Iwan sedikit berlari keluar dari mobilnya membukakan pintu mobil untuk Kalila.
"Makasih mas..." kata Kalila keluar dari mobil.
"Kakimu sudah baik-baik saja? Sudah tak sakit lagi?" tanya Iwan memastikan Kalila benar-benar sudah baik-baik saja.
"Udah sembuh,bener kok!" jawab Kalila meyakinkan sambil masuk ke dalam rumah bersama. Pintu terbuka sebelum Kalila membukanya.
"Mbak udah pulang...oh, diantar mas Iwan ya?" kata Aska menatap Kalila dan Iwan bergantian.
Theo muncul di belakang Aska hendak ikut keluar mengikuti langkah Aska.
"Ngapain kamu disini?" tanya Iwan tak suka melihat Theo bisa keluar masuk dengan leluasa di rumah Kalila.
"Diakan teman kuliah Aksa, satu kelompok lagi, dia sering juga menginap disini untuk menyelesaikan tugas skripsi mereka," jelas Kalila sambil menatap Iwan dan Theo bergantian dan berakhir menatap Theo.
Sorot mata Theo yang tenang sudah tak memerah saat mereka hampir baku hantam di depan kantor Kalila tadi, entah kenapa membuat Kalila sedikit kecewa mendapati wajah Theo tenang. Theo menatap Kalila lama masih tenang, Theo berusaha mengontrol emosi amarahnya, bagaimanapun juga Theo masih marah pada keduanya, melihat Iwan dan Kalila berduaan dengan bergandengan tangan.
"Menginap?" tanya Iwan heran menatap Kalila menuntut penjelasan.
"Theo sahabatku mas, sudah seperti saudara bagiku, aku juga sering menginap di rumahnya jika mengerjakan tugas, gantian sekarang menginap disini,udah ya mas...kami mau cabut dulu," sela Aska pamitan pergi berboncengan memakai motor Theo, pandangannya Theo tak lepas dari Kalila, begitu juga Kalila, tatapan Theo seolah menyihirnya menyiratkan akan sesuatu yang tidak dipahami Kalila.
"Masuklah, istirahat! Aku pulang dulu, aku akan menjemputmu nanti malam jam 7, bersiaplah..." kata Iwan membuyarkan lamunan Kalila.
"Ah iya mas makasih... hati-hati," balas Kalila merasa bersalah melamun tak menghiraukan Iwan.
**
Pukul 7 malam, Kalila bersiap-siap di kamarnya dengan dres warna pink berlengan panjang sepanjang lutut...terlihat manis, anggun dan imut. Kalila menatap dirinya di cermin kamarnya, entah kenapa dirinya merasa ada yang kurang, kurang puas kebahagiaannya, dirinya masih terbayang-bayang saat berboncengan dengan motor Theo.
Mendekap erat di belakang tubuh Theo, lebar dan hangat terasa nyaman, tapi sepanjang pacaran dengan Iwan mereka naik mobil tak pernah mendekap erat Iwan selain berpegangan tangan saja, bahkan saat mereka pacaran hanya dinner, nonton dan jalan-jalan, berciuman di bibir? mereka belum pernah.
Iwan hanya pernah mengecup kening dan pipinya saja, Kalila selalu menolak saat Iwan meminta lebih, entah karena hati Kalila atau karena hal lain. Kalila masih belum bisa menerima perlakuan Iwan melebihi batas, walau mereka sudah sama-sama dewasa dan pacaran sudah lama hampir setahun mereka menjalin hubungan, tak pernah bertengkar ataupun salah paham apapun, keduanya dapat berpikir dewasa untuk memecahkan setiap masalah mereka.
Kalila keluar dari kamar saat mendengar suara mobil Iwan datang, meraih tas tangannya.
"Mbak mau kencan ya, berdandan segala," ucap Aska saat melihat Kalila keluar kamarnya.
"Iya...Mas Iwan ngajak mbak makan malam," jawab Kalila melangkah hendak menuruni tangga berpapasan dengan Theo yang juga hendak naik, Theo diam sejenak menatap Kalila terpesona, Kalila terlihat begitu cantik dan mempesona, segera dikontrolnya perasaan Theo melewati Kalila tak berbicara apapun.
Apa dia marah padaku?kenapa diam saja, biasanya dia cerewet saat kemarin-kemarin dia masih mengantar jemputku di tempat kerja, tapi setelah aku sembuh seperti tak saling mengenal, apa perhatiannya selama itu hanya karena rasa tanggung jawabnya saja yang tidak sengaja membuatku mendapat luka itu, batin Kalila.
