Bab 4

Seminggu berlalu sejak lamaran iwan, Kalila masih belum memberikan jawaban yang diinginkan Iwan. Dia masih ragu untuk menerima Iwan sebagai calon suaminya, pernikahan bukan sekedar kata suka atau cinta, pernikahan adalah janji yang sakral yang menyatukan dua hati manusia yang saling mencintai yang bisa menerima pasangan baik itu tentang keluarga, hati dan pikiran.

Kalila tak mau gegabah mengambil keputusan, dia ingin benar-benar memikirkan perasaannya, apa Iwan adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya. Kalila bukan orang yang dengan mudahnya menerima perasaan seseorang atau perlakuan manis seseorang, ia orang yang tidak mudah percaya pada orang lain yang belum begitu dikenalnya.

Tapi, selama Kalila berpacaran dengan Iwan tak pernah sekalipun Iwan mengecewakan, memperlakukan buruk atau mengingkari janji-janjinya, bahkan Kalila lah yang sering membuat Iwan kecewa, karena Kalila belum bisa percaya sepenuhnya pada Iwan untuk melabuhkan hatinya. Kalila tak mau saat nanti seandainya dia menikah dengan Iwan nanti bisa benar-benar mencintainya tulus terhadapnya.

Perasaan Kalila semakin galau saja, taksi yang dinaikinya sudah berhenti tepat di gedung kantor tempatnya bekerja. Setelah membayar Kalila melangkah hendak masuk ke gedung itu, sekelabat dilihatnya siluet seseorang yang dikenalnya.

Theo, batin Kalila masih berusaha mengejar orang yang dilihatnya itu, pria itu berpakaian rapi, berpakaian formal layaknya bos-bos di kantor besar.

"Kalila..." seru temannya Dina menepuk pundaknya dari belakang, Kalila yang masih melamun kaget melihat tepukan tangan Dina.

"Lagi ngapain kamu?"

"Gak...ayo masuk," jawab Kalila melihat arah pria yang dilihatnya tadi sudah hilang masuk ke dalam lift khusus executive.

Mungkin aku salah lihat, tak mungkin Theo disini, lagipula untuk apa dia disini, dia masih kuliah, pasti sedang di kampus, batin Kalila di dalam lift yang mulai merangkak menuju lantai tempatnya bekerja.

Oh ya, Iwan sedang mengikuti workshop ke luar kota lagi mungkin kurang lebih sebulan untuk bekal dia naik jabatan jika kinerjanya semakin baik. Bagaimanapun juga Iwan salah seorang yang berperan penting dalam perusahaan, dia bekerja dengan sangat profesional dan berpengalaman.

Sehingga untuk beberapa waktu mereka tak memiliki waktu berdua atau berangkat dan pulang dari tempat kerja, Kalila terpaksa berangkat dan pulang kerja sendiri. Di sela-sela pekerjaannya, Kalila masih melamun memikirkan pria berpakaian formal tadi.

Akhir-akhir ini dia tak pernah melihat Theo, dia bahkan tak pernah menginap lagi di rumahnya. Malah sekarang Aksa juga jarang pulang ke rumah, mungkin sibuk mempersiapkan skripsinya, karena dia mahasiswa semester akhir dan akan segera wisuda jika lulus skripsi.

Pulang kerja Kalila menunggu taksi di pinggir jalan di depan seberang gedung kantor tempatnya bekerja. Sesekali melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangan kirinya menunggu taksi hampir setengah jam, biasanya tak pernah selama itu.

Kalila duduk di halte bus dekat gedung kantor sambil mengutak-atik ponselnya. Motor Theo berhenti tepat di depan Kalila, membuka helmnya. Kalila masih belum menyadari kedatangan Theo. Kalila masih sibuk dengan ponselnya.

Theo tidak turun dari motornya masih menatap Kalila lama, merindukan wajah cantik Kalila. Lama dia tak pernah bertemu dengan Kalila karena kesibukannya menyiapkan skripsi kelulusannya dan dia jarang bertemu Aksa akhir-akhir karena sama-sama sibuk.

Theo juga disibukkan oleh papanya untuk membantu belajar bekerja di perusahaan papanya menggantikan posisi papanya setelah wisuda. Tapi Theo merasa masih belum siap, masih ingin bersenang-senang, apalagi papanya belum tua dan masih sangat segar bugar. Lagipula ada kakak laki-lakinya yang juga bisa menggantikan papanya.

