Sepatu ketsnya berjalan bebas dikoridor Rumah Sakit yang tampak lenggang. Niat awal berkunjung siang hari, namun apalah daya beratnya mata tak seberat mata kuliah dosen kiler dikampusnya kemarin pagi. Mengistirahatkan mata sejenak hingga tak terasa sore sudah mulai beranjak.
Ponsel yang berderit membuat langkahnya terhenti. Dilihatnya benda pipih itu, Nadin.
"Halo..."
"Lu dimana?"
"Baru nyampe Rumah Sakit."
"Lu bener-bener nekat ya, sumpah gue kira lu cuma nyablak doang."
"Gue lakuin itu karena gue pengen balas dendam sama cowok brengsek yang udah mainin perasaan gue... gue bisa lakuin apa aja buat dia nyesel udah selingkuh dan ngatain gue nggak bakalan laku lagi. Dia itu udah ngerenggut masa depan gue."
"Emang absurd lu... cowok itu beneran cowok yang semalam kan?"
"Iya lah... gue tidur sama cowok yang semalam mabok di club. Obat yang lu kasih ke minuman dia bereaksi walau dosisnya cuma dikit. Tapi lu tahu, besok paginya dia nyangka gue wanita malam yang bisa dia bayar pake duit. Ya udah gue terima aja tuh duit, lumayan lah buat dana talang berobat ade gue kalau bonyok telat transfer. Dan satu lagi perkataan lu bener, kayaknya dia cowok baik-baik dan tajir pula. Jadi gue nggak terlalu nyesel lah lakuin hal gila kayak gitu, dan itu hanya akan berlaku sekali dalam hidup gue."
"Bener-bener gila.... oh iya barusan si Nugie dateng kerumah gue, nanyain lu. Dia nyoba hubungin lu tapi katanya nggak lu angkat."
Adila berjalan mondar-mandir pas mendengar kalau Nugie datang ke rumah Nadin, hanya untuk menanyakan dia. Mau cari ribut lagi dia, pikir Adila.
Adila menyandarkan punggungnya di pilar,"Trus lu udah kasih kan video percintaan gue dan rekaman kata-kata gue yang seolah-olah gue bener-bener tunggu callingan cowok yang booking gue itu?"
"Udah dong, dia kayak syok gitu. Mukanya langsung merah kayak kepiting rebus, hahaha..."
"Haha.... bagus kalau gitu."
"Eh gue tutup dulu ya, kakak tiri gue nelpon nih."
"Oke, ntar gue hubungi lu lagi, thanks ya..."
Adila menatap layar ponselnya yang sudah mati, good job Adila... misi balas dendam lu berhasil.
Kembali ia memasukan ponsel kedalam tas. Adila melihat seorang perempuan cantik yang sepertinya sedang memperhatikanya, namun buru-buru berpaling saat ia balas melihatnya.
Sepertinya dia pernah melihat perempuan itu, tapi dimana..??? Otaknya termasuk kategori pentium satu, lemah alias lambat meloading. Jadi sekeras apapun dia berpikir, dia tidak akan mampu menemukan jawabannya.
Tanpa mau ambil pusing memikirkan perempuan yang entah itu siapa, Adila balik badan melanjutkan perjalanan yang hanya tinggal beberapa meter lagi.
Namun ia langsung tersenyum, tatkala Kakak idaman hatinya muncul dari sebuah ruangan. Kakak tampanku, Dokter Radit... Hmmmffft.
"Kak Radit..." Sapanya dengan riang, memperlihatkan gigi gingsul yang semakin mempermanis senyumannya.
Kalau saja ia tidak segan dengan Radit, sudah jauh-jauh hari dia akan menyatakan cinta, terlebih lagi Tante Rania, Ibunya Radit yang begitu sangat baik kepadanya dan juga Adira. Memperkuat kemunduran hati hanya sebatas jadi pemuja rahasinya saja.
"Adila."