Entah kenapa hati Kalila sakit didiamkan Theo, dia berharap Theo mau menegurnya atau mengajaknya bicara walau sekedar basa-basi sebelum mereka belum akrab kemarin. Setidaknya Theo dapat tersenyum saat menatapnya, tapi akhir-akhir ini Theo seolah-olah seperti tak mengenalnya.
"Kalila!" seru ayah Kalila membuyarkan lamunan Kalila.
"Ya ayah?" jawab Kalila menuruni tangga.
"Ada nak Iwan datang menjemputmu?cepatlah!" seru ibunya saat kedua orang tuanya sudah sedikit berbincang dengan Iwan.
Kalila berjalan mendekati mereka, Iwan terpesona menatap penampilan Kalila hari ini lebih feminim, biasanya saat mereka kencan Kalila selalu berpenampilan tomboi meskipun memakai dres.
"Kalila pergi dulu yah,bu..." pamit Kalila diikuti oleh Iwan.
**
Setelah 2 jam nonton, mereka memutuskan untuk makan malam di restoran mewah dekat gedung bioskop. Mereka duduk di meja dekat jendela lantai 3 sekalian menatap keluar jendela menikmati keindahan malam yang begitu indah.
Setelah pelayan mengantar pesanan dan menatanya di meja, mereka menikmati makan malamnya. Di sudut ruangan restoran itu sepasang mata mengawasi mereka dari kejauhan yang tidak disadari oleh mereka.
Matanya menyorot tajam dan dingin, meremas buku menu, mengepal erat tangannya menahan kemarahan. Pelayan yang datang untuk mencatat pesanan ketakutan melihat tamu itu. Setelah tamu itu menyebutkan pesanan, pelayan itu berjalan cepat segera meninggalkan tamu itu.
Kalila dan Iwan sudah selesai makan, terakhir menghidangkan desert pesanan mereka, Kalila menyendoknya sedikit demi sedikit, sendokan terakhir membuat Kalila berpikir kenapa kue desert itu begitu keras, disendoknya lagi lebih dalam lagi.
Matanya tak mungkin salah lihat, ini cincin, batin Kalila masih belum paham. Ah... Kalila bergumam lirih menatap Iwan yang tersenyum penuh arti diam.
Mereka masih saling menatap satu sama lain, belum ada yang berbicara. Kalila mengangkat cincin itu menunjukkan pada Iwan dengan sorot mata menuntut penjelasan. Iwan mengerti, dipegangnya tangan kiri Kalila yang di atas meja, Kalila mau menarik tangannya tapi Iwan mengeratkan genggamannya.
"Maukah kamu menikah denganku?" ucap Iwan. Kalila terbelalak, belum menjawab.
Sepasang mata di sudut ruangan yang mengawasi mereka sejak tadi semakin menggeram menahan amarah dengan wajah memerah, paham dengan apa yang terjadi pada kedua orang yang sedang diawasinya. Dia berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal dan sakit.
Kalila meletakkan cincin itu di meja.
"Maaf...aku..." ucap Kalila agak ragu ingin memikirkan kembali perasaannya.
"Kau tak harus menjawab sekarang, berilah jawaban saat hatimu siap, aku pasti menunggu." sela Iwan sebelum Kalila menyelesaikan kalimatnya masih menggenggam tangan Kalila.
Kalila menarik tangannya ke atas pahanya meremas kuat.
Iwan mengambil cincin itu memasukkan ke dalam kotak cincin yang disembunyikan dalam saku celananya, menyodorkan di atas meja ke hadapan Kalila.
"Simpanlah! Jika kau sudah siap memberi jawaban padaku, pakailah cincin ini, selama itu aku bersikap seperti biasa,aku akan menunggumu," tegas Iwan tersenyum manis.
**
Di kamarnya, Kalila menatap kotak cincin pemberian Iwan duduk di tepi ranjangnya, masih bimbang dengan perasaannya pada Iwan. Saat dekat dengan iwan, Kalila merasa senang, nyaman, tak lebih dari itu, tapi seperti ada yang kurang saat bersama Iwan.
Suka? Dia menyukainya, tapi bukan suka seperti terhadap pria...lebih terasa seperti bersama seorang kakak, suka, nyaman, merasa terlindungi saat bersama. Tapi saat bersama Theo dadanya berdegup kencang, berdebar tak karuan, tapi senang dan bahagia.
Apakah ini perasaan cinta, bisik Kalila. Dulu, dulu sekali dirinya pernah merasakan perasaan ini, sama, sama persis sebelum pria masa lalunya memberikan luka yang cukup menganga di hatinya. Kalila menghela nafasnya.
bersambung
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments