAB 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 BAB 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 BAB 85
86 BAB 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
Episodes

Updated 90 Episodes

1
3 jiwa satu rumah satu cinta
2
Senja di Bandung , Damai di rumah
3
Cinta yang pulang tepat waktu
4
Bunga dan Benang Merah itu
5
Melewati jalan pulang
6
Pelukan di ujung hari
7
jendela dan doa
8
Hangat nya sebuah Awal
9
Rumah kita di Pagi hari
10
Batas antara Rumah dan tugas
11
langkah Pertama di Hari terakhir.
12
Dia ada , Rendi
13
Se Hangat sambutan , Setegas batasan
14
Jamuan hangat .
15
Dalam diam yang saling mengerti
16
Jarak yang tak bernama
17
Suara yang tidak pernah sama
18
Jejak yang tak seharusnya
19
Satu malam , tiga luka
20
Pagi yang tak biasa
21
Pulang Yang patah
22
Mencoba menjadi ada
23
yang tak pernah penuh
24
Musim yang tak pernah bertemu
25
Selimut Senja
26
Mentari Hangat
27
Satu Nama , Dua Luka
28
Kembali ke Cerita lama
29
Ketakutan atau Terluka ?
30
Pergi atau bertahan
31
Keluarga ? Harapan ?
32
Tanpa Jejak
33
Warisan Luka
34
ibu dan anak perempuan nya
35
Bunga dan Harapan
36
Bukan tentang Kita
37
luka dan cinta
38
Keputusan
39
Rumah Yang Bukan Milikku
40
Sebelum Langkah terakhir
41
Awal dan Akhir ?
42
Pamit
43
Surat Pengadilan
44
Pelan , Aku Pergi .
45
Di Sengaja .
46
Kebenaran yang Terungkap
47
Obat Alisya
48
Sunyi , Sepi
49
Keputusan Terakhir
50
Pulang dan Cinta
51
Ayah , namamu sudah lama hilang
52
Hiburan.
53
Rasya Rindu Ayah
54
Tidak Ada Ibu 2
55
Bab 55
56
Bab 56
57
BAB 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
65
66
BAB 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
BAB 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
BAB 85
86
BAB 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!