Saat Kalila menoleh melihat apa ada taksi Kalila mendapati wajah Theo yang tersenyum penuh arti menatapnya, seperti tidak hanya sebentar. Mereka saling menatap lama seperti saling merindukan. Kalila segera mengontrol emosinya.

"Theo.." sapa Kalila berdiri berjalan mendekati Theo, setelah menyimpan ponselnya dalam tasnya. Theo masih tersenyum diam.

"Ngapain disini? Ah sudah lama ya gk bertemu, sekarang kamu juga jarang main ke rumah," kata Kalila lagi, merasakan perasaannya membuncah bahagia, dirinya sempat heran kenapa dia bisa sesenang ini bertemu Theo yang sudah lama tidak bertemu.

"Aku lihat mbak masih disini, jadi aku berhenti disini," jawab Theo.

"Ah nunggu taksi tapi tumben jam segini kok belum lewat," jawab Kalila.

"Ayo mbak mau kuantar pulang!" ajak Theo sambil menyerahkan helmnya pada Kalila.

"Gak usah, takut ngrepotin kamu, lagian kamu pasti sibuk ngurus persiapan kelulusanmu," tolak Kalila.

"Gak repot mbak, semua sudah siap tinggal nunggu hari H wisuda," jawab Theo.

"Benarkah?" tanya Kalila lagi meyakinkan, dia senang, tapi tak menunjukkan rasa senangnya.

"Iya... ayo!" jawab Theo menyerahkan helmnya.

Kalila menerimanya, Theo menatap baju Kalila, hari ini Kalila memakai rok span selutut agak ketat. Theo melepas jaketnya memberikan pada Kalila. Kalila masih bingung menatap jaket theo, belum tau maksutnya.

"Buat nutupin roknya mbak?Gak mungkin mbak membonceng dengan rok span itu.

"Lalu, ini?" tanya Kalila masih belum paham dengan jaket itu.

Theo turun dari motor, mengambil jaketnya melingkarkan lengan jaket itu memutari tubuh Kalila mendekat mengikat di bawah tubuh Kalila tepat di pinggang mengikatnya, perasaan Kalila yang didekati tubuh Theo berdegup kencang, aroma tubuh Theo yang maskulin menusuk hidung Kalila, Kalila terpesona tubuh Theo yang tegak, tinggi menjulang di hadapannya.

"Nah... mungkin begini lebih baik," kata Theo selesai memasang jaket pada rok Kalila mengikatnya agar sedikit menutupi bawah lutut Kalila saat memboncengnya nanti. Kalila segera sadar dari lamunannya.

"Ayo!" ajak Kalila sebelum Kalila mengusir kegugupannya.

"Mbak, nanti temani aku makan dulu ya? Aku lapar nih?" teriak Theo di perjalanan.

"Apa? Mbak gak denger?" Kalila balas teriak karena suara bising lalu lintas.

"Iya," kata Kalila lagi tanpa mendengar perkataan Theo dengan jelas.

Motor di parkir di depan rumah makan masakan P*dang.

"Ngapain berhenti disini?" tanya Kalila ikut turun dari motor.

"Makan dulu mbak, laper nih, gak papa kan?" tanyanya, Theo benar-benar lapar tapi juga ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Kalila.

"Ya sudah," jawab Kalila menatap tangannya yang ditarik Theo untuk masuk ke dalam rumah makan yang tidak terlalu mewah. Hati Kalila membuncah merasakan genggaman tangan Kalila.

"Mau makan apa mbak?" tanya Theo berbalik menatap Kalila saat menemui pelayan tempat memesan makanan, Theo mengikuti arah pandang Kalila yang menatap tangannya tak sengaja menggandeng tangan Kalila.

"Ah...maaf mbak reflek," Theo segera melepas tangannya menggantung kedua tangannya di udara, mereka salah tingkah, apalagi banyak orang yang ikut mengantri di depan meja pesanan.

Kalila agak kecewa Theo melepas tangannya.

"Ah gak papa," jawab Kalila menarik tangannya yang digenggam Theo tadi masih merasakan kehangatan tangan Theo.

"Samain pesenan kamu aja." jawab Kalila akhirnya berbalik mencari meja yang kosong.

"Di sana mbak," ucap Theo menunjuk meja kosong dekat jendela.

Theo berjalan mendahului, Kalila mengikuti langkah lebar Theo, walau Theo lebih muda darinya tapi tubuh Theo lebih besar dan tinggi dari Kalila, bahkan saat mereka bersama tak ada yang tau kalau umur Kalila lebih tua dari Theo, karena wajah Kalila yang baby face.

bersambung

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!