"Kak Radit apa kabar, lama ya nggak ketemu, katanya Kak Radit cuti ya?"
"Iya... sebenernya ini masih cuti, cuma lagi ada perlu jadi mampir dulu kesini."
"Oh... katanya Kak Radit kemarin nikah ya, kok nggak ngundang Dila sih?" Ucapnya manja, padahal dia sempat patah hati saat mendengar gosip para suster yang membicarakan pernikahan Radit dengan salah satu karyawan yang bekerja di Rumah Sakit ini juga.
"Aduh maaf ya, kemarin acaranya memang terburu-buru jadi banyak yang nggak keundang." Jawab Radit sedikit tak enak hati.
"Nggak papa kok, lagian kemarin-kemarin Dila nggak ada disini, lagi ikutan fashion show di Jakarta."
"Wah hebat jadi makin sibuk ya sekarang.... semoga kerjaanya semakin sukses ya."
"Amin... makasih kak."
"Kalau gitu Kakak duluan ya, salam buat Adira. Semoga cepet sembuh."
"Iya Kak makasih, hati-hati ya."
Adila memandang punggung Radit yang semakin menjauh pergi, memegang dadanya yang selalu berdetak cepat bila sedang berhadapan dengan Radit, heemm... kasih tak sampai.
Dia bagaikan potongan tomat didalam burger, mau atau tidak ada pun nggak akan berpengaruh. Tapi Radit bagaikan roti burger, selalu berhasil menumpuk-numpuk hatinya... beuuuh.
Mudah-mudahan Tuhan berbaik hati mempertemukan dirinya dengan laki-laki sesempurna Radit. Sweet dream... itu hanya khayalan cewek absurd disiang bolong.
Adila berderap kembali menuju kamar VIV nomor 102, dimana adiknya Adira terbaring diblangkar didalam sana.
Kembar tapi tak sama. Wajah, sifat, karakter dan kepribadian mereka sangatlah berbeda. Bagaikan bumi dan langit, sangat jauh.
Adila duduk dengan melempar tas gendongnya keatas sofa," Gimana keadaan lu, Dir?"
Dengan wajah yang masih pucat, Adira menatap Adila," Baik, cuma masih lemes." Jawabnya dengan nada pelan.
"Sori tadi malam gue nggak temenin elu, sibuk sama tugas kampus."
Adira mengerutkan keningnya.
"Kenapa.... lu nggak percaya sama gue?" Cebik Adila.
Adira mngedikan bahunya, mengiyakan kata-kata saudara kembarnya itu, yang tiada lain adalah Kakak yang hanya beda lima menit saja.
"Serah lah kalau lu nggak percaya." Sambil menyandarkan punggungnya dikursi.
"Kamu nggak tidur ya semalem?"
Adila kembali menegakan punggunya," Kok lu bisa tahu?"
Adira tertawa kecil seraya memegang perutnya yang baru selesai operasi, terasa sakit karena sedikit terguncang.
"Makanya jangan ketawain gue, sakit kan lu."
"Kapan sih kamu berubah, kalau kamu begini terus kapan kuliahmu bisa selesai."
Adila berdecak," Lu sih enak punya otak encer, lah gue ngedadak beku kalau dipake mikir, apalagi ngadepin dosen kiler. Pengen ngibrit terus bawaannya."
Adira menghembuskan nafasnya," Tapi seenggaknya kamu masih bisa berusaha Dil."
"Udah nggak usah bahas gue... mendingan sekarang lu cepet keluar dari Rumah Sakit, jangan sakit mulu. Bosen gue harus bolak balik mulu ke Rumah Sakit... lu nggak bosen tidur diblangkar sempit kek gini?"
Adira tersenyum, walau kata-kata Adila sedikit kasar, dia tahu kalau Kakaknya itu sangat menyayanginya. Buktinya dia selalu ada dan menjaga dirinya.
"Iya... kata Dokter, lusa jaitannya udah bisa dibuka, jadi aku bisa cepet pulang."
"Beneran... ah senengnya, akhirnya bisa tidur nyenyak dikasur gue yang empuk."
"Emang semalam kamu nggak tidur dirumah?"
Seketika Adila membungkam mulutnya, aduh... keceplosan gue...
"Dil...?"
Adila bangun dari duduk, pura-pura kehausan dengan mengambil sebotol air dari dalam kulkas mini yang tersedia disana.
"Semalam kamu tidur dimana, Dil?" Adira mengulang kembali pertanyaannya.
"Di rumah Nadin." Jawabnya sambil memunggungi Adira.
"Kamu bohong kan?"
Huuuhh.... adik kembarannya ini seperti Mama Laurent, selalu saja bisa meneropong semua kegiatannya. Hush... Adila menepuk mulutnya sendiri, Mama Laurent kan udah mati.
"Adira Dimitri Kusuma Dewi Mangku Bumi Cohyo Adikusumo Diningrat.... gue nggak bohong, oke." Celoteh Adila.
Adira terkikik dengan penambahan nama dirinya yang sangat panjang.
"Nama aku cuma Adia Dimitri ya... udah dibubur merah bubur putih, jadi jangan ditambahin seenaknya gitu."
"Hadeuuh... gue udah susah payah nyari nama bagus itu buat elu... bukannya terima kasih juga."
Adira menggelengkan kepalanya, dia sudah tahu watak saudara kembarnya itu. Dia akan mengalihkan pembicaraan kalau ketahuan sedang berbohong.
"Jadi semalam kamu tidur dimana, Dil?"
Adila memutar bola matanya jengah, percuma rasanya dia harus berbicara berbelit-belit kalau akhirnya Adira akan tetap tahu kalau dia sedang berbohong.
Adila menggeram, tidak mungkin juga dia harus berkata jujur kalau dia one night stand dengan pria dewasa yang tidak dia kenal.
"Kok diem?"
"Oke-oke gue jujur... gue tidur dirumah temen gue yang laen."
"Siapa?"
"Temen model, lu nggak bakal kenal." Kilah Adila.
"Dil... demi aku, jauhi dunia malam. Kamu perempuan, dunia malam itu sangat rawan buat perempuan seumuran kita."
Mungkin sudah ribuan kali Adira mengingatkannya tentang masalah ini, tapi sedikitpun tidak membuat hati Adila merasa terpanggil.
"Gue butuh hiburan Adira...."
"Hiburan yang lain masih banyak Adila..."
"Tapi gue bukan elu, yang nyari hiburan dengan baca Novel atau komix di gramedia."
"Tapi kan masih banyak yang lain, bukan dengan pergi ke Club malam."
"Tapi kan gue nggak pernah mabok, gue cuma minum minuman bersoda doang."
"Aku cuma khawatir dengan keselamatanmu Dil, aku takut kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu."
Kehormatan.... sakit rasanya dia mendengar kata itu. Adila beranjak dari tempat duduk, menjauh dari Adira dengan memilih duduk di sofa panjang. Air matanya mengenang, dan dia tidak ingin Adira melihatnya.
Kehormatan gue udah hilang dari dulu Adira, jerit Adila dalam hati.
"Iya gue akan berusaha."
"Bukan berusaha, tapi dicoba."
"Iya gue coba."
"Janji?"
"Gue nggak bisa janji."
Adira mengusap wajahnya, keras kepala Adila membuatnya seperti ingin mati berdiri. Bingung harus dengan cara apalagi dia bisa mengubah Adila, saudara satu-satunya ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Tionar Linda
mantap ceritanya..
Adila nya lucu😅
2021-03-24
0
zien
aku hadir disini dan memberimu like 😘❤️
mampir juga di novelku JODOHKU YANG LUAR BIASA 😊😘
mari kita saling mendukung karya kita 👍😘❤️
2021-03-10
0
Monalisa
keren
2021-02-13
0